Liputan6.com, Jakarta - Jelang Hari Raya Idul Fitri, terdakwa perintangan penyidikan korupsi proyek e-KTP, Fredrich Yunadi mengajukan permohonan tak biasa bagi seorang tahanan. Mantan kuasa hukum Setya Novanto itu ingin berlebaran bersama sanak keluarga di rumah orangtuanya.
Namun, permohonan tersebut mendapat penolakan dari jaksa penuntut umum pada KPK. Sebagai jalan keluar, jaksa menawarkan agar keluarga Fredrich yang membesuk di Rutan Cipinang, Jakarta Timur.
Fredrich tak terima dengan alasan jaksa penuntut umum. Dia merasa saran tersebut sebagai bentuk balas dendam terhadapnya. Dia menjelaskan alasannya bersikukuh ingin keluar tahanan saat Lebaran.
Advertisement
"Seluruh keluarga besar saya di Amerika, Singapura, London berkumpul pada hari raya untuk sungkem. Kalau pengawalan kepolisan siap 24 jam. Dan apa pun alasan yang disampaikan menunjukkan penuntut umum seolah-olah bisa memerintahkan majelis hakim," ujar Fredrich di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Jumat (8/6/2018).
Mantan kuasa hukum Budi Gunawan itu bersikukuh ingin keluar dari tahanan pada hari raya demi sungkem kepada sang ibu yang disebutkan berusia 94 tahun.
"Yang kami maksud bukan besuk, tapi umur ibunda saya 94 tahun, kemunginkan penuntut umum belum ada orangtua seumur ibu saya, masa tega untuk minta ibu saya ke sana. Ini sifatnya mengada-ada, sifatnya balas dendam," tegas Fredrich.
Majelis hakim rupanya tak sependapat dengan argumen Fredrich. Ketua Majelis Hakim Saifuddin Zuhri pun menolak permintaan Fredrich. Majelis hakim sependapat dengan jaksa penuntut umum agar keluarga besar Fredrich yang membesuknya di rutan.
"Untuk itu mohon maaf tidak bisa dipenuhi. Nanti keluarga yang dari luar negeri bisa besuk ke rutan untuk bertemu Saudara. Kalau hari raya tidak bisa kami penuhi," ujar hakim Saifuddin.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Sikap Tak Kooperatif
Sebelumnya, Fredrich Yunadi didakwa melakukan upaya perintangan penyidikan Setya Novanto dengan status tersangka korupsi proyek e-KTP saat itu. Pengacara itu disebut memesan kamar sesaat sebelum kecelakaan Setya Novanto terjadi.
Ia didakwa melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selama persidangan, Fredrich menunjukkan sikap tak kooperatif. Saling lempar argumen antara jaksa, hakim, dan Fredrich kerap mewarnai jalannya sidang. Beberapa kali palu majelis hakim diketok melerai perdebatan antara jaksa dan Fredrich.
Jaksa penuntut umum pada KPK juga kerap merasa keberatan atas ulah mantan kuasa hukum Setya Novanto itu, semisal penggunaan kata ‘situ’ atau ‘you’ kepada saksi ataupun jaksa.
Puncaknya, jaksa menuntut Fredrich pidana penjara 12 tahun dan denda Rp 600 juta atau subsider 6 bulan kurungan. Tidak ada keadaan yang meringankan dalam tuntutan yang dibacakan pada Kamis 31 Mei lalu itu.
Reporter: Yunita Amalia
Advertisement