Alasan Taksi Konvensional Sulit Turunkan Tarif

Organda beralasan, perusahaan taksi harus menutupi segala kebutuhannya sehingga tidak mungkin menurunkan tarif.

oleh Delvira Hutabarat diperbarui 26 Mar 2016, 14:17 WIB
Diterbitkan 26 Mar 2016, 14:17 WIB
Polda Metro Jaya Tetapkan Delapan Tersangka Ricuh Demo Taksi
Kedelapan tersangka ricuh demo taksi dikenakan Pasal 63 ayat (1) jo Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang RI No. 38 Tahun 2004 tentang jalan.

Liputan6.com, Jakarta Ribuan sopir taksi menolak keberadaan Uber dan Grabcar. Alasannya, keberadaan dua moda transportasi tersebut menyebabkan perusahaan taksi konvensional merugi. Di sisi lain, perusahaan taksi menyatakan tidak mampu menurunkan tarif taksi setara Uber atau Grabcar.

"Nggak mungkin perusahaan menyakiti sopir (dengan setoran tinggi). Setoran sudah ada hitungannya. Sekarang perusahaan taksi semua teriak rugi, ini semua karena tidak ada kesetaraan," ujar JH Sitorus, Sekretaris DPP Organda DKI di Warung Daun Cikini, Sabtu (26/3/2016).

Menurut dia, perusahaan tidak dapat asal menurunkan jumlah setoran maupun tarif. Sebab, semua sudah sesuai dan diperhitungkan.

"Untuk tarif taksi bukan kami yang atur. Tapi pemerintah, jadi jangan bilang tarif ilegal murah. Mereka tidak bayar pengeluaran seperti kami," ujar Sitorus.

Tingginya pengeluaran seperi biaya pul, belanja pegawai, dan perawatan kendaraan, menurut Sitorus membuat perusahaan taksi konvensional tak dapat menurunkan jumlah setoran. Sedangkan untuk tarif, Sitorus berkilah merupakan wewenang pemerintah.

Organda, kata Sitorus, tidak begitu saja dapat mengubah penyesuaian tarif taksi. Sebab, harus ada perhitungan matang dari seluruh perusahaan taksi terlebih dahulu sebelum tarif diusulkan ke pemerintah.

"Enggak asal-asalan ngitung tarif itu. Kenapa tarif terlalu tinggi? Karena ada persaingan tak sehat," jelas Sitorus.

Terkait kabar lonjakan keuntungan yang didapat di perusahaan taksi konvensional, Blue Bird dan Express, yang meroket di tahun 2014-2015, Sitorus mengaku tidak mengetahui hal tersebut. Sebab, menurut dia, ujung tombak perusahaan taksi yakni para sopir mengalami kerugian.

"Saya enggak tahu mereka (perusahaan taksi konvensional) untung apa enggak. Nyatanya dari 36 perusahaan taksi, tinggal 20. Tercatat 17 hampir mati suri karena online. Bukan karena kalah saing dengan perusahaan taksi besar," ujar Sitorus.

Di tempat sama, Ketua Kamar Dagang (Kadin) DKI Jakarta Sarman Simanjoran mengatakan, perusahaan taksi sedianya dapat mensejahterakan sopirnya seiring dengan peningkatan keuntungan perusahaan.

"Keuntungan perusahaan begitu besar tapi tidak diikuti kesejahteraan sopir. Harusnya ada keseimbangan," ujar dia.

Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi (Kadishubtrans) DKI Jakarta Andri Yansyah mengatakan, pemerintah tidak berurusan dengan tarif seperti yang disebutkan Organda. Sebab, pemerintah hanya menerima usulan tarif dari Organda.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya