Liputan6.com, Jakarta - Maaf, kata yang terucap dari tiga remaja yang menjadi tersangka atas penganiayaan Audrey, seorang siswi sekolah menengah pertama di Kota Pontianak, Kalimantan Barat.
Ketiganya pun mengaku menyesal melakukan penganiayaan ke Audrey. Mereka tak pernah menyangka konsekuensi atas perbuatannya adalah status "tersangka". Dengan menggunakan masker dan wajah tertunduk, mereka mengaku salah.Â
"Saya meminta maaf atas perlakuan saya terhadap Audrey, saya menyesali kelakuan saya ini," ungkap salah satu tersangka dengan terisak bersama enam temannya yang lain, di hadapan awak media, Kamis (11/4/2019).
Advertisement
Hanya saja, mereka menampik tuduhan bawah telah terjadi pengeroyokan. Mereka menilai, yang terjadi saat itu hanyalah perkelahian.
Mereka mengiyakan, penganiayaan dilakukan di dua tempat. Pada lokasi pertama, korban hanya dianiaya oleh satu siswi. Sementara di lokasi kedua, dianiaya oleh dua siswi. Ketiga siswi ini kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Pontianak Kota.
Ada dua motif pelajar ini melakukan penganiayaan. Pertama sakit hati. Menurut keterangan salah satu tersangka, dia mengaku sakit hati karena korban kerap mengungkit-ungkit persoalan piutang yang pernah dilakukan oleh almarhumah ibu tersangka.
"Dia suka bilang bahwa mama saya suka pinjam uang," kata salah satu tersangka.
Dia mengaku tidak bisa mengontrol emosi ketika Audrey membuat pernyataan tersebut. "Kalau Audrey tidak membuat omongan seperti ini, saya juga tidak akan melakukan hal ini. Saya kesal sampai saya tidak bisa mengontrol emosi," lanjut dia.
Kedua, terkait sindiran di media sosial Audrey dan sepupunya yang dialamatkan kepada salah satu tersangka.
Menurut tersangka, dia ingin menyelesaikan masalah tersebut dengan jalan melakukan pertemuan pada hari kejadian.
Semula mereka berjanji bertemu pada malam hari. Namun, atas permintaan Audrey dan sepupunya, mereka akan bertemu pada siang hari. Namun, mereka menampik tuduhan soal kekerasan seksual terhadap korban.
"Memang benar kami melakukan perkelahian, tapi tidak ada pengeroyokan, apalagi sampai 12 orang mengeroyok satu. Juga tidak mencolok ke organ vital," kata salah satu pelajar lainnya.
Demikian pula dengan ada tudingan mereka yang berinisiatif menjemput Audrey. Justru, kata dia, Audrey lah yang minta dijemput.
"Tidak ada perencanaan kami untuk melakukan penganiayaan," kata salah satu dari mereka.
Sebagian dari pelajar ini, mengaku ada upaya pencegahan untuk menyetop penganiayaan Audrey tersebut.Â
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Jadi Korban
Pada konferensi pers Kamis 11 April 2019, 3 tersangka dan teman-temannya mengaku turut menjadi korban atas tuduhan penganiayaan yang keliru dari berbagai pihak.
"Saya dituduh sebagai pelaku, padahal saya tidak di lokasi. Bagaimana media mengatakan saya sebagai provokator," kata siswi tersebut.
Ketujuh siswi ini mengaku mendapat intimidasi dan ancaman lewat di media sosial. Atas dasar ini pula, mereka mengaku juga sebagai korban.
"Kami juga menjadi korban," kata salah satu pelajar.
Sebelum menggelar jumpa pers, sejumlah keluarga dan para pelaku penganiayaan mendatangi Kantor KPPAD Kalimantan Barat, Rabu 10 April 2019, guna meminta perlindungan terhadap anak-anak yang menjadi pelaku penganiayaan.
Ketua KPPAD Kalbar, Eka Nurhayati mengungkapkan para pelaku tersebut mengalami trauma berat akibat ancaman dari orang-orang tak bertanggung jawab.
"Kami didatangi pihak keluarga pelaku sejak tadi pagi, mereka datang karena ingin mengungkapkan si pelaku ini sekarang sedang dalam tekanan luar biasa," ujarnya.
Tekanan yang dialami oleh para pelaku, lantaran mendapat ancaman pembunuhan dan lain-lain.
"Jadi, dalam hal ini mereka ingin meminta perlindungan yang sama," ungkapnya.
Eka menegaskan, kedua belah pihak yakni pelaku dan korban sama-sama berhak mendapat perlindungan dari KPPAD sesuai UU yang berlaku.
"Untuk lanjutan, akan ada trauma healing yang akan diberikan kepada pelaku, dan nanti sore kami akan menemui korban untuk memastikan pendampingan lanjut," pungkas dia.
Mendikbud Menyayangkan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, angkat bicara soal kasus dugaan penganiayaan terhadap pelajar SMP, Audrey, di Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Peristiwa itu pun begitu cepat viral di media sosial.
"Kasus ini sangat disayangkan dan tidak seperti yang viral di medsos, setelah saya mendapat informasi langsung dari Kapolresta Pontianak, Kombes Pol Muhammad Anwar Nasir," ujarnya di Mapolresta Pontianak, Kamis (11/4/2019).
Dia mengatakan, liarnya isu yang berkembang di media sosial yang menyebutkan bahwa korban dikeroyok oleh 12 pelaku juga tidak benar. Termasuk merusak area sensitif korban juga tidak benar.
"Maaf, nalar sehat mestinya korban bisa meninggal kalau isu tersebut benar," ujarnya menegaskan.
Kasus dugaan penganiayaan yang menimpa Audrey, menurut Muhadjir, terlalu dibesar-besarkan. Dia bahkan mengibaratkan kasus tersebut seperti emperan yang lebih besar dari rumah sendiri.Â
"Contohnya terkait auratnya (korban) juga tidak benar, padahal itu yang membuat mengerikan. Kepada para kepala sekolah agar tidak membiarkan berita liar itu, sehingga merusak citra sekolah, apalagi sudah viral di dunia, sehingga luar biasa dampaknya," kata dia.
Ia pun meminta kepada para kepala sekolah untuk tidak lepas tangan dan bertanggung jawab terhadap masalah yang telah menarik perhatian banyak orang ini. "Mohon kerja sama kepala sekolah untuk meredam masalah ini dan memberikan informasi yang benar, baik pada media maupun melalui medsos.
Selain meminta para kepala sekolah untuk bertanggung jawab, Muhadjir juga menekankan pendidikan sejak dini di sekolah agar siswa dan siswi terhindar dari perilaku yang tidak terpuji, sehingga kasus yang menimpa Audrey tidak terulang.Â
"Semua pihak untuk mengurangi dampak negatif media sosial pada anak-anak dan mudahan-mudahan ini kejadian pertama dan terakhir di Kota Pontianak. Agar para kepala sekolah di Kalbar, untuk terus meningkatkan pengawasan anak-anak didiknya, terhadap sehingga terhindar dari narkoba dan prilaku negatif lainnya," kata dia.Â
Advertisement
Kata Damai Bukan Solusi
Salah satu tersangka penganiayaan Audrey mengaku terprovokasi oleh cacian Audrey dan sepupunya di sosial media. Namun, sejumlah ahli dan pakar menilai, tindakan mereka tetap tidak dibenarkan.
Mereka berpendapat, tindakan ketiganya sudah menjurus ke tindak kekerasan.
Ketua KPAI Susanto menyatakan bahwa tidak ada istilah "damai" dalam kasus ini. Maka dari itu, mereka meminta agar masalah ini tidak diselesaikan hanya dengan berdamai.
Senada dengan KPAI, psikolog sosial Ratna Djuwita dari Universitas Indonesia menilai, kasus yang menimpa Audrey sudah masuk dalam tindak kekerasan, bukan lagi bullying.
"Kalau menurut saya, pelaku harus mendapat pidana karena sudah masuk ranah kekerasan," ujar Ratna ketika dihubungi Liputan6.com, Rabu (10/4/2019).
Dia mengatakan, meski di bawah umur, saat seseorang sudah melakukan tindak pidana maka harus dikenai hukum yang sesuai.