Liputan6.com, Jakarta - Hujan peluru pecah di udara lingkungan Kampus Trisakti, Jakarta Barat, sore itu. Ribuan mahasiswa terkesiap dan tiba-tiba 4 di antaranya roboh bersimbah darah.
Peluru-peluru pasukan polisi dan tentara yang dtugaskan menghalau protes mahasiswa pada 12 Mei 1998 itu, berhasil menembus tubuh Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Keempat mahasiswa itu pun gugur dalam aksi damai menentang pemerintahan Soeharto.
Bak bensin bertemu api, gugurnya ke-4 mahasiswa itu langsung membakar kemarahan seluruh mahasiswa di penjuru Tanah Air. Protes terhadap Soeharto, yang baru saja dilantik kembali menjadi presiden untuk ketujuh kalinya, meluas hingga hampir di seluruh daerah di Indonesia.
Pada 14 Mei 1998, kerusuhan dan penjarahan melanda Ibu Kota negara, yang menyebabkan banyak WNI etnis Tionghoa mengungsi ke luar negeri.
Baca Juga
Krisis ekonomi, politik, sosial, dan bahkan budaya yang diwarnai protes besar-besaran mahasiswa di hampir seluruh kampus di Indonesia, mendesak Presiden Soeharto yang saat itu tengah menghadiri sebuah konferensi di Kairo, Mesir, mempercepat lawatannya. Pada 15 Mei, Soeharto tiba di Tanah Air.
Kerusuhan dan penjarahan masih berlangsung. Tercatat sekitar 500 orang tewas menjadi korban. Evakuasi warga asing pun dilakukan.
Pada 18 Mei 1998 Ketua MPR/DPR Harmoko meminta Presiden Soeharto mundur. Tak digubris, mahasiswa pun menduduki atap gedung MPR/DPR hingga pada 21 Mei, Soeharto mengumumkan mundur dari kursi presiden yang yang telah dikuasainya selama 31 tahun.
Untuk mengungkap fakta, pelaku, dan latar belakang Tragedi Mei, pemerintah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang terdiri dari unsur-unsur pemerintah, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), LSM, dan organisasi kemasyarakatan lain. Tim ini dibentuk pada 23 Juli 1998, dan bekerja hingga 23 Oktober 1998. TGPF dipimpin Marzuki Darusman.
Berikut 6 hal yang perlu diketahui dari kerusuhan Mei 1998 berdasarkan temuan TGPF:
Advertisement
Tragedi Trisakti 12 Mei 1998
1. Penembakan Mahasiswa
Kerusuhan Mei 1998 dipicu kondisi ekonomi, politik, dan sosial saat itu. Sebelum kerusuhan Mei meletus, Indonesia baru saja selesai menggelar Pemilu 1997 yang berujung pada diangkatnya kembali Soeharto sebagai presiden untuk ketujuh kalinya.
Krisis moneter juga tengah melanda Indonesia saat itu. Nilai tukar rupiah terhadap dolar di luar akal sehat, harga-harga kebutuhan pokok melonjak tajam, utang negara di IMF dan Bank Dunia menumpuk.
Pada 4 hingga 8 Mei 1998, pemerintah membuat kebijakan menaikkan harga minyak 70 persen dan 300 persen untuk biaya listrik. Sementara korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) semakin merajalela. Hal ini membuat rakyat Indonesia marah, dan mulai menggelar demonstrasi melawan dan menuntut pemerintah melakukan reformasi.
Pada 12 Mei 1998, mahasiswa dari sejumlah kampus yang berkumpul di Universitas Trisakti mendesak berdemonstrasi di luar kampus. Tapi hal ini ditanggapi dengan tembakan peluru aparat yang menyebabkan 4 mahasiswa Trisakti tewas.
Keesokan harinya kerusuhan besar pecah, terjadi penjarahan, perusakan, pembakaran, kekerasan seksual, penganiayaan, pembunuhan, penculikan, dan intimidasi yang berujung pada munculnya teror, sehingga pada 21 Mei 1998, Soeharto pun mengundurkan diri.
Advertisement
Provokasi dan Penjarahan
2. Munculnya Provokator
TGPF menemukan, kerusuhan 13–15 Mei 1998 mempunyai pola umum yang dimulai dengan berkumpulnya massa pasif, terdiri dari massa lokal dan massa pendatang yang tidak dikenal.
Kemudian muncul sekelompok provokator yang memancing massa dengan berbagai modus tindakan seperti membakar ban atau memancing perkelahian, meneriakkan yel-yel yang memanaskan situasi, merusak rambu-rambu lalu lintas, dan sebagainya.
Setelah itu, provokator mendorong massa untuk mulai melakukan pengrusakan barang dan bangunan, disusul tindakan menjarah barang, dan di beberapa tempat diakhiri dengan membakar gedung atau barang-barang lain.
3. Penjarahan
Pelaku kerusuhan 13-15 Mei 1998 terdiri dari dua golongan yakni pertama, masa pasif (massa pendatang) yang karena diprovokasi berubah menjadi massa aktif.
Kedua, provokator, yang umumnya bukan dari wilayah setempat. Secara fisik mereka tampak terlatih, sebagian memakai seragam sekolah seadanya (tidak lengkap), tidak ikut menjarah, dan segera meninggalkan lokasi setelah gedung atau barang terbakar.
Para provokator ini juga membawa dan menyiapkan sejumlah barang untuk keperluan merusak dan membakar seperti jenis logam pendongkel, bahan bakar cair, kendaraan, bom molotov, dan sebagainya.
Orang Hilang dan Jumlah Korban
4. Bermula di Jakarta Barat
TGPF menemukan, titik picu awal kerusuhan di Jakarta terletak di wilayah Jakarta Barat. Tepatnya di wilayah seputar Universitas Trisakti pada 13 Mei 1998. Pada 14 Mei 1998, kerusuhan meluas dengan awalan titik waktu hampir bersamaan, yakni rentang antara pukul 08.00 WIB sampai pukul 10.00 WIB.
Khusus di Jakarta, kerusuhan dipicu oleh tertembak matinya mahasiswa Trisakti pada sore hari, 12 Mei 1998. Penembakan mahasiswa Trisakti ini juga memicu kerusuhan di lima daerah, kecuali di Medan dan sekitarnya, di mana kerusuhan telah terjadi sebelumnya.
Sasaran kerusuhan adalah pertokoan, fasilitas umum (pompa bensin, tanda-tanda lalu lintas dan lain-lain), kantor pemerintah (termasuk kantor polisi) yang menimbulkan kerusakan berat termasuk pembakaran gedung, rumah dan toko, serta kendaraan bermotor umum dan pribadi. Sasaran kerusuhan kebanyakan etnis China.
5. Orang Hilang
Kerusuhan Mei 1998, tidak hanya menyebabkan 4 mahasiswa tewas. Sebagian orang juga dinyatakan hilang, dan banyak warga mengalami luka, trauma dan kerugian material lain.
Beberapa orang yang dilaporkan hilang ke YLBHI/Kontras dan belum ditemukan sampai Laporan Akhir TGPF dibuat yakni Yadin Muhidin (23 tahun) hilang di daerah Senen, Abdun Nasir (33 tahun) hilang di daerah Lippo Karawaci, Hendra Hambali (19 tahun) hilang di daerah Glodok Plaza, dan Ucok Siahaan (22 tahun) tidak diketahui lokasi hilangnya.
6. Jumlah Korban
Berdasarkan data yang dihimpun TGPF, tim relawan menyebutkan korban meninggal dunia dan luka-luka 1.190 orang akibat ter/dibakar, 27 akibat senjata, dan 91 luka-luka.
Data Polda Metro, 451 orang meninggal, korban luka-luka tidak tercatat. Data Kodam Jaya, 463 meninggal termasuk aparat keamanan, 69 luka-luka. Data Pemda DKI, jumllah korban meninggal 288 orang, dan luka-luka 101 orang.
Untuk kota-kota lain di luar Jakarta, variasi angkanya sebagai berikut:
- Data Polri 30 orang meninggal dunia, luka-luka 131 orang, dan 27 orang luka bakar.
- Data Tim Relawan 33 meninggal dunia, dan 74 luka-luka.
Opini yang selama ini terbentuk adalah bahwa mereka yang meninggal akibat kesalahannya sendiri, padahal ditemukan banyak korban menjemput ajal bukan karena kesalahan mereka sendiri.
Advertisement