Liputan6.com, Jakarta - Langkah kaki Kolonel Soeharto semakin cepat meninggalkan kota menuju hutan di kawasan Karangmojo, Gunungkidul, Yogyakarta. Ia mencari Jenderal Sudirman, sang Panglima Besar pemimpin Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Dalam catatan Sejarah Hari Ini (Sahrini) Liputan6.com, Kolonel Soeharto membawa pesan penting. Sang Panglima Besar Jenderal Sudirman diperintahkan turun gunung, menghadap Presiden Sukarno di Yogyakarta.
Diutusnya Kolonel Soeharto bukan tanpa alasan, sebab beberapa surat panggilan yang dikirim tak digubris oleh Sudirman. Sang Jenderal memilih bergerilya di hutan, melawan pasukan Belanda. Soeharto, terus membujuk Jenderal Sudirman kembali ke Yogyakarta, lantaran kehadirannya sangat dibutuhkan di Ibu Kota.
Advertisement
Pada 10 Juli 1949, akhirnya Sudirman berkenan masuk Ibu Kota. Ia merasa yakin bahwa Ibu Kota sudah aman untuk dimasuki. Jenderal Sudirman dijemput dan diantar menemui Presiden Sukarno.
Para prajurit tampak berbaris saat sang Jenderal tiba di alun-alun Keraton Yogyakarta. Mereka tak kuasa menahan haru melihat tubuh kurus Panglima Besar yang hanya berbalut mantel lusuh. Para prajurit tahu hanya semangat yang membuat Sudirman tahan bergerilya berbulan-bulan.
Mata para prajurit yang berbaris rapi itu basah oleh air mata. Dada mereka sesak saat memberikan penghormatan bersenjata pada Sudirman.
Usai menyapa pasukannya, Sudirman menghadap Sukarno. Sebuah pertemuan yang mengharukan, sang Jenderal disambut pelukan hangat Sukarno. Di depan istana Presiden Yogyakarta, Sukarno merangkul Sudirman.
Sukarno sempat mengulangi pelukannya karena saat pelukan pertama tidak ada yang memotret momen itu. Pertemuan keduanya seakan menghapus perbedaan pendapat antara pemimpin sipil dan militer.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Sudirman Meninggal Dunia
Setelah memimpin perang gerilya dari akhir 1948 hingga pertengahan 1949, kesehatan Sudirman makin melemah. Meski ingin terus melanjutkan perlawanan terhadap pasukan Belanda, Sudirman dilarang oleh Presiden Sukarno. Penyakit TBC yang diidapnya kambuh ia pensiun dan pindah ke Magelang.
Sang Panglima Besar ini akhirnya meninggal pada 29 Januari 1950. Usianya baru 34 tahun. Kematian Sudirman menjadi duka bagi seluruh rakyat Indonesia. Bendera setengah tiang dikibarkan dan ribuan orang berkumpul untuk menyaksikan prosesi upacara pemakaman.
Kabar duka ini dilaporkan dalam sebuah siaran khusus di Radio Republik Indonesia (RRI). Setelah berita kematiannya disiarkan, rumah keluarga Sudirman dipadati oleh para pelayat, termasuk semua anggota Brigade IX yang bertugas di lingkungan tersebut. Keesokan harinya, jenazah Sudirman dibawa ke Yogyakarta, diiringi oleh konvoi pemakaman yang dipimpin oleh empat tank dan delapan puluh kendaraan bermotor, dan ribuan warga yang berdiri di sisi jalan.
Jenazah Sudirman disemayamkan di Masjid Gedhe Kauman. Jenazah Sudirman kemudian dibawa ke Taman Makam Pahlawan Semaki dengan berjalan kaki, sementara kerumunan pelayat sepanjang 2 kilometer mengiringi di belakang. Ia dikebumikan di sebelah Oerip sambil diiringi upacara militer.
Sudirman merupakan Panglima Besar pertama. Bahkan hampir tiap kota di Indonesia punya Jalan Jenderal Sudirman. Pada 1997, Sudirman dianugerahi pangkat Jenderal Bintang Lima karena jasa-jasanya sebagai Bapak TNI. Selain Sudirman, dua penerima lain Bintang Lima ini adalah Jenderal Abdul Haris Nasution dan Jenderal Soeharto sebagai Jenderal Besar.
Advertisement