Liputan6.com, Jakarta - Tahi Bonar (TB)Â Simatupang tak terdengar asing di telinga masyarakat, khususnya bagi warga Ibu Kota yang tinggal di wilayah pinggiran Jakarta Selatan. Nama itu identik dengan nama jalan yang membentang dari selatan hingga timur Jakarta.
Macet menjadi satu kata untuk menggambarkan kondisi jalan tersebut. Apalagi, setelah ruas tol lingkar luar barat diresmikan, kondisi jalan semakin padat karena menjadi jalan alternatif menuju Bandara Soetta dan Serpong.
Terlebih, Jalan TB Simatupang menjadi jalan utama penghubung dari Depok, Tangerang, dan kawasan sub-urban.
Advertisement
Jalan yang menghubungkan wilayah Lebak Bulus, Cilandak hingga ke Kramatjati ini juga menjadi salah satu pusat bisnis dan perkantoran. Beberapa perusahaan multi-nasional, rumah sakit, pusat pendidikan, bisnis dan perdagangan berdiri di jalan tersebut.
‎
‎Namun, di tengah berkembangnya perekonomian di jalan tersebut, banyak masyarakat yang belum mengetahui siapa sosok TB Simatupang.
Dikutip dari pusat dokumentasi dan sejarah TNI, TB Simatupang dipanggil Bonar saat masih kecil. Dia lahir di Sidikalang, Sumatera Utara, sebagai anak kedua dari delapan bersaudara. Ayahnya seorang ambtenaar --pegawai negeri pada zaman Belanda-- bernama Simon Simatupang dan ibunya bernama Mina Boru Sibutar.
Pada 1930-an, Simon ikut mendirikan Persatuan Kristen Indonesia, yang menjadi cikal bakal Partai Kristen Indonesia yang didirikan sesudah Indonesia Merdeka. Kehidupan gereja dan persekolahan Kristen tidak luput juga dari perhatiannya.
Latar belakang sosial seperti itu, Tahi Bonar Simatupang lahir dan berkembang di Sidikalang, yang saat itu terletak di Karsidenan Tapanuli.
Bakat menjadi orang besar memang sudah terlihat saat Bonar masih berusia belasan tahun. Pada kumpulan tulisan di buku Percakapan dengan TB Simtupang dikisahkan, saat belajar sejarah, Bonar pernah mendebat gurunya hingga dia diusir.
Ia menganggap, sang guru, yang seorang Belanda dianggap terlalu merendahkan kemampuan Bangsa Indonesia. Ia juga pernah hampir diusir oleh gurunya lantaran kepergok membaca pembelaan Sukarno yang berjudul 'Indonesia Menggugat'. ‎
Beranjak dewasa, Simatupang masuk ke Koninklije Militaire Academie (KMA) Bandung dan lulus sebagai perwira pada 1942. Beberapa perwira dari KMA antara lain Urip Sumoharjo, AH Nasution dan Alex Kawilarang.
Setelah Indonesia merdeka pada 1945, Simatupang bergabung dengan Tentara Republik Indonesia dengan pangkat kapten. Dia menjabat Asisten Kepala Bagian Organisasi Markas Tentara.
Bapak empat anak ini dikenal sebagai konseptor peletak dasar-dasar militer. Pemikirannya yang cerdas dan brilian membuatnya terus naik pangkat. Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang RI (Rera) yang dilakukan Wapres Mohammad Hatta, justru ikut menaikkan karier Simatupang.
Puncak kariernya, dia menjadi Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP). Saat itu usianya baru 29 tahun. Bonar diangkat menjadi KSAP menggantikan Jenderal Soedirman yang wafat pada Januari 1950.
Pada Laporan dari Banaran kisah perjalanan hidup yang ditulis oleh Bonar, di masa awal menjabat KSAP, dia harus berhadapan dengan beberapa gerakan pemberontak dan separatis yang melakukan kekacauan.
Seperti Angkatan Perang Ratu Adil di bawah Kaptern Westerling yang menembaki anggota TNI saat memasuki Bandung. Terdapat kurang lebih 79 anggota TNI tewas dalam peristiwa tersebut.
Selain itu, beberapa gerakan pemberontak lainnya, seperti gerakan Andi Aziz di Makassar, Republik Maluku Selatan, dan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) juga harus dihadapi oleh TB Simatupang.
‎‎
Protes Seragam Militer Bung Karno
Sebagai KSAP, Simatupang menjadi orang yang dipercaya oleh Bung Karno. Dia kerap diminta pendapatnya oleh pemimpin besar revolusi itu. Ada kejadian, di mana Bung Karno pernah marah kepada Jenderal Bonar lantaran keberatan dengan seragam ala militer yang biasa dikenakan olehnya.‎
Simatupang menganggap penggunaan seragam militer dapat menjadi stigma di masyarakat. Dia khawatir terbentuk mentalitas, hanya orang yang berseragam yang patut dihormati.
Ia pun mengambil contoh para kaisar di dunia yang selalu berfoto dengan pakaian kebesaran. Namun, tak mau menemui rakyat kalau tak mengenakan seragamnya itu. Rupanya, Soekarno tak bisa menerima penjelasan Simatupang.‎
Bung Karno‎ pun sempat marah. Dia menceritakan hal tersebut kepada beberapa orang kepercayaannya. M‎endengar selentingan cerita Sukarno, Bonar pun buka suara dan menjelaskan cerita sebenarnya.
"Yang benar saya katakan adalah: Bung Karno‎, ‎saya sebagai Kepala Staf Angkatan Perang yang mengenakan uniform, memberi hormat pada Bung Karno yang tidak memakai uniform. Sehingga dengan demikian masyarakat melihat bukan yang memakai uniform itu yang tinggi, tetapi yang tidak memakai uniform," kata Simatupang menjelaskan masalah itu dalam buku Percakapan Dengan DR TB Simatupang. ‎
‎‎
TB Simatupang tak lama menjabat KSAP, adanya perpecahan di internal militer dan perbedaan pandangan dengan Presiden Sukarno kala itu membuat suami dari Sumiarti Budiardjo harus kehilangan jabatannya.
Simatupang yang dinilai pro-Gerakan 17 Oktober, diberhentikan dari Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP). Gerakan 17 Oktober dianggap upaya 'setengah kudeta' oleh Sukarno.
Selanjutnya hanya ada forum antara kepala staf angkatan darat, laut dan udara, tanpa jabatan KSAP. Hilangnya jabatan KSAP itu pun menutup karir TB Simatupang di militer. Â
Advertisement
Habiskan Sisa Hidup di Gereja
Tak lagi berdinas di militer, Bonar kemudian diangkat sebagai Penasihat Militer di Departemen Pertahanan RI. Selain bekerja sebagai penasihat militer, Bonar menyibukkan diri dengan menulis buku dan mengajar di SSKAD (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat, sekarang Seskoad, dan Akademi Hukum Militer/AHM).
Salah satu bukunya berjudul Laporan dari Banaran, yang merupakan kisah pengalamannya selama menjadi prajurit. Karya itu menjadi salah satu bahan rujukan para sejarawan menggambarkan situasi pada masa pergerakan kemerdekaan dan revolusi di Indonesia. Â
Tak lama berdinas sebagai penasihat di Departemen Pertahanan, akhirnya Bonar dipensiunkan dari dinas militer pada 21 Juli 1959 dalam usia 39 tahun dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal.
Setelah menjadi warga sipil, Bonar TB Simatupang aktif dalam kegiatan keagamaan ia banyak memberikan sumbangsih pemikiran tentang peranan gereja di masyarakat.
Pada aktivitas gerejawinya itu, ia pernah menjabat sebagai Ketua Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, Ketua Majelis Pertimbangan PGI, Ketua Dewan Gereja-Gereja Asia, Ketua Dewan Gereja-Gereja se-Dunia.
Simatupang juga menjabat sebagai Ketua Yayasan Universitas Kristen Indonesia dan Ketua Yayasan Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (IPPM).
Ia bahkan merupakan salah satu pencetus lembaga pendidikan ini, ketika di Indonesia belum banyak orang yang memikirkannya. Simatupang percaya, Indonesia membutuhkan pemimpin-pemimpin yang menguasai ilmu manajemen dalam perusahaan maupun di tengah masyarakat.
Pada 1969, Simatupang dianugerahi gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Tulsa, Oklahoma, Amerika Serikat.
TB Simatupang meninggal dunia di Jakarta pada 1 Januari 1990 dalam usia 70 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Atas jasa-jasa dan pengabdiannya terhadap bangsa dan negara, pada 1995 Pemerintah RI menganugerahi tanda jasa Bintang Mahaputra Adipradana. Namun TB Simatupang baru mendapatkan gelar pahlawan pada November 2013 di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Penganugerahan gelar tersebut berdasarkan Keppres Nomor 68 TK 2013 yang ditetapkan di Jakarta pada 6 November 2013.