Liputan6.com, Jakarta - Jenderal Polisi Hoegeng Imam Santoso adalah salah satu tokoh Kepolisian Indonesia yang pernah menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia ke-5 yang bertugas pada periode 1968-1971.
Namun, pria asal Pekalongan yang lahir 14 Oktober 1921 itu menyandang nama besar bukan karena jabatannya. Namanya tetap menjadi perbincangan hingga kini karena sikap dan teladan yang dia tinggalkan. Ditambah lagi, sosok polisi seperti Hoegeng dinilai langka saat ini.
Hoegeng dikenal karena kejujuran, ketegasan, dan kebersahajaannya. Sebagai Kapolri, dia tak malu turun ke aspal mengatur lalu lintas yang macet. Dia juga tak takut melawan kekuasaan jika dirasanya hukum telah dipermainkan. Godaan akan materi pun ditolaknya dengan tegas, yang berakibat dia tak memiliki harta dan rumah saat berhenti sebagai Kapolri.
Advertisement
Tak heran kalau banyak yang merindukan sosok Hoegeng saat ini. Namun, tak perlu berkecil hati, karena teladan-teladan baru tetap hadir di tubuh kepolisian kita. Meski berpenghasilan kurang mencukupi, polisi-polisi ini tak mau menggadaikan jabatannya. Mereka memilih untuk mencari tambahan penghasilan yang halal ketimbang jalan mudah dengan menjual kewibawaan lembaganya.
Berikut tiga nama anggota kepolisian kita yang bisa memberi inspirasi. Mereka bukan perwira dan sosok yang mudah dikenali. Tapi, dia memberi harapan pada kita bahwa polisi baik dan jujur itu masih ada dan selalu memberi harapan bahwa polisi yang mengayomi serta tak mudah tergoda urusan keduniawian masih bisa kita jumpai.
Selamat Hari Bhayangkara...
Bripka Seladi (Polres Kota Malang)
Tubuhnya tegap, tak memperlihatkan usianya sudah 57 tahun. Seladi namanya. Mengenakan singlet putih dan topi dengan lidah topi dibalik, tangannya cekatan memilah tumpukan sampah di sebuah gudang di Jalan Dr Wahidin, Kota Malang, Jawa Timur.
Hari itu, ia bersama seorang pemuda dan dua orang lainnya ada di antara tumpukan sampah di gudang berukuran sekitar 36 meter persegi. Orang tak akan menyangka jika sosok pria itu adalah personel kepolisian berpangkat brigadir kepala (bripka).
Bripka Seladi sehari-hari berdinas di Bagian Urusan SIM Kantor Satuan Penyelenggara Administrasi (Satpas) Polres Malang Kota. Kantor tempatnya berdinas ini hanya berjarak sekitar 100 meter dari gudang tempat ia memilah sampah.
"Kalau kawan-kawan di tempat dinas sudah tahu dengan aktivitas saya ini," kata Bripka Seladi saat ditemui pada Kamis, 19 Mei 2016.
Pekerjaan sampingan mengumpulkan sampah ini telah dijalani Bripka Seladi sejak 2004 lalu. Selama itu pula, ia mengabaikan segala pembicaraan dari koleganya di kantor. Entah itu mencibir atau mendukung usaha yang ditempuh bapak tiga anak ini.
"Awal mulanya saya memulung 2004. Waktu itu saya terjepit masalah biaya anak istri saya. Karena kebutuhan lain ada, saya memilih memulung," ungkap Seladi.
Saat itu, usai piket malam di kepolisian, Seladi mulai memilah-milih dan memungut sampah di Mapolresta Malang.
"Setelah saya piket malam di Polresta ada sampah, saya lirik ke sana, saya ambil, saya anggap bersih-bersih. Kemudian besoknya lepas dinas pagi, jam tujuh malam saya gerak, saya ambili (sampah)," papar dia.
Ternyata niat baiknya tidak mulus. Tiba di rumah, Seladi sempat dimarahi istrinya, karena membawa sampah. Namun, kemarahan sang istri tak memudarkan niat mencari penghasilan sampingan itu. Keesokan harinya dia mulai mengumpulkan sampah sedikit demi sedikit.
"Saya pilah-pilah antara kresek, plastik, botol. Setelah saya pilah-pilah karena saya butuhkan untuk tambahan anak istri saya, dan saat itu satu bulan 15 hari dapat Rp 400 ribu. Hariannya Rp 25 ribu, saya kumpulkan jadi Rp 400 ribu," kata dia.
Tidak Terima Suap
Kala itu, masyarakat tidak ada yang tahu kalau Seladi adalah polisi. Namun tak masalah, karena memang niatnya adalah mencari rezeki untuk menafkahi istri dan anaknya.
"Saya sudah 16 tahun belum pernah menerima suap, makanan atau apa pun. Saya kasih contoh ke anak saya. Saya belum pernah menerima suap apa pun, anak istri saya sudah terlatih," ujar Seladi.
