Masyarakat Pulau Buru Diminta Tidak Santap Kepala Ikan karena Beracun

Penelitian ini sudah dilakukan sejak 2015, setelah maraknya aktivitas penambangan emas ilegal di Gunung Botak, Gogorea, dan Anahoni.

oleh Liputan6.com diperbarui 28 Okt 2018, 08:41 WIB
Diterbitkan 28 Okt 2018, 08:41 WIB
20161010-Pengusaha Ikan Muara Baru Mogok Massal-Jakarta
Kapal nelayan bersandar di Pelabuhan Muara Baru, Jakarta, Senin (10/10). Lebih dari 60 perusahaan, ratusan kapal nelayan dan kapal ikan tak beroperasi dan tutup sebagai bentuk protes kenaikan uang sewa lahan sampai 450 persen (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Liputan6.com, Ambon - Pakar kimia dan lingkungan Universitas Pattimura elahnpatti Ambon, Dr Justinus Male mengingatkan masyarakat Maluku, khususnya di Pulau Buru dan Pulau Ambonagar, jangan mengonsumsi kepala maupun tulang ikan karena sudah mengandung bahan beracun mercuri dan sianida.

"Bahan beracun seperti mercuri dan sianida itu biasanya mengendap di dalam sumsum tulang dan kepala ikan, sehingga kebiasaan mengonsumsi bagian ikan ini akan berbahaya untuk jangka panjang," kata Justinus, di Ambon, Provinsi Maluku, Sabtu 27 Oktober 2018, seperti dikutip dari Antara.

Peringatan yang disampaikan pakar lingkungan dan kimia itu bukan tanpa alasan. Sebab hasil penelitian terhadap sejumlah sampel ikan, baik yang diambil dari pasar di Namlea, Kabupaten Buru maupun di perairan laut Latuhalat, Pulau Ambon sudah tercemar merkuri dan sianida.

Penelitian ini sudah dilakukan sejak 2015, setelah maraknya aktivitas penambangan emas ilegal di Gunung Botak, Gogorea, dan Anahoni yang menggunakan berton-ton mercuri dan sianida.

Langkah ini diambil Justinus dengan mengumpulkan dana sendiri melalui penjualan bazar roti karena tidak ada dukungan dana Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku dan Pemerintah Kabupaten Buru.

 

Limbah Beracun

Ikan Tangkapan Melimpah, Nelayan Kendal Pesta Laut Bahari
Kapal kecil berisi kepala kerbau terlihat saat ritual pesta laut nelayan Desa Sendang Sikucing Kendal, Jawa Tengah di muara pantai, Minggu (7/10). Ritual ini dilakukan setiap bulan Muharram. (Liputan6.com/Gholib)

Menurut dia, limbah-limbah beracun dan berbahaya ini dibuang ke Sungai anahoni dan Waeapu, selanjutnya mengalir sampai ke kawasan Teluk Kayeli yang banyak dikelilingi hutan mangrove (bakau).

Setelah mengendap di daerah hutan mangrove, endapan lumpur mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) itu dimakan mikroba-mikroba kecil, plankton dan zooplankton, dan selanjutnya terjadilah proses rantai makanan yang berujung dimakan kepiting, ikan kecil dan ikan besar sampai akhirnya dikonsumsi manusia.

"Ikan dari perairan laut di sekitar Teluk Kayeli ini tidak selamanya menetap di sana, namun bermigrasi dan menyebar ke mana-mana sehingga kondisi seperti inilah yang membahayakan kesehatan manusia," tandasnya.

Karena itu, masyarakat diingatkan kalau membeli ikan segar di pasar, haruslah membuang kepala dan tulang serta isi perutnya karena di situlah mengedap bahan beracun mematikan.

 

Saksikan video menarik berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya