Istana: Setnov Tersangka, Jokowi Hormati Proses Hukum KPK

Jokowi sudah mengetahui penetapan tersangka Ketua DPR Setya Novanto melalui media massa.

oleh Ahmad Romadoni diperbarui 18 Jul 2017, 12:24 WIB
Diterbitkan 18 Jul 2017, 12:24 WIB
20161111- Jubir Presiden Joko Widodo Johan Budi-Jakarta- Helmi Afandi
Jubir Presiden Joko Widodo, Johan Budi saat tiba di KPK, Jakarta, Jumat (11/11). Wadah pegawai KPK menggelar acara ulang tahun yang dihadiri pegawai dan mantan pegawai. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Juru Bicara Kepresidenan Johan Budi mengatakan, Presiden Jokowi sudah mengetahui penetapan tersangka Ketua DPR Setya Novanto melalui media massa.

Presiden selalu mengedepankan proses hukum dan menghormati proses hukum yang sedang berjalan.

"Saya kira itu tupoksinya KPK. Presiden selalu menyampaikan bahwa kita semua harus menghormati proses hukum ya," kata Johan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (18/7/2017).

Dengan status tersangka ini, Setnov merupakan pimpinan lembaga tinggi negara kedua yang terjerat kasus korupsi KPK tahun ini. Sebelumnya, Ketua DPD Irman Gusman juga ditetapkan sebagai tersangka dan divonis 4 tahun 6 bulan atas kasus dugaan suap pengaturan kuota impor gula.

Johan menyampaikan, KPK sebagai lembaga independen tentu melaksanakan tugas sesuai dengan Undang-undang. Segala hal yang dilakukan KPK tentu harus dihormati semua pihak, termasuk Presiden.

"Saya kira tidak hanya KPK, kepada semua yang berkaitan dengan hukum ya harus dihormati," ucap Johan Budi.

KPK menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus korupsi e-KTP. Keputusan KPK ini diambil setelah mencermati fakta persidangan Irman dan Sugiharto terhadap kasus e-KTP tahun 2011-2012 pada Kemendagri.

"KPK menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan seorang lagi sebagai tersangka. KPK menetapkan SN, anggota DPR sebagai tersangka dengan tujuan menyalahgunakan kewenangan sehingga diduga mengakibatkan Negara rugi Rp 2,3 triliun," ujar Ketua KPK Agus Rahardjo di Gedung KPK, Jakarta, Senin, 17 Juli 2017.

Setya Novanto diduga mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari nilai proyek Rp 5,9 triliun.

Atas perbuatannya, Setya Novanto disangka melanggar Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Sebelumnya, Setya Novanto tegas membantah dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) dalam dugaan korupsi KTP elektronik atau kasus e-KTP. Ia mengaku tidak pernah bertemu dengan Muhammad Nazaruddin, Anas Urbaningrum, dan pengusaha Andi Agustinus atau Andi Narogong.

Dia menyatakan tidak pernah menerima apa pun dari aliran dana e-KTP. "Saya tidak pernah mengadakan pertemuan dengan Nazaruddin bahkan menyampaikan yang berkaitan dengan e-KTP. Bahkan, saya tidak pernah menerima uang sepeser pun dari e-KTP," ujar Setya Novanto usai menghadiri Rakornas Partai Golkar di Redtop Hotel, Jakarta, Kamis 9 Maret 2017.


Saksikan video menarik di bawah ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya