Liputan6.com, Jakarta - Direktur Jenderal (Dirjen) Pemasyarakatan (PAS) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) I Wayan Kusmianta Dusak mengatakan, ada perbedaan antara anak yang berkonflik hukum dan anak pada umumnya.
Hal itu, terang dia, karena status mereka secara hukum mengakibatkan pada perampasan kemerdekaan fisik, baik ketika ditahan di institusi penahanan atau Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS), maupun ketika dipidana di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA).
"Tapi bukan berarti perampasan kemerdekaan bisa merebut hak-hak dasar lainnya, terutama pendidikan," ucap Dusak di Kantor Kemenkumham, Jakarta, Selasa (2/8/2016).
Dusak menjelaskan, meningkatnya jumlah anak yang terjerat kasus hukum, disinyalir membuat semakin banyak anak yang terpaksa putus sekolah. Dari catatan Ditjen PAS, terdapat 2.361 anak menjalani hukuman pidana. Namun, hanya sedikit dari jumlah tersebut yang mengikuti pendidikan formal dan nonformal di LPKA, Lapas, dan Rutan di Indonesia.
"Yang mengikuti pendidikan formal dan nonformal di LPKA, Lapas, dan Rutan hanya berjumlah 929 anak atau 39 persen. Dan anak yang mengikuti pelatihan keterampilan hanya 175 anak atau 7 persen," ucap Dusak.
Dari data itu, lanjut dia, dapat dilihat, belum semua anak terjerat pidana mendapatkan hak pendidikannya selama menjalani masa hukuman. Termasuk anak-anak di LPAS.
Menurut dia, ada dua sebab kenapa jumlah anak pidana yang mendapatkan pendidikan formal dan nonformal masih minim. Pertama, belum semua LPKA, Lapas, dan Rutan di Indonesia bisa menyelenggarakan pendidikan. Mengingat, belum terpenuhinya persyaratan penyelenggaraan proses belajar mengajar yang mengacu pada kebijakan dan peraturan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kedua, penempatan anak pidana masih tersebar di Lapas dan Rutan dewasa, karena belum semua provinsi di Indonesia memiliki LPKA atau LPAS. Sehingga pembinaan dan pendidikan bagi anak terabaikan, karena konsentrasi para petugas terfokus pada warga binaan dewasa.
Dusak mengatakan, permasalahan ini sebetulnya sudah diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Di situ diamanatkan, LPKA dan LPAS wajib menyelenggarakan pendidikan bagi anak. Penyelenggaraannya berpedoman pada aturan dan regulasi Kemendikbud.
"Tapi pelaksanaannya diperlukan model pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan anak, mengingat latar belakang permasalahan anak yang menjadi penyebab berada di LPKA dan LPAS beragam. Mulai dari keterbatasan ekonomi, waktu, geografis, dan sosial," ujar Dusak.