Pakar: Putusan Paripurna Angket KPK Tidak Legitimate

Jika hak angket tersebut tetap dipaksakan, fraksi-fraksi yang tidak sepakat bisa melayangkan protes melalui Badan Musyawarah (Bamus) DPR.

oleh Nafiysul Qodar diperbarui 08 Mei 2017, 06:09 WIB
Diterbitkan 08 Mei 2017, 06:09 WIB
20161215- Rapat Paripurna Penutupan Masa Sidang II Resmi Masukkan UU MD3 dalam Prolegnas 2016-Johan Tallo
Suasana Rapat Paripurna penutupan masa sidang II di Gedung Perlemen, Jakarta, Kamis (15/12). Dalam Paripurna penutupan masa sidang tersebut, membahas Tujuh Agenda yang salah satunya dibahas Badan Legislasi (Baleg) DPR. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menyatakan, sidang paripurna DPR yang mengesahkan hak angket KPK cacat hukum. Sebab, pengambilan keputusannya tidak diikuti oleh seluruh fraksi di lembaga legislatif tersebut.

"Karena pengambilan keputusannya jelas, tidak mendengarkan semua masukan yang hadir saat itu. Dan kita jelas melihat bahwa ada tiga fraksi yang walk out. Itu saja sudah menandakan bahwa keputusannya tidak legitimate," ujar Bivitri dalam diskusi Jaringan Masyarakat Anti-Korupsi (JaMAK) di Jakarta, Minggu 7 Mei 2017.

Menurut dia, hal itu diatur dalam Pasal 201 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 dan Tata Tertib DPR. "Bahwa hak angket atau pansus hak angket baru bisa berjalan kalau diwakili semua fraksi. Jadi secara hukum kalau ada satu saja fraksi (tidak terlibat), maka sebenarnya hak angket tidak bisa dibentuk," jelas Bivitri.

Jika hak angket tersebut tetap dipaksakan, fraksi-fraksi yang tidak sepakat bisa melayangkan protes melalui Badan Musyawarah (Bamus) DPR. Bahkan mereka juga bisa melakukan gugatan hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Bahkan, jika hak angket tetap dipaksakan, KPK bisa saja menolak hadir seandainya dipanggil DPR. Namun KPK harus siap menerima segala konsekuensinya jika menolak hadir.

"Tapi yang kami coba dorong kepada KPK, datang, datang saja. Masalahnya ketika nanti mereka (KPK) dipaksa buka dokumen terkait penegakan hukum, mereka bisa menolak. Karena dasar hukumnya jelas sekali (dokumen penegakan hukum hanya bisa dibuka melalui pengadilan)," terang Bivitri.

Rencana hak angket digulirkan Komisi III DPR untuk menanyakan kepada KPK terkait tata kelola dokumentasi dalam proses hukum penindakan dugaan korupsi. Di antaranya soal terjadinya pembocoran dokumen dalam proses hukum seperti berita acara pemeriksaan (BAP), sprindik, dan surat pencekalan.

Hak angket KPK telah disetujui DPR melalui rapat paripurna. Fahri Hamzah yang memimpin rapat telah mengetuk palu tanda hak angket disetujui, meskipun ada sejumlah partai yang menolak usulan tersebut antara lain Partai Gerindra, Demokrat, PKB, PKS, dan PPP.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya