Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka dalam kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
"KPK menemukan dua alat bukti dalam pemberian surat kewajiban pemegang saham SKL kepada Syamsul Nursalim selaku pengendali saham BDNI (Bank Dagang Nasional Indonesia) pada 2004 dari BLBI kepada BPPN. Terkait hal tersebut KPK menetapkan SAT sebagai tersangka," ujar Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, Selasa 25 April 2017.
Menurut dia, Syarifruddin diduga telah menguntungkan diri sendiri, orang lain dan korporasi. Dia juga diduga menyalahgunakan wewenang dalam penerbitan SKL BLBI kepada Syamsul Nursalim, selaku pemegang saham BDNI pada 2004.
Advertisement
Kabar ini jelas sebuah perkembangan baru dari sebuah kasus yang sudah berjalan selama dua dekade dan masih jauh dari selesai. Kebijakan BLBI yang diambil pemerintah untuk mengatasi krisis perekonomian di tahun 1997 itu telah menimbulkan polemik berkepanjangan, kompleks dan multidimensi.
Salah satu titik yang mewarnai upaya penyelesaian BLBI adalah hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap BLBI yang besarnya mencapai Rp 144,5 triliun. Pemeriksaan itu menyimpulkan, terdapat indikasi penyimpangan dalam penyaluran maupun penggunaan BLBI yang menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 138,5 triliun.
Bank Nasional Goyah
Kasus perbankan terbesar yang pernah dialami Indonesia ini berawal ketika awal September 1997, ketika Bank Indonesia menurunkan suku bunga SBI sebanyak tiga kali.
Kemudian, berkembang isu di masyarakat mengenai beberapa bank besar yang mengalami kalah kliring dan rugi dalam transaksi valuta asing (valas). Kepercayaan masyarakat terhadap bank nasional ketika itu mulai goyah. Penarikan uang kecil-kecilan mulai terjadi.
Situasi itu ditanggapi pemerintah dengan keputusan untuk membantu bank sehat yang mengalami kesulitan likuiditas (dana cair), sedangkan bank yang sakit akan dimerger atau dilikuidasi. Bantuan untuk bank yang kesulitan likuiditas inilah yang disebut Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Bantuan ini diberikan untuk menjaga kestabilan sektor perbankan serta sistem pembayaran nasional agar tidak terganggu oleh ketidakseimbangan antara penerimaan dan penarikan dana pada bank-bank, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.
Pada 1 November 1997, langkah berani kembali diambil pemerintah, yaitu melikuidasi 16 bank nasional. Bukannya membuat dunia perbankan makin sehat, ketidakpercayaan malah makin menebal.
Pada akhir Desember 1997, Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono melayangkan surat ke Presiden Soeharto, menginformasikan kondisi perbankan nasional yang terus mengalami saldo debit, akibat tekanan dari penarikan dana nasabah.
Soeharto menyetujui saran direksi BI untuk mengganti saldo debit bank dengan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) khusus agar tidak banyak bank yang ditutup dan dinyatakan bangkrut. Langkah ini juga langsung ditindaklanjuti oleh BI dengan mengucurkan dana besar-besaran ke bank-bank yang saat itu mengalami masalah.
Sebulan kemudian, pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998 membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Tugas pokoknya adalah untuk penyehatan perbankan, penyelesaian aset bermasalah dan mengupayakan pengembalian uang negara yang tersalur pada sektor perbankan. Dengan lahirnya BPPN, tugas penagihan utang BLBI dialihkan ke lembaga baru ini.
Dana BLBI Diselewengkan
Kendati dana nasabah di 16 bank yang dicabut izinnya oleh pemerintah telah dikembalikan, krisis tak kunjung usai. Bahkan, alih-alih bisa menyehatkan bank, di awal April 1998, pemerintah membekukan operasi (bank beku operasi/BBO) 7 bank dan mengambil alih (bank take over/BTO) 7 bank lainnya yang dikenal sebagai likuidasi tahap II.
Namun begitu, kucuran dana bagi bank terus dipasok pemerintah. Hanya saja, pada Agustus 1998 pemerintah di bawah Presiden BJ Habibie memberikan tenggat perlunasan BLBI dalam tempo sebulan. Bila itu dilanggar, ancaman pidana menunggu.
Sayang, tenggat waktu tersebut berlalu begitu saja. Jangankan ancaman pidana, sanksi administratif pun tak terdengar. Bahkan, pada 26 September 1998, Menteri Keuangan menyatakan pemerintah mengubah skema pengembalian BLBI dari sebulan menjadi lima tahun.
Namun, sehari kemudian Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Ginandjar Kartasasmita meralat angka lima tahun. Menurut dia, pemerintah minta pola pembayaran BLBI tunai dalam tempo setahun.
Akhirnya ditetapkan, pengembalian BLBI akan berlangsung selama empat tahun. Tahun pertama 27 %, sisanya dikembalikan dalam tiga tahun dalam jumlah uang yang sama. Tak lama kemudian, pemerintah kembali membekukan kegiatan usaha 38 bank, mengambil alih 7 bank, dan merekapitalisasi 7 bank.
Pada 19 Februari 1999, Ketua Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Soedarjono mengungkapkan adanya penyelewengan dana BLBI oleh para bank penerima. Potensi kerugian negara disebut sebesar Rp 138,44 triliun (95,78%) dari total dana BLBI yang sudah disalurkan.
Pada saat bersamaan, kondisi BPPN juga tidak jelas. Ketika seluruh aset seharusnya sudah berada di tangan BPPN dan dijual, kenyataannya tak seperti itu. Ada yang dikarenakan dokumen aset tidak lengkap, saham pemilik sudah diserahkan kepada kreditur lain, atau perbedaan nilai atas aset yang diserahkan ke BPPN.
Kelompok Salim, misalnya, berdasar valuasi auditor yang mereka tunjuk, mengaku punya aset senilai Rp 52,667 triliun. Namun ketika dilakukan due dilligent oleh Holdiko, nilainya maksimal cuma sekitar Rp 20 triliun.
Masuk Ranah Hukum
Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, penyelesaian kasus BLBI dilakukan dengan mengeluarkan Inpres No 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan penyelesaian kewajiban pemegang saham.
Inpres yang dikeluarkan 30 Desember 2002 itu menginstruksikan Menko Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), Menteri Kehakiman dan HAM, anggota KKSK, Menteri Negara BUMN, Jaksa Agung, Kapolri dan Ketua BPPN untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi penyelesaian kewajiban pemegang saham.
Dengan skema ini, para obligor BLBI bisa dianggap sudah menyelesaikan utangnya dan mendapatkan Surat Keterangan Lunas (SKL) walaupun hanya 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.
Atas dasar bukti ini, para obligor yang diperiksa dalam proses penyidikan akan dikeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP) 3 dan bila perkaranya dalam proses di pengadilan akan dijadikan novum atau bukti baru yang bisa membebaskan mereka.
Hingga berakhirnya BPPN pada 2004, dari 39 pemegang saham penandatangan Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS), 23 pemegang saham telah memenuhi kewajiban sesuai dengan batas waktu yang telah ditetapkan pemerintah.
Sementara itu 16 pemegang saham lain, terdiri dari delapan pemegang saham tidak dapat memenuhi kewajibannya sesuai dengan batas waktu yang telah ditetapkan pemerintah dan delapan pemegang saham lainnya dinyatakan tidak kooperatif dan penanganannya akan dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Biang Kerok SKL
Inpres No 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge membuat kejaksaan menghentikan proses penyidikan (SP3) terhadap sedikitnya 10 tersangka korupsi BLBI pada 2004. Alasan kejaksaan menghentikan penyidikan karena para tersangka telah mendapat Surat Keterangan Lunas (SKL) dari BPPN.
Penghentian penyidikan dalam kasus korupsi BLBI ini pada akhirnya memperpanjang daftar penerima SP3 yang telah diberikan pihak kejaksaan dan secara eksplisit membebasakan tuntutan hukum secara pidana kepada para obligor BLBI sehingga bebas dari ancaman hukuman penjara.
Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mekanisme penyelesaian BLBI masih menggunakan prinsip release and discharge, dengan lebih memprioritaskan pengembalian aset ketimbang penegakan hukum.
Meskipun demikian, ada sedikit kemajuan dalam proses penanganan kasus BLBI di era SBY, yaitu sejak dilantiknya Jaksa Agung Hendarman Supandji menggantikan Abdurrahman Saleh.
Kejaksaan Agung menunjukkan keseriusan dengan membentuk tim pemburu koruptor dan upaya menjalin kerja sama ekstradisi dengan Australia serta terus melakukan proses penyidikan. Salah satunya dengan memanggil Kwik Kian Gie dan beberapa mantan pejabat lain yang bertugas semasa pengucuran dana BLBI.
Yang jelas, ketika BPPN dibubarkan pada 27 Februari 2004, uang negara yang telah dikucurkan kepada perbankan senilai Rp 699,9 triliun menyusut menjadi Rp 449,03 triliun, karena sebagian aset merupakan aset busuk yang nilainya digelembungkan para pemiliknya. BPPN pun hanya berhasil mengembalikan dana kepada negara Rp 172,4 triliun, sisanya menguap begitu saja.
Sementara, upaya menyeret para pelaku korupsi dana BLBI sampai saat ini masih terbentur kendala penegakan hukum. Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), hingga akhir 2005 sudah 60 orang diperiksa.
Tapi baru 16 orang yang diproses ke pengadilan, enam tersangka masih dalam proses penyidikan, dan 26 orang lainnya masih dalam proses penyelidikan.
Meskipun 16 orang sudah dibawa ke pengadilan, hasil yang dicapai secara keseluruhan sangat mengecewakan. Tiga tersangka dibebaskan oleh pengadilan.
Bahkan, dari 13 tersangka yang telah divonis penjara oleh hakim di tingkat pertama, banding, atau kasasi, hanya Hendrawan Haryono --terpidana kasus korupsi BLBI Aspac-- yang berhasil dijebloskan ke penjara.
Dua terdakwa lain tidak langsung masuk ke bui. Bahkan, sembilan terdakwa melarikan diri ke luar negeri setelah dinyatakan bersalah dan divonis penjara oleh pengadilan.
Â