Liputan6.com, Samarinda Dalam perjalanan sejarah dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia hingga kini, UUD 1945 yang kemudian menjadi UUD NRI Tahun 1945 sebagai konstitusi negara memiliki posisi yang sangat penting dengan muatan dalam konstitusi yang senantiasa berkembang seiring tuntutan peradaban manusia dan jaman.
Walaupun wajah konstitusi Indonesia telah mengalami perkembangan dengan perubahan-perubahan yang mengikuti perkembangan serta tuntutan peradaban jaman, namun peradaban, tuntutan serta kebutuhan terus berkembang dan terus bermetamorfosis.
Konsitusi Indonesia mesti mengiringinya dengan perubahan-perubahan selanjutnya, sebab bangsa ini memiliki komitmen untuk menjadikan konstitusi negara berlaku dari masa ke masa sebagai konstitusi yang hidup (The Living Constitution). Namun, tentu saja perubahan konstitusi negara tidak serta merta dilakukan. Mesti ada momentum yang ideal dan pas untuk melakukan perubahan kembali.
Advertisement
Hal tersebut muncul dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Perubahan UUD NRI Tahun 1945: Haruskah Menunggu Momentum?”, di Samarinda, Kalimantan Timur, Sabtu (27/7/2019), kerjasama Badan Pengkajian MPR RI dengan Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda yang dihadiri Ketua Badan Pengkajian (BP) MPR Dr. Delis Julkarson Hehi, para Wakil Ketua BP MPR Prof. Hendrawan Supratikno dan Martin Hutabarat serta anggota BP MPR Marwan Cik Asan.
Delis Julkarson Hehi menjelaskan bahwa perubahan UUD NRI Tahun 1945 memang harus menunggu momentum. Perubahan tidak serta merta dilakukan, harus menunggu persetujuan mayoritas di MPR.
“Tapi, saya lihat saat ini momentum yang sangat tepat. Sebab peta politik saat ini cenderung lebih stabil. Beberapa faktor mempengaruhi kestabilan tersebut salah satunya bertemunya Joko Widodo dan Prabowo Subianto dan pertemuan Prabowo dengan Ibu Megawati,” katanya.
Ketika kondisi negara cenderung stabil, lanjut Delis, maka inilah momen yang tepat untuk melakukan perubahan karena semua bisa berpikir lebih jernih untuk kepentingan yang lebih besar bukan hanya berikir untuk kepentingan parpol atau kelompok semata.
“Mengenai agenda perubahan nanti, semangat yang saya tangkap adalah amandemen terbatas dengan menghadirkan kembali GBHN. Menghadirkan kembali GBHN tentu saja terkait dengan kewenangan MPR dan arahnya adalah penguatan kewenangan MPR,” tambahnya.
Martin Hutabarat juga mengungkapkan hal yang sama bahwa saat ini, di saat situasi politik tidak tajam lagi cenderung stabil maka inilah momentum paling memungkinkan untuk melakukan perubahan UUD NRI Tahun 1945.
“Mengenai agenda perubahan adalah kemungkinan perubahan terbatas tidak meluas kemana-mana hanya soal GBHN dan beberapa poin-poin tertentu seperti soal DPR tidak perlu harus memberi persetujuan terhadap calon-calon duta besar, lalu DPR tidak perlu harus menentukan Panglima TNI dan Kapolri sebab itu bagian dari eksekutif,” ujarnya.
Prof. Hendrawan Supratikno juga sangat tegas mengatakan bahwa perubahan UUD NRI Tahun 1945 demi sistem ketatanegaraan yang lebih baik ke depan, perlu dilakukan dan harus dengan momentum yang tepat untuk pelaksanannya.
“Definitely, strongly yes bahwa perubahan mesti menunggu momentum yang tepat dan kestabilan politik adalah salah satu faktor munculnya momen tersebut,” imbuhnya.
Hendrawan juga menyampaikan bahwa ada faktor yang sangat penting agar pelaksanaan perubahan sukses salah satunya adalah dengan komposisi Pimpinan serta anggota MPR periode 2019-2024 yang seluruhnya memiliki tekad, visi yang sama dalam hal perubahan serta agenda-agendanya.
“Kita berharap kepada Pimpinan dan angota MPR periode 2019-2024 nanti, intinya semuanya kembali kepada rakyat dan demi kejayaan bangsa dan negara,” tandasnya.
Sementara itu peserta FGD akademisi dari Universitas Mulawarman Warkhatun Najidah, SH, MH mengungkapkan bahwa perubahan UUD NRI Tahun 1945 bukan suatu hal yang tidak boleh tapi merupakan keniscayaan yang biasa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yang pelaksanaannya memang mesti menunggu momentum yang sangat tepat.
“Tapi, saya menitikberatkan satu hal di tengah ide-ide, gagasan-gagasan ketatanegaraan dalam proses pentahapan dan pelaksanaan perubahan UUD NRI Tahun 1945 ada hal-hal yang harus diperhatikan oleh MPR terutama yakni terkait penataan kembali kekuasaan kehakiman,” katanya.
Hal tersebut, lanjut Warkhatun, sangat penting mengingat kekuasaan kehakiman Indonesia telah mengalami degradasi.
“Jadi perubahan UUD NRI Tahun 1945 menjadi sangat penting untuk menata kembali kekuasaan kehakiman yang telah mengalami degradasi,” tambahnya.
Pada kesempatan yang sama, Afian, SH, MH peserta FGD juga akademisi dari Universitas Mulawarman menegaskan bahwa perubahan UUD NRI Tahun harus dilaksanakan sesegera mungkin jika momentumnya ada dan sudah disepakati sebab UUD NRI Tahun 1945 merupakan jantung dari negara Indonesia.
“Banyak yang harus diperhatikan dalam pelaksanannya yakni penataan sistem ketatanegaraan Indonesia sendiri, tentang sistem keamanan nasional, tentang pendidikan, tentang lingkungan, kesejahteraan sosial dan lainnya yang berdampak langsung kepada negara, bangsa dan rakyat Indonesia,” katanya.
Pemaksimalan kedaulatan rakyat, lanjut Afian, juga bisa menjadi agenda besar dalam pelaksanaan perubahan UUD NRI Tahun 1945 antara lain pemilihan kepala daerah melalui jalur independen. Bahkan pemaksimalan kedaulatan rakyat juga bisa dalam bentuk pemilihan pimpinan nasional di jalur independen.
“Hal tersebut sangat dimungkinkan sebab teori demokrasi harus selaras dengan pelaksanaannya yakni dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pemilihan pemimpin nasional sampai daerah dari jalur independen adalah pemaksimalan demokrasi rakyat dan faktanya banyak ternyata rakyat yang mengharapkan jalur independen,” tambahnya.
(*)