JPU Sebut Bos Pengembang Reklamasi Kumpulkan Pimpinan DPRD DKI

Dalam pertemuan dibahas mengenai percepatan pengesahan Raperda Reklamasi.

oleh Oscar Ferri diperbarui 24 Jun 2016, 07:05 WIB
Diterbitkan 24 Jun 2016, 07:05 WIB
201606622-Bos Agung Podomoro Jalani Sidang Perdana di Pengadilan Tipikor-Jakarta
Presdir Agung Podomoro Land. Ariesman Widjaja usai menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (23/6). Tersangka kasus suap Raperda reklamasi Teluk Jakarta itu menjalani sidang pembacaan dakwaan. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja, menyuap anggota DPRD DKI Mohamad Sanusi sebesar Rp 2 miliar. Suap itu diduga terkait pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Tata Ruang Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKSP).

Dalam surat dakwaan terungkap, Chairman PT Agung Sedayu Group, Sugianto Kusuma alias Aguan dan Ariesman mengumpulkan sejumlah pimpinan dan anggota DPRD DKI Jakarta. Aguan dan Ariesman bertemu dengan para wakil rakyat itu dilakukan untuk mendesak percepatan pembahasan dan pengesahan RTRKSP.

"Dalam pertemuan dibahas mengenai percepatan pengesahan Raperda RTRKSP," kata jaksa Ali Fikri di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Kamis, 23 Juni 2016.

Jaksa menerangkan, pertemuan itu terjadi setelah tim dari Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD DKI Jakarta bersama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mulai melakukan pembahasan mengenai Raperda RTRKSP atau raperda soal reklamasi di Teluk Jakarta.

Pertemuan yang terjadi sekitar pertengahan Desember 2015 berlangsung di Jalan Taman Golf Timur II/11-12, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara.

Hadir dalam pertemuan tersebut Aguan, Ariesman, Sanusi, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Mohamad Taufik, Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi, anggota Balegda DPRD DKI Jakarta Mohamad Sangaji alias Ongen, dan Ketua Fraksi PKS di DPRD DKI Jakarta Selamat Nurdin.

Pertemuan itu diperlukan, karena PT Kapuk Naga Indah yang merupakan anak usaha PT Agung Sedayu Group bersama PT Muara Wisesa Samudra, PT Agung Dinamika Perkasa, dan PT Jaladri Kartika Pakci yang sebagian besar sahamnya dimiliki PT APL memerlukan Perda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantura Jakarta.

Dengan adanya itu, maka bisa menjadi dasar hukum bagi perusahaan-perusahaan pengembang untuk dapat mendirikan bangunan pada tanah reklamasi Teluk Jakarta.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Sanusi Disebut Kontak Taufik

Dalam surat dakwaan terhadap Ariesman Wijaya terungkap pula, pihak PT APL keberatan dengan tambahan kontribusi yang dibebankan oleh pemerintah. Bahkan, ada niatan tambahan kontribusi tambahan itu dihilangkan dari Raperda Rencana Tata Ruang Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKSP).

Dalam surat dakwaan itu juga terungkap, Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi pada 4 Maret 2016 skeitar pukul 13.43 WIB mengontak kakaknya yang juga Wakil Ketua DPRD DKI Mohamad Taufik soal keberatan Ariesman itu. Tambahan kontribusi itu dibebankan sebesar 15% dari nilai NJOP total lahan yang dapat dijual.

"Sanusi menghubungi Taufik melalui telepon dan melaporkan adanya keberatan dari terdakwa (Ariesman Widjaja)," kata jaksa Haerudin, saat membaca dakwaan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Kamis, 23 Juni 2016.

Dalam dakwaan disebutkan, Ariesman yang keberatan meminta Sanusi untuk menghilangkan tambahan kontribusi itu dari Raperda RTRKSP. Ariesman menganggap tambahan kontribusi sebesar 15 persen itu terlalu besar bagi pengembang. Namun permintaan Ariesman tak disanggupi Sanusi.

Meski begitu, Ariesman tak hilang akal. Dia kemudian meminta agar rumusan tambahan kontribusi itu dimasukkan dalam pasal penjelasan dengan menggunakan konvensi. Kompensasinya, Ariesman menjanjikan uang 'sumpel' sebesar Rp 2,5 miliar.

Rumusan Penjelasan Diubah

Sanusi kemudian mengubah rumusan penjelasan Pasal 110 ayat 5 yang semula 'cukup jelas' menjadi 'tambahan konstribusi adalah kontribusi yang dapat diambil di awal dengan mengkonversi dari kontribusi (yang 5 persen), yang akan diatur dengan perjanjian kerja sama antara Gubernur dan pengembang'.

"Sanusi kemudian menyerahkan memo berisi tulisan penjelasan pasal tersebut kepada Heru Wiyanto, selaku Kepala Bagian Perundang-undangan Sekwan DPRD DKI Jakarta. Tulisan tersebut kemudian dimasukkan dalam tabel masukan raperda, dan diserahkan kepada Ahok," ucap jaksa.

Ahok yang membaca tabel masukan itu kemudian menanyakan menolak. Mantan Bupati Belitung Timur itu selanjutnya menuliskan disposisi kepada Taufik yang juga selaku Ketua Balegda DPRD DKI, dengan catatan yang bertuliskan, 'Gila, kalau seperti ini bisa pidana korupsi'.

Selain itu, imbuh jaksa, Taufik kemudian meminta Kepala Sub Bagian Raperda Setwan Provinsi DKI Jakarta untuk mengubah penjelasan terkait tambahan kontribusi yang semula tercantum dalam Pasal 110 ayat 5 huruf c berbunyi 'Cukup jelas'.

Pengubahan itu menjadi ketentuan dalam Pasal 111 ayat 5 huruf c dengan penjelasan, "Yang dimaksud dengan kewajiban tambahan kontribusi adalah kewajiban yang disepakati dalam perjanjian kerja sama antara Pemda dan pemegang izin reklamasi dalam rangka penataan kembali daratan Jakarta, terkait dengan pelaksanaan konversi kewajiban konstruksi."

Jaksa mendakwa Presdir PT APL, Ariesman Widjaja menyuap anggota DPRD DKI, M Sanusi sebesar Rp 2 miliar. Uang diberikan melalui anak buah Ariesman, Trinanda Prihantoro.

Uang diberikan sebagai imbalan karena Sanusi mampu mempengaruhi pasal soal tambahan kontribusi yang tercantum dalam Raperda RTRKSP. Awalnya, Ariesman menginginkan agar pasal tambahan kontribusi sebesar 15 persen dari nilai NJOP total lahan yang dapat dijual itu dihilangkan, namun Sanusi tak bisa menyanggupinya.

Akhirnya, Ariesman menjanjikan Rp 2,5 miliar kepada Sanusi agar tambahan kontribusi itu dimasukkan ke dalam pasal penjelasan dengan menggunakan konversi. Sanusi pun setuju dan menerima janji pemberian uang 'sumpel' Rp 2,5 miliar itu.

Atas perbuatannya, Ariesman Widjaja didakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya