Journal: Mengurai Benang Kusut Mahalnya Harga Daging

Kami mengikuti pergerakan harga daging dari hulu ke hilir. Banyak faktor yang membuat harga daging melonjak Rp 120 ribu/kg.

oleh FX. Richo PramonoMufti Sholih diperbarui 21 Jun 2016, 20:23 WIB
Diterbitkan 21 Jun 2016, 20:23 WIB
Daging sapi di Pasar Mester
Daging sapi yang sudah dibersihkan dari tulang di Pasar Mester (Balgoraszky Aristides Marbun)

Liputan6.com, Jakarta - Jemari Giyarto sigap memisahkan daging yang sudah dipotong untuk kemudian dia bungkus dengan plastik bening, lalu ditimbang. Satu kilogram persis daging diletakkan di atas timbangan. “Rp 100 ribu, nih,” ucap Giyarto kepada Liputan6.com, Rabu (15/6/2016). Harga itu dikenakan buat daging impor. Sementara untuk daging lokal, harganya bisa lebih mahal. “Rp 120 per kilogram,” dia menegaskan.

Saban hari Giyarto menjajakan dagingnya kepada pelanggan di Pasar Palmerah, Jakarta Barat. Daging itu dia beli dari rumah potong hewan di bilangan Jakarta Timur. Dia mengakui harga yang ditetapkannya untuk 1 kilogram daging kepada pelanggan terbilang mahal. Maklum, dia pun mengeluarkan modal cukup besar buat 1 kilogram daging. Giyarto mengatakan ia mengeluarkan uang lebih dari Rp 90 ribu untuk membeli 1 kilogram daging sapi dari RPH.

Mahalnya harga daging yang dijual di tingkat pengecer membuat Nureha gemas. Perempuan paruh baya yang biasa berbelanja di Pasar Palmerah itu merasa harga daging kian melambung. Duit Rp 100 ribu hingga Rp 140 ribu pun harus dia keluarkan buat membeli daging seberat 1 kilogram. Meski sempat menawar, harga yang dia dapat tetap sama. “Ya tetep, cuma Rp 100 ribu.”

Almunir Mukhtar, pemilik salah satu RPH di Jakarta, mengaku harga karkas daging yang dia jual ke pedagang Rp 106 ribu hingga Rp 110 ribu. Menurut lelaki yang akrab disapa Pak Haji ini, harga tersebut sudah termasuk harga pembersihan tulang. Sehingga, pedagang hanya tinggal memotong-motong dan menjajakan daging kepada pelanggan. Almunir pun mengaku besaran harga daging yang dia jual bergantung kepada harga yang diberikan feedloter atau tempat penggemukan hewan. “Ini udah dua bulanan. Sebelumnya harganya enggak ada kenaikan. Tapi enggak semua feedloter,” ucap Almunir.

Karkas milik pedagang grosir di Pasar Mester (Liputan6.com/Balgoraszky Aristides Marbun)

Ketua Komisi Pemantau Persaingan Usaha (KPPU) Muhammad Syarkawi Rauf menyebut, masalah harga daging terletak dari hulu dan hilir. Dua hal ini, dinilai Syarkawi, memberikan dampak signifikan terhadap kenaikan harga daging. Menurut Syarkawi, harus ada rumusan harga jelas yang diberlakukan pengusaha feedloter untuk satu kilogram daging sapi bakalan atau bobot hidup. Sebab, patokan harga nantinya menjadi dasar pembentukan harga di rantai distribusi.

“Mereka mengimpor dari Australia sebenarnya pada harga berapa. Harga daging sapi per kilogram hidup itu sudah relatif tinggi,” kata Syarkawi kepada Liputan6.com.

Aktivitas jual beli daging sapi di Pasar Senen, Jakarta, Senin (25/1). Peraturan Pemerintah yang membebankan pajak 10% untuk setiap penjualan sapi impor berdampak pada naiknya harga daging di sejumlah pasar tradisional. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Tingginya harga daging juga dirasakan pengusaha impor. Pengusaha mengaku mahalnya harga tak serta merta membawa keuntungan. Ketua Umum Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo) Joni Liano mengatakan, pengusaha juga merasakan kerugian. “Kalau melihat kondisi sekarang, feedloter mati suri,” ucap Joni kepada Liputan6.com. Ia menyebut, harga beli sapi bakalan dari Australia senilai US$ 3,25 (setara Rp 43.500 dengan kurs US$ 1=Rp 13.400) per kilogram.

Namun, angka Rp 43.500 per kilogram tersebut baru sekadar biaya yang dibeli importir dari ekspotir. Landed cost sapi impor ini juga akan memberikan tambahan biaya, sehingga harga kedatangan 1 kilogram daging sapi yang belum dipotong mencapai Rp 47 ribu setelah tiba di tempat penggemukan atau feedloter. Harga satu kilogram bobot hidup ini akan naik dua kali lipat setelah dipotong. Seperti yang terjadi di rumah potong milik Haji Almunir.

Mencari Margin Keuntungan

Kenaikan harga daging sapi di pasaran sudah terjadi sejak Januari 2016. Harga bahkan terus merangkak hingga awal Juni, atau beberapa hari menjelang puasa Ramadan. Tim Liputan6.com mencoba menelusuri kenaikan pada tiap jenjang rantai distribusi daging sapi. Tim mendapati harga daging yang paling tinggi yang dijual di Pasar Mester, Jakarta Selatan, adalah daging has dalam. Daging ini dijual dengan harga Rp 120 ribu per kilogram di tingkat grosir. Sementara di tingkat pengecer, daging tersebut biasanya dijual seharga Rp 140 ribu.

Menurut Hasan Basri, salah seorang pedagang daging di pasar tersebut, mereka membeli daging dalam bentuk karkas (daging yang masih bercampur tulang-red), seharga Rp 91 ribu per kilogram dari rumah potong hewan (RPH). Hasan merasa harga tersebut terbilang mahal. Menurut Hasan, harga dari RPH menjadi penyebab pedagang grosir juga cukup mahal menjual daging ke pedagang pengecer. Dari pantauan di lapangan, tim mendapati ada kenaikan sebesar 7,9 persen di tingkat pedagang eceran dan kenaikan 8,6 persen di tingkat pedagang grosir.

Pedagang menimbang daging sapi jualannya di Pasar Senen, Jakarta, Senin (25/1). Harga daging sapi di pasar tradisional di Jakarta naik dari Rp 95 ribu-Rp 100 ribu per kilogram (kg) menjadi Rp 130 ribu per kg. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Tim kemudian menelusuri berapa harga daging karkas di rumah potong hewan. Almunir Mukhtar, pengusaha RPH, menjelaskan kepada Liputan6.com, bagaimana mengukur harga daging. Menurut Almunir, RPH biasanya membeli 1 kilogram daging sapi bobot hidup sebesar Rp 43 ribu. Dengan harga Rp 43 ribu per kilogram hidup, kata Almunir, RPH biasanya membayar Rp 17,2 juta untuk satu ekor sapi seberat 400 kilogram.

Almunir menerangkan tak semua bagian dari tubuh sapi yang sudah dipotong bisa dijual. Ia mencontohkan sapi dengan berat 400 kilogram, hanya punya 160 kilogram kandungan daging. Sisanya seberat 340 kilogram adalah kulit, jeroan, dan tulang. RPH pun menerapkan harga daging karkas per satu kilogram sebesar Rp 86 ribu atau dua kali lipat dari harga daging per kilogram hidup.

Pembeli daging menunggu pesanan (Liputan6.com/Awan Harinto)

Harga tersebut akan naik jika daging yang dijual sudah dibersihkan dari tulang. Ini berarti, ada penambahan biaya Rp 20 ribu untuk pembersihan tulang. “Sehingga harga daging yang dijual ke pedagang Rp 106 ribu,” ucap Almunir. Di RPH ini, tim mendapati ada kenaikan 100 persen lebih. Ini karena, harga daging sapi diukur dengan harga bobot sapi secara keseluruhan yang dijual feedloter.

Gapuspindo selaku wadah yang menaungi pengusaha sapi impor, tak memungkiri harga yang mereka terapkan memang menjadi acuan pengusaha RPH dan pedagang grosir dan eceran dalam menjual daging. Joni Liano selaku Ketua Umum Gapuspindo menerangkan, harga yang mereka terapkan berdasarkan harga yang dijual dari importir sebesar Rp 43 ribu per kilogram bobot hidup, itu pun dengan acuan kurs dollar AS.

Pengusaha, kata Joni, juga sudah melakukan efisiensi saat masa penggemukan. Namun, ada biaya pajak sebesar 5 persen sebesar Rp 2.100 per sapi, transportasi, karantina dan pengurusan administrasi barang sebesar Rp 1.000 per sapi, yang juga harus dikeluarkan perusahaan. Sehingga, harga daging sapi per kilogram dengan bobot hidup sebesar Rp 47 ribu. “Kami mencoba melakukan efisiensi, seminimal mungkin biayanya dan semaksimal mungkin mendapatkan penambahan berat badan,” ucap Joni.

Merumuskan Kebijakan Sapi

Masalah harga ini sempat membuat Presiden Joko Widodo geram. Mei lalu, Presiden Jokowi meminta, harga daging yang dijual di pasar harus di bawah Rp 80 ribu. Perintah ini disampaikan langsung Presiden Jokowi kepada Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan. Sejumlah operasi pasar kemudian digelar untuk menstabilkan harga, seperti yang dilakukan Kementerian Pertanian di sejumlah daerah dan PD Pasar Jaya di DKI Jakarta.

Upaya stabilisasi harga yang dilakukan pemerintah dan BUMD nyatanya belum cukup efektif menekan harga daging. Direktur Utama PT Dharma Jaya, Marina Ratna Dwi Kusumajati, mengakui daging sapi yang dijual untuk menstabilkan harga bukan daging segar, melainkan daging beku. “Presiden minta harga itu bukan dari sapi hidup, tapi dari daging beku,” kata Marina.

Daging beku (Liputan6.com/Awan Harinto)

Meski harganya lebih terjangkau, daging beku ini kurang disukai masyarakat. Sebab, masyarakat lebih terbiasa membeli daging sapi segar. Namun, harga daging sapi segar masih sulit untuk diturunkan. Menurut Marina, daging sapi segar punya biaya lebih lantaran sapi yang biasa digunakan adalah sapi impor yang sebelumnya harus menjalani penggemukan, sesuai peraturan Menteri Pertanian.

Marina menyebut tingginya harga ini tak bisa dilepaskan dari aksi ambil untung pedagang. Sebab, besaran harga daging kian membengkak di tingkat pedagang eceran. Namun, Marina menilai hal itu sebagai kewajaran. Sebab, logika perdagangan adalah mencari keuntungan. Sebaliknya, Marina menyebut, ada yang salah dalam penghitungan data kebutuhan daging di Indonesia. Data tersebut yang menjadi patokan perlu tidaknya melakukan impor. Tak hanya itu, perizinan impor pun dibatasi dengan waktu triwulan.

“Kita harus benahi data sapi berapa, kalau enggak cukup pasti impor lagi. Beri feedloter kebebasan untuk dapat jatah impor dalam setahun, bukan tiga bulan. Tapi yang jauh lebih penting, peternakan lokal harus dikembangkan,” ucap Marina.

Sapi bakalan sebelum dipotong di RPH (Liputan6.com/Awan Harinto)

Senada dengan Marina, Ketua Umum Gapuspindo Joni Liano mengidentifikasi salah satu masalah utama penyebab kenaikan harga adalah data ketersediaan sapi dan kebutuhan konsumsi daging sebagai patokan perencanaan impor. Joni menerangkan pemerintah merevisi angka konsumsi daging per kapita dari 2,62 kilogram per kapita menjadi 2,52 kilogram per kapita per tahun. Hal ini membuat target impor awal yang dipatok dari 675 ribu ton diubah menjadi 651 ribu ton per tahun. Sedangkan, ketersediaan sapi lokal hanya mencapai 441 ribu ton. Sehingga terjadi defisit 223 ribu ton yang harus ditutup lewat impor.

Tanpa disadari, masalah ketersediaan dan permintaan daging ini menjadi soal. Direktur Eksekutif Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (Aspidi) Thomas Sembiring malah menyebut ada defisit ketersediaan daging lantaran konsumsi daging di Indonesia pada 2016, mencapai 3,1 kilogram per kapita per tahun. “Pemerintah kurang jeli menghitung kebutuhan,” kata Thomas kepada Liputan6.com.

Olahan makanan dari daging (Liputan6.com/Awan Harinto)

Muhammad Syakawi Rauf, Ketua KPPU, sependapat dengan Joni dan Thomas. Menurut dia, perlu ada pengkajian ulang soal rumusan kuota impor daging. Sebab, Syarkawi menyadari harga yang terbentuk di rantai distribusi daging tak bisa dilepaskan dari kebijakan kuota impor. Pemberlakuan sistem kuota memungkinkan terjadinya kelangkaan saat pasokan menipis.

Menurut Syarkawi, sistem triwulan atau semester sudah tak bisa diandalkan. Dia mengimbau, pemerintah memberlakukan sistem kuota untuk satu tahun. Pemberlakuan kuota satu tahun, kata dia, akan membuat pelaku impor menyesuaikan dengan kebutuhan daging di dalam negeri. Sehingga, importir dan pemerintah akan dengan mudah menghitung kebutuhan daging di dalam negeri. “Implikasinya adalah menghitung berapa jumlah pasokan sapi yang diperlukan tiap tahun untuk memenuhi kebutuhan secara nasional,” ucap Syarkawi.

Sapi bakalan hendak dibawa ke feedloter (Liputan6.com/Awan Harinto)

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Muladno, tak memungkiri jika data perhitungan kebutuhan daging bermasalah. Menurut Muladno, Presiden Joko Widodo sudah menunjuk Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai institusi yang bertanggung jawab dalam mengelola data kebutuhan daging di Indonesia.

Nantinya, kata Muladno, data tersebut yang menjadi patokan seluruh instansi pemerintah dalam merumuskan kebijakan impor. Terlebih, pemerintah mulai menghapus periodisasi impor per triwulan pada 2016. Jatah impor akan diberikan untuk satu tahun, sehingga pihak importir akan punya peran lebih untuk supply kebutuhan daging, saat pasokan daging di dalam negeri, menurun.

“Jadi (kuota untuk) setahun. Setahun butuh berapa? Katakan 600 ribu atau 700 ribu, itu nanti langsung dibagi secara proporsional kepada perusahaan. Mereka nanti yang menentukan kapan mau mengambil. Ini mulai Januari tahun depan,” kata Muladno.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya