Liputan6.com, Jakarta Presiden Donald Trump pernah mengguncang dunia perdagangan global dengan menerapkan tarif impor tinggi terhadap puluhan negara mitra dagang Amerika Serikat.
Kebijakan ini diklaim sebagai langkah “resiprokal” yakni untuk menyamakan tarif yang negara lain kenakan terhadap AS. Namun, di balik slogan yang terdengar lugas itu, tersembunyi perhitungan rumit yang jauh dari sekadar angka tarif impor.
Baca Juga
Dikutip dari CNN Business, Minggu (6/4/2025), Trump menargetkan negara-negara dengan defisit perdagangan besar terhadap AS. Artinya, negara-negara yang lebih banyak mengekspor barang ke Amerika dibandingkan mengimpornya.
Advertisement
Tetapi cara menghitung “tarif” ini pun menuai kritik karena menggunakan rumus yang sangat sederhana, yakni defisit perdagangan dibagi ekspor ke AS, lalu dikalikan 1/2. Tak ada kalkulasi soal tarif aktual, hambatan perdagangan non-tarif, atau struktur perdagangan global yang kompleks.
Menurut Kepala strategi pemasaran di Jones Trading Mike O’Rourke, tarif bahkan tidak dipertimbangkan dalam perhitungan itu. Melainkan Pemerintah AS lebih fokus pada neraca perdagangan yang timpang, bukan pada ketentuan teknis atau tarif WTO yang berlaku.
Negara-Negara yang Jadi Target
Sebagian besar dari 15 negara dengan defisit perdagangan tertinggi terhadap AS mengalami tekanan dari tarif tinggi Donald Trump. Termasuk di dalamnya Tiongkok, Vietnam, India, dan negara-negara Uni Eropa.
Meski tarif MFN (Most-Favored-Nation) rata-rata yang disepakati oleh lebih dari 160 anggota WTO cukup rendah sekitar 5% untuk Uni Eropa dan 9,4% untuk Vietnam, Trump memperkirakan hambatan perdagangan mereka jauh lebih besar karena adanya aturan non-tarif seperti subsidi, kuota, atau regulasi ketat.
Sebagai contoh, pemerintahan Trump mengklaim bahwa hambatan perdagangan Vietnam setara dengan tarif 46% meskipun angka tarif resmi jauh lebih rendah. Alasan seperti ini digunakan sebagai pembenaran untuk mengenakan tarif tinggi terhadap produk-produk dari negara tersebut.
Berikut daftar 15 Negara dengan Defisit Perdagangan Tertinggi dengan AS:
- China USD295,40 miliar
- Uni Eropa USD235,57 miliar
- Vietnam USD123,46 miliar
- Taiwan USD73,93 miliar
- Jepang USD68,47 miliar
- Korea Selatan USD66,01 miliar
- India USD45,66 miliar
- Thailand USD45,61 miliar
- Switzerland USD38,46 miliar
- Malaysia USD24,83 miliar
- Indonesia USD17,88 miliar
- Kamboja USD12,34 miliar
- Afrika Selatan USD8,84 miliar
- Israel USD7,43 miliar
- Bangladesh USD6,15 miliar
BI Siaga Hadapi Dampak Tarif Trump: Stabilitas Rupiah Jadi Prioritas
Bank Indonesia (BI) menyatakan kesiapannya menghadapi potensi dampak dari kebijakan ekonomi global yang memicu gejolak di pasar keuangan.
Hal ini disampaikan menyusul pengumuman kebijakan tarif baru oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pada 2 April 2025, yang dinilai menimbulkan ketidakpastian global dan berimbas pada pergerakan pasar finansial dunia, termasuk Indonesia.
Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, menegaskan bahwa Bank Indonesia terus melakukan pemantauan secara intensif terhadap dinamika pasar keuangan, baik di level global maupun domestik.
"BI terus memonitor perkembangan pasar keuangan global dan juga domestik pasca pengumuman kebijakan tarif Trump yang baru pada 2 April 2025," kata Denny dikutip Minggu (6/4/2025).
Pria yang akrab disapa Denny ini menyampaikan, bahwa pengumuman kebijakan tarif tersebut telah menimbulkan reaksi cepat di pasar keuangan global. Ketegangan semakin meningkat setelah Pemerintah Tiongkok mengumumkan langkah retaliasi berupa tarif impor balasan pada 4 April 2025.
"Pasca pengumuman tersebut dan kemudian disusul oleh pengumuman retaliasi tarif oleh Tiongkok pada 4 April 2025, pasar bergerak dinamis dimana pasar saham global mengalami pelemahan dan yield US Treasury mengalami penurunan hingga jatuh ke level terendah sejak Oktober 2024," jelasnya.
Advertisement
Waspada Pelemahan Rupiah
Situasi ini menciptakan tekanan terhadap mata uang negara-negara berkembang, termasuk rupiah. Oleh karena itu, Bank Indonesia menyatakan akan terus berada di garis depan untuk menjaga stabilitas nilai tukar.
Komitmen tersebut diwujudkan melalui pelaksanaan strategi triple intervention, yaitu intervensi terkoordinasi di tiga sektor utama pasar keuangan.