Kini Seladi tengah berjuang membiayai anaknya mendaftar ke Akademi Kepolisian. Dia berharap anaknya dapat meneruskan perjuangannya di kepolisian.
"Saat ini anak saya lagi daftar, karena dia pengin jadi seperti saya," ujar dia.
Menurut Seladi, menjadi pemulung lebih nikmat dibanding mencari pekerjaan sampingan lainnya.
"Untuk mencari sampingan mudah, gampang, seperti toko emas. Sekarang ambil, sekarang dijual, sekarang laku. Mudah sekali," kata dia.
"Orang hidup ada dua pilihan, baik dan buruk. Semuanya ada pilihan. Yang baik atau yang buruk, itu yang saya alami sampai saat ini," tutur Seladi.
Hebatnya, pendapatan tambahan dari menjual sampah itu mampu mengantar ketiga anaknya melewati jenjang pendidikan. Anak sulung Seladi, Dina Aprita Sari, lulus Diploma Jurusan Farmasi dan kini bekerja sebagai tenaga farmasi di sebuah rumah sakit di Kota Malang.
Anak keduanya, Rizal Dimas Wicaksono, juga lulus Diploma Jurusan Informatika. Sedangkan si bungsu, Neni Winarti, duduk di bangku Kelas 2 di sebuah SMA Negeri di Kota Malang.
"Keluarga dan anak-anak mendukung penuh karena mereka mengerti tentang kerja keras dan kejujuran," ucap Seladi.
Advertisement
Aiptu Mustamin (Polsek Ujung Pandang)
Aiptu Mustamin merupakan anggota polisi di Makassar, Sulawesi Selatan. Sebagaimana Bripka Seladi, Aiptu Mustamin mempunyai pekerjaan sampingan sebagai tukang tambal ban di pinggir jalan tepat di belakang gedung Pengadilan Negeri Makassar.
Pria yang akrab disapa Pak Mus itu ternyata sudah menjalani profesi sampingannya sejak 20 tahun yang lalu. Kendati demikian, tak banyak pelanggan yang tahu jika Pak Mus adalah seorang polisi.
"Saya jadi polisi tahun 1979 dan mulai buka usaha tambal ban tahun 1991. Awalnya dulu saya tambal ban di Jalan Alimalaka, tapi kena penggusuran. Jadi saya pindah di belakang pengadilan tahun 2012. Saya suka kerja-kerja tambal ban," ujar polisi berpangkat aiptu ini.
Buah kerja keras Aiptu Mustamin menjadi penambal ban, ternyata cukup untuk membantu biaya pendidikan empat anaknya. Dua di antaranya bahkan kini menjadi Kanit Intel dan Penyidik Reskrim Polres Mamasa, Sulawesi Barat.
"Anak ketigaku kerja di Jepang dan anak bungsuku perempuan jaga warung membantu istriku," kata Mustamin.
Dia mengaku mencari uang tambahan halal ini karena biaya kebutuhan hidup di Makassar sangat besar. Sampai kini pun ia masih tinggal di Asrama Tallo Lama yang jaraknya puluhan kilometer dari Polsekta tempatnya bertugas.
Selama 37 tahun, Aiptu Mustamin telah menjadi polisi. Selama itu pula ia tidak malu menyambi jadi tukang tambal ban. "Saya tidak pernah melalaikan tugas. Saya tidak mencuri. Saya juga tidak paksa orang. Jadi buat apa saya malu?" ujar Mustamin.
Aiptu Ruslan (Polsek Pidie)
Peristiwa ini terjadi di Kepolisian Sektor Pidie, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh. Kepala Unit Bimbingan Masyarakat Ajun Inspektur Polisi Satu (Aiptu) Ruslan-lah orang yang jadi sorotan itu. Potretnya saat tengah bertugas di Mapolsek Pidie sekaligus sedang menjahit sandal dan sepatu yang robek di pasar tradisional setempat langsung bikin netizen geger.
"Mencari rezeki itu yang penting halal," katanya seperti dilansir tribratanews.com pada akhir Februari lalu.
Aiptu Ruslan yakin rezeki yang dicari dari jalan halal akan lebih berkah bagi keluarganya. Ayah dari lima anak ini sudah menekuni kedua profesi, polisi dan penjahit sepatu sejak 1978.
Setiap hari dia tampak tegar dan bersemangat menekuni keduanya, meskipun ia harus menjalankan tugas pokok sebagai anggota Polri, tepatnya sebagai Kanit Binmas Polsek Pidie, yang sering melakukan penyuluhan-penyuluhan ke desa-desa.
Aiptu Ruslan sendiri dikenal baik oleh rekan sekantornya dan warga sekitar. Dia selalu mengatakan bahwa tidak hanya bertambahnya penghasilan yang jadi tujuan utama dia menggeluti profesi sampingan itu. Dia juga berharap bisa mendatangkan kebahagiaan bagi banyak orang karena bisa meringankan masalah mereka.
Advertisement