Generasi di Desa Cinangka Bogor Terancam Idiot

Peleburan aki bekas yang dilakukan secara tradisional sejak tahun 1978 menyisakan masalah di Desa Cinangka, Kecamatan Ciampea, Bogor.

oleh Achmad Sudarno diperbarui 01 Des 2016, 18:44 WIB
Diterbitkan 01 Des 2016, 18:44 WIB
Peleburan aki bekas yang dilakukan secara tradisional sejak tahun 1978 menyisakan masalah di Desa Cinangka, Kecamatan Ciampea, Bogor
Peleburan aki bekas yang dilakukan secara tradisional sejak tahun 1978 menyisakan masalah di Desa Cinangka, Kecamatan Ciampea, Bogor. (Liputan6.com/Achmad Sudarno)

Liputan6.com, Bogor - Peleburan aki bekas yang dilakukan secara tradisional sejak tahun 1978 menyisakan masalah di Desa Cinangka, Kecamatan Ciampea, Bogor, Jawa Barat.

Pencemaran logam berat menyebabkan anak-anak desa itu terserang penyakit, seperti keterbelakangan mental, mulai dari kaki lemah tidak bisa berdiri, bahkan sampai ada yang meninggal dunia.

"Memang benar, beberapa balita sampai remaja yang tinggal dekat tempat bekas peleburan aki, anaknya seperti idiot," kata Kepala Desa Cinangka, Nurdin di Bogor, Kamis (1/12/2016).

Namun demikian, Nurdin tidak mengetahui secara pasti berapa jumlah warga desanya yang diduga terserang akibat pencemaran lingkungan yang berasal dari peleburan aki.

"Dua atau tiga tahun lalu sempat ada penelitian dari pusat. Kalau tidak salah dari 240 sampel anak yang diamati ada 12 anak terindikasi idiot. Tahun kemarin ada lima anak yang keterbelakangan mental dibawa oleh LSM untuk dites," ujar dia.

Nurdin menjelaskan, industri peleburan aki ilegal mulai marak di wilayah itu sejak tahun 1978. Pada masa itu, industri peleburan resmi kebanjiran impor aki bekas dari Taiwan. Karyawan yang membawa pulang aki bekas untuk dikerjakan di rumah masing-masing akhirnya menularkan keterampilan itu ke tetangga yang lain.

"Pembakaran aki makin marak, puncaknya tahun 2008 ada sekitar 60 tungku tersebar di Desa Cinangka," ujar Nurdin.

Ketika industri ilegal yang dikerjakan secara tradisional ini masih beroperasi, daerah di sekitar Desa Cinangka berkabut pekat. Udara dan tanah terkontaminasi zat beracun berbahaya. Kondisi ini sempat membuat warga resah.

"Beberapa kali warga protes, tapi tidak pernah didengar oleh pemerintah daerah. Setelah kantor kecamatan nyaris dibakar, baru pemda bergerak menutup peleburan aki," ujar Nurdin yang baru 1,5 tahun menjabat sebagai Kades Cinangka.

Rupanya, sampai saat ini industri peleburan aki bekas belum benar-benar mati di desa tersebut. Aktivitas peleburan masih kerap dilakukan meski harus sembunyi-sembunyi pada malam hari. Beberapa warga masih bergantung pada industri ilegal tersebut dan sulit beralih ke mata pencarian lain.

"Saya tidak menampik, memang masih ada," kata dia.

Penghasilan Rp 40 Juta/Bulan

Hasil peleburan biasanya akan ditampung agen kemudian disalurkan lagi ke industri yang membutuhkan seperti industri elektronik dan aki rekondisi. "Dari pembakaran aki bekas itu hasilnya cukup besar Rp 30 juta sampai Rp 40 juta perbulan," ujar Nurdin.

Tingginya nilai ekonomi dari industri peleburan aki bekas ilegal ini yang membuat beberapa warga masih bertahan dengan usaha peleburan aki bekas.

"Pemerintah daerah pernah memberi bantuan alat untuk usaha, misalnya mesin pemotong singkong untuk dijadikan keripik. Karena untungnya sedikit, jadi balik lagi ke usaha pembakaran aki," terangnya.

