Mengapa Bajaj Online Mati?

Menurut Kepala Organda DKI Jakarta Shafruhan Sinungan, perlu modal puluhan miliar rupiah untuk mengembangkan aplikasi bajaj online.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 12 Apr 2016, 12:53 WIB
Diterbitkan 12 Apr 2016, 12:53 WIB
20150630-Bajaj Masih Jadi Transportasi Primadona Warga Jakarta-Jakarta 1
Pengemudi Bajaj sedang menunggu penumpang di kawasan Pasar Majestik, Jakarta, Selasa (30/6/2015). Bajaj masih menjadi moda transportasi favorit bagi warga Jakarta menengah kebawah. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Pada Oktober 2015, demi mengikuti perkembangan moda transportasi di DKI Jakarta, aplikasi bajaj online diluncurkan.

Bajaj berbasis online pun mendapat dukungan penuh dari pemerintah provinsi DKI Jakarta di kala itu. Sebab dianggap dapat menjadi solusi untuk meningkatkan pendapatan para pengemudi bajaj.

Alih-alih bakal bisa bersaing dengan Go-Jek, Grab Bike dan layanan transportasi umum berbasis aplikasi lainnya, bajaj online justru mati.


Kepala Organda DKI Jakarta Shafruhan Sinungan mengatakan, matinya bajaj online karena mereka sulit bersaing dengan transportasi online yang sudah ada.

Sebab, kata dia, para pengembang aplikasi bajaj online ini tak punya cukup modal.

"Iya, ini problemnya. Aplikasinya tidak kuat modalnya, sehingga bajaj online mati suri," kata Shafruhan kepada Liputan6.com di Jakarta, Selasa (12/4/2016).

Dia mengatakan, perlu modal puluhan miliar rupiah untuk mengembangkan aplikasi itu.

"Pengusaha lokal jelas megap-megap (sulit)," ungkap Shafruhan.

Sementara itu, Roda Mandiri Indonesia, perusahaan yang menciptakan Bajaj App atau aplikasi bajaj online, belum bisa dikonfirmasi tentang hal tersebut.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya