Liputan6.com, Jakarta - Pengamat hukum dan politik Pieter C. Zulkifli menilai isu ijazah presiden ketujuh RI Joko Widodo palsu menjadi komoditas musiman ketika suhu politik meningkat, meski telah berkali-kali dijelaskan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM).
Pieter mengatakan narasi ijazah palsu itu terus diangkat seolah skandal besar yang ditutup-tutupi. Padahal, institusi akademik yang bersangkutan telah menegaskan Jokowi merupakan alumni resmi Fakultas Kehutanan.
Baca Juga
“Tuduhan ini bukan semata tentang keabsahan sebuah ijazah. Ia mencerminkan krisis yang lebih dalam: kegagalan sebagian elite politik dan segmen masyarakat dalam memaknai demokrasi dan cara beroposisi secara sehat,” katanya seperti dilansir Antara.
Advertisement
Menurut Pieter, publik perlu melihat lebih dalam penyebab munculnya narasi tersebut. Ia mengajak masyarakat berpikir lebih jernih agar demokrasi bisa terjaga dari erosi nalar dan etika, terlebih di era mudahnya mengakses informasi.
“Klarifikasi demi klarifikasi telah disampaikan. Wakil rektor UGM bahkan menyebutkan secara gamblang tahun masuk, tahun lulus, hingga judul skripsi Jokowi. Namun, sebagian pihak terus menggulirkan isu ini dengan nada insinuatif,” ujarnya.
Tuduhan Tanpa Bukti Hanya Akan Jadi Fitnah
Dalam prinsip hukum, tambah Pieter, dikenal adagium “actori incumbit probatio” yang berarti ‘siapa yang mendalilkan, dialah yang wajib membuktikan’. Menurut dia, tuduhan tanpa bukti yang kuat hanya akan menjadi fitnah.
Ia mengaku khawatir bahwa narasi itu bisa berdampak lebih luas, yakni mengikis kepercayaan terhadap institusi pendidikan, menciptakan keraguan terhadap stabilitas politik nasional, dan pada akhirnya merugikan iklim investasi.
“Tidak sedikit investor asing yang menjadikan kepastian hukum dan stabilitas politik sebagai parameter utama. Ketika narasi-narasi seperti ini terus dikapitalisasi tanpa kendali, dampaknya bukan hanya politik domestik, tapi juga reputasi Indonesia di mata dunia,” ucapnya.
Di samping itu, Pieter berpandangan bahwa narasi ijazah palsu ini tidak hidup dalam ruang hampa. Dia menyebut isu tersebut muncul beriringan dengan transisi kekuasaan menuju pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Dia juga melihat bahwa aksi publik yang mengusung ijazah palsu Jokowi cenderung dibungkus dengan semangat keterbukaan, tetapi tidak menghadirkan data baru yang menguatkan narasi tersebut.
“Yang justru muncul adalah nada agitasi, provokasi, dan seruan-seruan yang berpotensi menjerumuskan bangsa ke dalam kubangan instabilitas,” katanya.
Advertisement
Demokrasi Jangan Direduksi Jadi Panggung Fitnah
Untuk itu, Pieter menilai aparat penegak hukum perlu bersikap lebih tegas dalam merespons isu tersebut. Dia juga mengajak semua pihak untuk keluar dari jebakan politik yang remeh-temeh.
Demokrasi Indonesia, kata dia, tidak boleh direduksi menjadi panggung fitnah.
“Ia (demokrasi) harus menjadi ruang dialektika gagasan dan integritas. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?” demikian Pieter.