Direktur Pemulihan Kontaminasi dan Tanggap Darurat Limbah B3, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Qurie Purnamasari menjelaskan, hasil riset Kementerian LHK dan Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) tahun 2014, menunjukkan kadar Pb di tanah mencapai 270.000 ppm (part per million), sementara ambang batas yang direkomendasikan WHO hanya 400 ppm.

Tak hanya itu, cemaran racun timbal (Pb) dalam darah anak-anak Desa Cinangka mencapai rata-rata 36,62 mcg/dL. Kadar tertinggi bahkan mencapai 65 mcg/dL, hampir 7 kali lipat dari ambang yang ditetapkan WHO yakni 10 mcg/dL.

"Penelitian menunjukkan racun timbal dari limbah peleburan aki bekas telah mencemari hampir seluruh desa ini," ungkap Qurie saat meninjau ke Desa Cinangka.

Menurut dia, beberapa gejala klinis pada penduduk setempat yang teramati dalam penelitian tersebut diyakini berhubungan dengan tingginya pencemaran Pb, di antaranya adalah gangguan mental, gangguan saraf dan lambannya pertumbuhan janin.

"Racun B3 ini berisiko menurunkan IQ 0,9 dr 1 mikro. Kalau racun ini menyebar satu generasi bisa alami keterbelakangan mental," ungkap Qurie.

Ia menjelaskan, fiber atau serat dari elemen pembatas bisa menyebabkan gatal-gatal saat mengalami kontak langsung dengan kulit. Asam sulfat (H2SO4) dalam cairan aki yang dibuang sembarangan  mencemari sumber air dan tanah, sedangkan asap pembakarannya membawa pertikel logam berat termasuk Pb.

Pemulihan Tanah

Pekerja yang melakukan peleburan maupun penduduk di sekitarnya paling banyak terpapar racun Pb saat menghirup asap pembakaran. Partikel Pb yang tidak terhirup juga mengalami deposisi atau pengendapan di permukaan tanah. Bahayanya, limbah akan menyebar jika terbawa air.

"Sebagian besar paparan Pb pada anak terjadi melalui tanah. Namun saya tidak punya data pasti berapa jumlah orang yang terindikasi kena racun limbah. Kalau tanah tidak secepatnya dipulihkan dikuatirkan satu generasi bisa keterbelakangan mental," kata Qurie.

Sejauh ini, KLHK sudah melakukan pemulihan tanah agar limbah B3 tidak meluas hingga ke wilayah desa lain. Antara lain dengan cara metode enkapsulasi dan gredding and fill.

"Target kami memulihkan 150 ribu ton tanah yang sudah tercemar. Namun selama dua tahun ini baru mengeruk sebanyak 24 ribu ton tanah," ujar Qurie.

Dengan demikian, masih ada sekitar 126 ribu ton tanah yang harus dilakukan pemulihan mengingat cakupan pencemaran B3 di wilayah Desa Cinangka sudah meluas.

"Untuk memulihkan 85 persen tanah di beberapa spot yang terindikasi tercemar butuh waktu lama dan anggaran cukup besar," kata Qurie.

Pantauan Liputan6.com, jejak pencemaran logam berat masih ditemukan di beberapa titik di desa ini. Secara kasat mata, bekas-bekas lempengan elektroda berlapis timah yang menghitam, dan serat (fiber) elemen pembatas mudah sekali dijumpai di pinggir-pinggir jalan dan di halaman rumah penduduk.

Kemudian di perkebunan masih ditemukan sisa pembakaran aki bekas yang dilakukan warga setempat pada malam hari dengan cara sembunyi-sembunyi.

Begitu juga di lapangan sepakbola di dekat SDN Cinangka 02, tempat anak-anak menghabiskan waktunya untuk bermain. Sisa pembakaran aki ditumpuk menggunakan karung.

Bahkan, di beberapa rumah warga, casing aki bekas berukuran besar dipakai sebagai bak penampung air. Mereka tidak terpikir sedikit pun bahwa bekas timbal (Pb) yang masih melekat merupakan racun berbahaya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya