Liputan6.com, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pengunduran diri Setya Novanto dari Ketua DPR merupakan hal yang mendesak.
"Kami menilai sangat urgen sekali kondisi saat ini. Kalau bisa Setyo Novanto yang atas kesadaran diri mundur sebagai Ketua DPR RI," kata Peneliti ICW Donal Fariz, di Sekretariat ICW, Jalan Kalibata Timur IV D Nomor 6, Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa (18/7/2017).
Baca Juga
Namun, kata Donal, jika Novanto tak berinisiatif mengundurkan diri dari jabatan Ketua DPR dan Partai Golkar, atau Golkar juga tak berinisiatif memberhentikan, akan memunculkan banyak anggapan negatif. Khususnya pada partai beringin tersebut.
Advertisement
"Kalau tidak, akan ada muncul anggapan Golkar menjadi 'bumper' bagi orang-orang yang punya masalah hukum, khususnya terkait tindak pidana korupsi," kata dia.
Menurut Donal, jika Novanto masih menjabat sebagai Ketua DPR dikhawatirkan akan ada potensi penyalahgunaan wewenangnya, untuk mempengaruhi proses peradilan.
"Sebagai pimpinan DPR, potensi yang besar adalah ada potensi penyalahgunaan wewenang, karena pimpinan DPR ini terkoneksi dengan lembaga-lembaga penegak hukum. Salah satunya, Mahkamah Agung," kata dia.
"Agar tidak ada upaya-upaya mempengaruhi peradilan kita, maka (Novanto) harus segera diberhentikan sebagai pimpinan DPR RI. Agar koneksi kepada peradilan itu tidak terpengaruh," dia menegaskan.
Begitu pula dalam posisi Novanto sekarang sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Menurut Donal, jika Novanto tak berhenti dari jabatan tersebut, akan mempengaruhi citra partai itu sendiri.
"Partai Golkar dalam posisinya lebih kepada citra partai. Kalau partai tetap mempertahankan, tentu menganggap pemberantasan korupsi tidak menjadi prioritas dan kasus-kasus yang menjerat (Novanto) menjadi tidak skala prioritas yang harus dibenahi," ujar dia.
Keputusan Golkar untuk memberhentikan Novanto yang kini menjadi tersangka korupsi, kata Donal, tentu ditunggu-tunggu publik. Hal tersebut menjadi ajang pertaruhan bagi Golkar pada komitmennya untuk ikut memberantas korupsi.
"Ini tentu menjadi pertaruhan bagi moralitas dan komitmen Partai Golkar, yang berkali-kali menyebut berada pada jalur pemberantasan korupsi," ujar dia.
"Tapi kalau mempertahankan ketua umumnya yang berstatus tersangka korupsi, tentunya akan menjadi tipuan pada publik bahwa Golkar berada pada jalur yang mendukung kerja pemberantasan korupsi," Donal menandaskan.
Menyulitkan Golkar
Direktur Pusat Studi Konstitusional (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang Feri Amsari menilai, pasca-penetapan Setya Novanto menjadi tersangka kasus korupsi e-KTP, tidak menutup kemungkinan akan ada riak-riak di tubuh Golkar.
Terutama, menurut Feri, muncul dari kubu yang berseberangan dengan Novanto. Apalagi, jika Novanto tidak berhenti jadi Ketua Umum Partai Golkar.
"Kebutuhan Golkar menghadapi 2018 dan 2019 sangat berat. Jadi menurut saya memang akan ada pergerakan dari kubu berseberangan dari Novanto," kata dia, pada kesempatan yang sama.
Maka dari itu, kata Feri, akan lebih baik jika ada kematangan sikap bersama dari seluruh jajaran Golkar untuk meminta Novamto mundur dari jabatannya.
"Nah, daripada terjadi ribut di internal Golkar, mestinya ada kelompok-kelompok yang lebih reflektif, kemudian secara baik-baik meminta Novanto untuk mundur," ujar dia.
Feri menuturkan, jika Novanto masih menjabat pimpinan Golkar dan DPR dalam status tersangka, maka akan berimbas juga pada tugas-tugas yang seharusnya diselesaikan.
"Kalau pimpinan konsentrasi terhadap perkara yang dihadapinya, tentu akan banyak kebijakan target DPR yang akan tersisih. Perlu pimpinan yang betul-betul berkonsentrasi membenahi DPR, bukan yang berkonsentrasi mengurusi diri mereka sendiri," kata dia.
Feri juga tidak memungkiri jika penggantian Novanto dari jabatannya membutuhkan prosedur yang panjang. Apalagi, harus melalui Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR.
"Kalau diberhentikan melalui proses pelanggaran etik memang akan panjang karena via MKD," ucap dia.
Namun, menurut Feri, jika pemberhentian Novanto sebagai Ketua DPR datang dari permintaan Partai Golkar, itu menjadi kewajiban DPR untuk memenuhi permintaan tersebut.
"Tapi kalau pemberhentian ketua DPR datang dari usulan Golkar, itu bisa dilakukan proses penggantian ketua dari partai yang meminta diberhentikan. Kewajiban DPR menerima kalau kemudian Golkar meminta (Novanto diberhentikan)," kata dia.
Namun lagi-lagi, kata Feri, sekarang keputusan final berada di jajaran internal Golkar. "Kalau Golkar berkeras hati mempertahankan Novanto, maka yang akan rumit Golkar sendiri di internalnya."
"Apalagi soal deal-deal politik baik melalui undang-undang, atau deal-deal politik lain termasuk soal koalisi di 2019 atau tidak," Feri menandaskan.
KPK menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus korupsi e-KTP. Keputusan KPK diambil setelah mencermati fakta persidangan Irman dan Sugiharto terhadap kasus e-KTP tahun 2011-2012 pada Kementerian Dalam Negeri.
"KPK menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan seorang lagi sebagai tersangka. KPK menetapkan SN, anggota DPR sebagai tersangka dengan tujuan menyalahgunakan kewenangan sehingga diduga mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun," ujar Ketua KPK, Agus Rahardjo, di Gedung KPK, Jakarta, Senin, 17 Juli 2017.
Setya Novanto diduga mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari nilai proyek Rp 5,9 triliun.
Atas perbuatannya, Setya Novanto disangkakan melanggar Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sementara, Setya Novanto sebelumnya tegas membantah dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) dalam dugaan korupsi KTP elektronik atau kasus e-KTP. Ia mengaku tidak pernah bertemu dengan Muhammad Nazaruddin, Anas Urbaningrum, dan pengusaha Andi Agustinus atau Andi Narogong.
Dia menyatakan tidak pernah menerima apa pun dari aliran dana e-KTP. "Saya tidak pernah mengadakan pertemuan dengan Nazaruddin bahkan menyampaikan yang berkaitan dengan e-KTP. Bahkan, saya tidak pernah menerima uang sepeser pun dari e-KTP," ujar Setya Novanto usai menghadiri Rakornas Partai Golkar di Redtop Hotel, Jakarta, Kamis 9 Maret 2017.
Saksikan video menarik berikut: