Meski Ditentang, KPU Tetap Buat Aturan Larangan Mantan Napi Jadi Caleg

Menurut DPR, pemerintah dan Bawaslu, lanjut Wahyu, PKPU dinilai melampaui kewenangan dengan mencabut hak politik seseorang.

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 26 Mei 2018, 11:46 WIB
Diterbitkan 26 Mei 2018, 11:46 WIB
Bersama Komisi II DPR, KPU Bahas DPT dan DPS untuk Pilkada 2018
Ketua KPU Arief Budiman (kiri) saat menggelar rapat dengan Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (21/5). Rapat tersebut membahas terkait Daftar Pemilih Tetap dan Daftar Pemilih Sementara dalam Pilkada 2018. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan mengatakan peraturan KPU (PKPU) yang melarang mantan narapidana korupsi menjadi calon anggota legislatif tetap akan dikelaurkan. Meski, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Parlemen kemarin, usulan KPU ditolak oleh sejumlah pihak seperti, pemerintah, Komisi II, dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

"Jadi di seberang sana ada pemerintah, DPR dan Bawaslu, ajaibnya argumen utama mereka sama yaitu menolak norma diajukan KPU. Tapi kita jalan terus, PKPU dipastikan akan keluar, jadi norma larangan (mantan) napi koruptor menjadi caleg itu sudah kita putuskan," kata Wahyu di Jakarta Pusat, Sabtu (26/5/2018).

Menurut DPR, pemerintah dan Bawaslu, lanjut Wahyu, PKPU dinilai melampaui kewenangan dengan mencabut hak politik seseorang. Padahal aturan tersebut hanya bisa dilakukan oleh ketuk palu hakim pengadilan.

Namun, menurut Wahyu, tafsir PKPU adalah sebuah perluasan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa dengan daya rusak yang dahsyat. Karena itu, KPU ingin permasalahan sifat koruptif bisa selesai dengan larangan tersebut.

"Jadi kita ingin mendorong penyelenggara negara nanti bebas KKN, kami berikhtiar dengan regulasi pencalegan kita optimalkan," tandas Wahyu.

 

Banyak Calon yang Korupsi?

Rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) atas larangan eks narapidana korupsi ikut serta dalam pencalonan legislatif menuai penolakan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dengan begitu, dosen fakultas hukum Universitas Indonesia, Satya Arinanto menilai adanya penolakan PKPU itu justru menuai pertanyaan sinis terhadap DPR.

"Jangan-jangan banyak calon yang memang banyak yang korupsi. Padahal cari calon yang lain itu dituntut orang yang bersih. Karena ini untuk menciptakan pemerintahan yang bersih," ujar Satya.

Satya juga mengkritisi KPU yang melakukan konsultasi atas rancangan PKPU itu ke DPR. Menurutnya, lembaga independen seperti KPU tidak perlu melakukan konsultasi terlebih dahulu jika menerapkan satu norma. Jika ada kekeliruan, ia menegaskan seluruh pihak termasuk DPR bisa mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA).

"Lembaga mandiri tidak perlu konsultasi, kalau tidak sesuai bisa judicial review ke MA jadi ini dari awalnya udah enggak benar. Jadi rancangan ini kenapa begini (tarik ulur) karena dikonsultasikan dulu," ujarnya.

Dia pun mempertanyakan sikap DPR atas penolakan rancangan PKPU itu berbeda terhadap DPD yang melarang eks narapidana untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD.

"Kenapa DPD enggak dipersoalkan padahal menghadapi tantangan yang sama," ujarnya.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya