Liputan6.com, Jakarta - Tali carmentel dynamic membentang sepanjang 20 meter lebih dari tengah ke ujung Gedung Artha Graha di Sudirman Central Business District (SCBD), DKI Jakarta. Tali dipasang tepat di rooftop gedung dengan tinggi 210 meter. Tali itu menjadi pengikat utama buat tali carmentel static. Tali itu kemudian dihubungkan carabiner ke full body safety harness yang sudah terpasang di tubuh Sabar Gorky. Di harness itu terpasang descender, ascender, dan grigri. Jemari Sabar kemudian mengecek semua alat, lantas mengunci carabiner untuk memastikan semua tali terpasang dengan aman.
Lelaki asal Solo, Jawa Tengah, ini kemudian melangkah dipapah tongkat stainless steel ke ujung gedung. Dengan cekatan, Sabar mulai turun perlahan dari lantai 35. Descender yang sudah terpasang, menjadi alat yang digunakan Sabar untuk mengatur irama tubuhnya, saat berayun meniti beton. Perlahan tapi pasti, Sabar mulai mendekati jendela gedung. Ia kemudian mengeluarkan sabun dan membasuh jendela di Lantai 33 Gedung Artha Graha. “Di atas gedung, perasaan saya enjoy saja,” kata Sabar kepada Liputan6.com, Kamis (20/10/2016).
Advertisement
Sabar Gorky merupakan difabel yang senang dengan olahraga ekstrem di alam bebas. Kesenangan ini sudah digeluti sejak dia berusia belasan tahun. Ini pula yang membuat Sabar memilih menjadi pencuci gedung dengan teknik olahraga panjat tebing. Aktivitas ini sudah ditekuninya sejak 1998. Saat itu, Sabar baru dua tahun kehilangan kaki kirinya, setelah terjatuh dari kereta pada 1996.
Namun, Sabar tak sekadar membersihkan gedung. Bapak beranak satu ini juga kerap mendaki gunung. Hobi ini sudah dilakukannya sejak kakinya masih utuh. Bahkan, Sabar terus melakoni hobi ini meski satu kakinya sudah diamputasi. Pada 2011, Sabar terpilih menjadi satu di antara pendaki yang tergabung dalam Tim Indonesia Raya yang melakukan ekspedisi Seven Summits.
Sejak 2011-2015, Sabar tercatat sudah menaiki 4 dari 7 puncak tertinggi di sejumlah benua, yakni Gunung Elbrus di Rusia pada Agustus 2011, Gunung Kilimanjaro di Tanzania pada November 2011, Gunung Carstenzs di Papua pada Agustus 2015, dan Gunung Aconcagua di Argentina pada Februari 2016. Gunung yang didakinya itu memiliki ketinggian di atas 4.000 meter di atas permukaan laut. “Itu karena saya senang,” ucap Sabar.
Perjalanan mendaki gunung tertinggi bukan sebuah perjalanan mudah. Fajri Lutfi (31), salah satu pendaki gunung dari Wanadri yang sudah menuntaskan ekspedisi Seven Summits menerangkan, perjalanan menuju puncak gunung tertinggi di dunia butuh teknik, fisik, dan mental yang luar biasa. Ini menjadi syarat utama bagi pendaki untuk menaiki puncak tertinggi dunia.
Lutfi, sapaan akrabnya mengatakan, empat dari tujuh gunung yang didaki merupakan gunung yang memiliki medan yang sulit. Apalagi, ketinggian gunung tersebut jauh di atas gunung yang ada di Indonesia. Meskipun, satu di antara tujuh gunung tersebut berada di Papua. Menurut dia, pendaki gunung tertinggi dunia akan diuji fisik dan mental. Tantangan tersebut akan langsung dirasakan seorang pendaki ketika mulai menapaki medan gunung. Kekuatan seorang pendaki tak hanya diuji fisiknya belaka. Tapi, kemampuan pikiran dan mentalnya.
Ini pula, kata Lutfi, yang tentunya dialami Sabar Gorky. Lutfi memandang, Sabar punya semangat dan daya juang yang luar biasa. Sebab, kondisi fisik Sabar memang tidak normal. Namun, kata Lutfi, Sabar mampu melakukan hal yang tak bisa dengan mudah dilakukan orang normal sekalipun. “Aku yakin jalan dengan satu kaki butuh energi lebih tinggi. Kita yang normal pun merasa kehabisan tenaga,” ucap Lutfi kepada Liputan6.com.
Turun dari Ketinggian
Sabar Gorky punya pekerjaan ekstrem yang biasa dilakukan sehari-hari. Suami Lenie Indria ini bekerja sebagai pembersih gedung. Aktivitas ini dilakukannya bukan dengan menaiki gondola, tapi bergelantungan dengan tali pengaman yang terpasang di atas rooftop gedung. Liputan6.com berkesempatan menyaksikan aktivitas membersihkan gedung yang dilakukan Sabar Gorky di Gedung Artha Graha, Kamis dua pekan lalu.
Sebelum menuruni gedung, Sabar yang ditemani Ian, Saifuddin, dan Syatiri, tiga asistennya, untuk mengecek alat-alat yang akan digunakan menuruni gedung setinggi 210 meter itu. Satu per satu, peralatan dicek untuk menghindari kesalahan saat Sabar turun membersihkan jendela di lantai 33 hingga 26. Mulai dari harness, webbing, ascender, descender, tali carmenter, auto stop, hingga carabiner. Ia kemudian memasang full body safety harness ke tubuhnya dan mengunci semua carabiner.
Dibantu tongkat stainless steel, Sabar menuju ke sudut kanan Gedung Artha Graha. Sebelum menuruni gedung, Sabar dan tiga asistennya berdoa. Selepas berdoa, Ian, dan Saifuddin kemudian memasangkan webbing, dan harness, lantas mengaitkan carabiner dan descender. Sementara Syatiri, ikut turun bersama Sabar membersihkan gedung sekaligus menjadi kru keselamatan yang memantau gerak Sabar.
"Klek" bunyi ascender atau alat yang membantu Sabar menaiki lintasan tali, terpasang ke tali carmenter. Tubuh Sabar yang sudah diikat full body safety harness dan sejumlah alat memanjat sudah terhubung ke tali carmenter. Dengan satu kaki, Sabar mencoba menopang tubuhnya untuk turun dari rooftop. “Memang enak,” ucap Sabar sembari bercanda kepada dua asistennya setelah bergelantungan di atas gedung.
Tanpa rasa takut, Sabar meluncur dari rooftop ke lantai 33 dengan tali dan sebuah ember berisi air detergen pembersih kaca. Wajahnya tampak tenang, dan perlahan mulai mengecil karena terus turun ke bawah. Di bawah kaki Sabar, terbentang Jalan Raya Tulodong Atas 2 yang melingkari di kawasan SCBD. Tanpa ragu, dia tampak mendarat di salah satu lantai gedung dan mulai membersihkan kaca.
Tak terasa, dua jam lebih sabar menuruni gedung dengan menempel pada tali carmenter. Selepas membereskan gedung, Sabar tampak kelelahan. Maklum, cuaca Jakarta pada Kamis 20 Oktober 2016 itu cukup terik. Sabar lantas bercerita, dirinya sempat merasa gugup saat hendak turun. Namun, gugup merupakan sebuah kewajaran.
“Itu naluri manusiawi. Pertama itu pasti ada rasa takut. Setelah kita turun dan bergelantungan. Takut itu hilang,” kata Sabar.
Advertisement
Semangat Gorky
Sabar Gorky sudah lama meniti langkah menjadi salah satu pendaki gunung yang memiliki keterbatasan fisik. Meski bukan yang pertama di dunia, Sabar merupakan pendaki Indonesia yang sempat membuat mata dunia terkagum. Meski kaki kanannya sudah diamputasi lantaran terjatuh dari kereta, semangat Sabar membalikkan pandangan miring banyak kalangan tentang penyandang disabilitas.
Lelaki yang terlahir dengan nama Sabar ini menuturkan, perjalanan menaiki Gunung Elbrus di Rusia, yang memiliki ketinggian 5.600 di atas permukaan laut, memberi kesan mendalam. Selain membuat banyak orang kaget, Sabar mengatakan, dirinya mendapat sebuah nama baru dari seorang staf Kedutaan Besar Republik Indonesia di Rusia. Nama itu tak lain Gorky.
Nama Gorky diambil dari nama pena Aleksey Maximovich Peshov, yang dikenal banyak pihak dengan nama Maxim Gorky, seorang sastrawan beraliran realisme sosial dari Rusia. Sabar menuturkan, Gorky punya arti getir. Arti nama itu, kata dia, sesuai dengan apa yang pernah dijalaninya. “Proses perjalanan hidup pahit, tapi untuk mencari kemanisannya harus ada prosesnya,” tutur Sabar.
Tak hanya nama baru, Sabar menceritakan, perjalanan ke Gunung Elbrus menjadi sangat berkesan. Selain karena dia bisa menaiki gunung yang lebih tinggi, Sabar mengaku, itu menjadi kesempatan baik buat dirinya untuk mengikis pandangan diskriminatif buat penyandang cacat. Keinginan ini, kata Sabar, sudah ada di benaknya jauh-jauh hari sebelum dirinya dikenal media sebagai pendaki difabel.
Sabar beralasan, Tuhan memberikan kesempatan berusaha yang sangat luas. Ini menjadi semangatnya untuk terus mengajak sesamanya melawan pandangan miring terhadap penyandang disabilitas. Buat Sabar, disabilitas perlu mendapat kesempatan yang sama tanpa perlu dibeda-bedakan. “Difabel ini tidak akan ngaco kalau diberikan kesempatan,” ucap Sabar.
Keinginan Sabar untuk memberikan kesempatan kepada penyandang disabilitas, didukung pencinta olahraga alam bebas. Fajri Lutfi salah satunya. Lutfi yang pernah menuntaskan ekspedisi seven summits ini menuturkan, dirinya teringat kepada sosok Mark Inglis dan Erik Weihenmayer, dua pendaki gunung yang juga mempunyai keterbatasan fisik tapi mampu mendaki puncak Gunung Everest.
Menurut Lutfi, Sabar punya motivasi yang lebih di tengah keraguan banyak orang. Motivasi tersebut menjadikan Sabar mampu membuktikan, jika kaum difabel juga layak diberi kesempatan yang sama. Belajar dari kasus Sabar, kata Lutfi, kecacatan bukanlah sebuah penghalang untuk siapa pun. “Itu yang aku salut. Yang gak kebayang pas waktu di Cartenz, karena dia harus memanjat tebing,” ujar Lutfi.