Liputan6.com, Jakarta - Terpidana kasus kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Samadikun Hartono akan mencicil uang pengganti atas kasusnya senilai Rp 164 miliar. Pembayaran itu dilakukannya selama empat tahun.
Indonesia Corruption Watch menilai Kejaksaan terlalu berkopromi dengan koruptor. Cara pembayaran ini dipercaya akan merugikan negara.
"Tidak ada plusnya menurut saya. Negatifnya banyak. Negara jadi dianggap lemah dan kompromi terhadap koruptor," ujar Peneliti ICW Emerson Yuntho kepada Liputan6.com di Jakarta, Kamis (19/5/2016).
Terlebih, ada kekhawatiran koruptor seperti Samadikun akan menunggak pembayaran. Setiap tahunnya, mantan Komisaris Utama PT Bank Modern itu harus membayar Rp 42 miliar.
"Sangat mungkin," kata Emerson.
Baca Juga
Oleh karena itu, lanjut dia, seharusnya Kejaksaan melakukan langkah-langkah yang lebih tegas. "Harusnya sita saja asetnya. Kompromi memalukan," ucap Emerson.
Sebelumnya, Samadikun Hartono bersedia membayar uang pengganti atas kasusnya senilai Rp 164 miliar. Lewat keluarganya, Samadikun akan membayar dengan cara mencicil selama 4 tahun.
"Hasil laporan Kajari Jakarta Pusat, Samadikun menyanggupi melunasi uang pengganti setiap tahunnya Rp 42 miliar jadi selama 4 tahun, untuk denda sudah dibayarkan," kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah, Rabu 18 Mei 2016.
Kejaksaan Agung mengaku tidak mempermasalahkan dengan sistem tersebut. Pembayaran uang pengganti tidak diatur dalam undang-undang. Artinya, hal tersebut sah-sah saja.
"Boleh-boleh saja dicicil, di undang-undang tidak diatur," ucap Arminsyah.
Namun, untuk berjaga-jaga, Kejaksaan Agung telah menginstruksikan Kejari Jakarta Pusat untuk bergerak cepat dan mengusahkan pembayaran uang pengganti sudah lunas sebelum masa hukuman Samadikun selesai.
"Jadi saya minta itu kepada Kajari Jakarta Pusat, tapi kita terus mencari aset Samadikun, ini antisipasi kalau tidak bayar," tandas Arminsyah.
Advertisement