Dulu UPS, Kini Lem Aibon

Anggota DPRD DKI Fraksi PSI, William menemukan anggaran aneh pembelian lem Aibon senilai Rp 82 miliar lebih oleh Dinas Pendidikan DKI Jakarta.

oleh RinaldoRita AyuningtyasNila Chrisna Yulika diperbarui 31 Okt 2019, 00:02 WIB
Diterbitkan 31 Okt 2019, 00:02 WIB
20151120-Gedung DPRD DKI Jakarta
(Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Kasus pengadaan serta penggelembungan alat uninterruptible power supply (UPS) dalam APBD DKI Jakarta 2015 yang sempat membuat Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok berang waktu itu, diduga kuat terulang kembali. Kali ini, bukan UPS yang menjadi korban penderita, melainkan lem Aibon dan 'teman-temannya'.

Saat ini, Pemprov DKI Jakarta tengah menyelidiki pihak yang memasukkan pembelian lem Aibon sebesar Rp 82,8 miliar pada pagu anggaran Suku Dinas Pendidikan Wilayah 1 Kota Jakarta Barat dalam RAPBD DKI Jakarta 2020.

"Kami akan cek ke seluruh SDN di Jakarta Barat. Kami revisi usulan anggaran itu terakhir hari Jumat (25/10/2019) malam. Dan sekarang juga akan kami cek kembali keseluruhannya," ungkap Sekretaris Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Susi Nurhati, Rabu (30/10/2019).

Susi menduga, ada kesalahan yang dilakukan oleh petugas saat menginput data terkait pembelian lem Aibon. Ia pun berjanji akan segera memperbaiki masuknya nama lem yang bernama lengkap Aica Aibon itu.

"Ini sepertinya salah ketik. Kami sedang cek ke semua komponennya untuk diperbaiki, " ucap Susi.

Susi menyatakan, dalam usulan anggaran dinas melalui Suku Dinas Pendidikan Wilayah 1 Kota Jakarta Barat itu, item yang diusulkan berupa kertas dan tinta saja dan menegaskan tidak ada pengajuan anggaran untuk pembelian lem Aibon.

"Itu ATK, tapi kami hanya mengusulkan kertas dan tinta saja," tutur dia.

Namun, keterangan berbeda datang dari Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Syaefuloh Hidayat. Dia menyatakan, tidak ada anggaran Rp 82,8 miliar untuk pembelian lem Aibon dalam program belanja alat tulis kantor 2020.

"Terkait dengan anggaran Aibon, saya sudah coba sisir, Insyaallah tidak ada anggaran Aibon sebesar Rp 82,8 miliar tersebut," ujar Syaefuloh di Gedung DPRD DKI Jakarta, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (30/10/2019).

Syaefuloh menuturkan, anggaran Rp 82,8 miliar merupakan anggaran sementara yang dimasukkan ke dalam sistem e-budgeting DKI Jakarta. Anggaran itu adalah anggaran alat tulis kantor seluruh sekolah di Suku Dinas Pendidikan Wilayah 1 Jakarta Barat.

Namun, anggaran tersebut kemudian disisir kembali oleh Suku Dinas Pendidikan Wilayah 1 Jakarta Barat dan Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Anggaran tersebut kemudian direvisi menjadi Rp 22,7 miliar untuk alat tulis kantor di seluruh sekolah di Suku Dinas Pendidikan Wilayah 1 Jakarta Barat.

"Belanja alat tulis kantor yang di situ ada komponen Aibon disampaikan Rp 82 miliar, sebenarnya alat tulis kantor seluruh sekolah itu hanya Rp 22 miliar," kata Syaefuloh.

Aica Aibon merupakan lem dengan daya rekat yang tinggi, sehingga hampir semua bahan termasuk kayu, kain, karet, baja, dan HPL (High pressure Laminated) dapat direkatkan dengan Aica Aibon.

Kegunaannya bisa untuk mengikat kertas atau kain, untuk menerapkan HPL pada furnitur, untuk sepatu dan tas industri rumah tangga kecil, dan untuk keperluan industri skala besar. Beragam jenis perekat Aica Aibon dapat mencakup kebutuhan rumah tangga maupun industri.

Untuk HPL sendiri, Aica Aibon dengan bentuk cairan kentalnya dapat menyebar dengan mudah dan merata di atas permukaan HPL. Ini akan mendistribusikan tekanan secara merata dan membentuk ikatan yang kuat dan menyeluruh.

Lem ini berasal dari Jepang yang diproduksi sejak tahun 1974. Di Indonesia sendiri ada dua pabrik Aica Aibon, lokasinya terletak di Kabupaten Bekasi dan juga di Karawang.

Sebelumnya, anggota DPRD DKI Jakarta, Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), William Aditya Sarana, mempertanyakan anggaran Dinas Pendidikan DKI Jakarta untuk pembelian lem Aibon yang mencapai Rp 82,8 miliar.

Hal ini disampaikan William melalui akun Twitternya, @willsarana pada Selasa, 29 Oktober 2019 malam. William menulis telah menemukan anggaran aneh pembelian lem Aibon senilai Rp 82 miliar lebih oleh Dinas Pendidikan DKI Jakarta.

"Ternyata Dinas Pendidikan mensuplai dua kaleng lem Aibon per murid setiap bulannya. Buat apa?" tulis William, Selasa (29/10/2019).

Dalam unggahan selanjutnya, William berjanji akan membongkar anggaran DKI Jakarta.

"Kalau banyak yang RT (Ret-tweet), besok pagi saya akan buka-bukaan soal anggaran DKI," kata pria yang juga anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD DKI Jakarta ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Bolpoin hingga Komputer

Pelantikan 106 Anggota DPRD DKI
Suasana sumpah jabatan dan pelantikan anggota DPRD DKI Jakarta yang terpilih dalam Pemilu 2019 di Gedung DPRD DKI Jakarta, Senin (26/8/2019). Sebanyak 106 anggota DPRD DKI Jakarta 2019-2024 resmi dikukuhkan oleh Plh Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Syahrial Sidik. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

William Aditya menepati janjinya untuk membongkar keanehan lainnya dalam RAPBD DKI Jakarta 2020. Dia mengungkapkan, selain anggaran pembelian lem Aibon Rp 82 milliar, pihaknya menyoroti anggaran pengadaan bolpoin hingga komputer di Suku Dinas Pendidikan Wilayah I Jakarta Timur. Berapa nilai pengadaannya?

"Anggaran pengadaan bolpoin sebesar Rp 124 milliar, 7.313 unit komputer dengan harga Rp 121 milliar di Dinas Pendidikan," kata William dalam keterangan tertulis, Rabu (30/10/2019).

Selain itu, dia mengkritik adanya anggaran beberapa unit server dan storage senilai Rp 66 milliar di Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik.

"Itu baru sebagian saja, masih ada puluhan lainnya yang akan kami tanyakan satu-satu. Kami sudah ikuti rapat komisi beberapa hari ini, dan tiap kali diminta buka detail anggaran pemprov selalu mengelak," ucap William.

Dia menilai, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan tidak mengetahui dan memahami isi anggaran kegiatan-kegiatan tersebut. Termasuk soal anggaran pengadaan lem Aibon.

"Kalau gubernurnya saja tidak tahu isi anggarannya, apa yang mau dibahas? Tiap kami temukan sesuatu yang janggal dan kami angkat, nanti dibilang salah input atau tidak tahu menahu lagi," jelasnya.

Pengadaan bolpoin oleh Dinas Pendidikan DKI Jakarta pun menuai sejumlah kritikan. Besaran anggaran tersebut sempat dibeberkan oleh Fraksi PSI DPRD DKI.

Hasil tangkap layar dari website apbd.jakarta.go.id yang diperoleh PSI tertuliskan jenis bolpoin yang digunakan yakni pen drawing. Rencananya bolpoin tersebut diperuntukkan bagi 98 ribu pegawai.

Dalam data itu juga dituliskan setiap bulan pegawai mendapatkan satu buah bolpoin dengan harga satuan Rp 105.000 selama setahun.

Anggota Fraksi PSI DPRD DKI, William Aditya menyatakan, data tersebut didapatkannya sebelum website anggaran milik Pemprov DKI Jakarta diturunkan pada 11 Oktober 2019.

"RKPD sempat diunggah 11 Oktober siang, sore langsung di-take down. Tapi masih ada di history ternyata link RKPD masih bisa diakses," kata William.

"Itu baru sebagian saja, masih ada puluhan lainnya yang akan kami tanyakan satu-satu. Kami sudah ikuti rapat komisi beberapa hari ini, dan tiap kali diminta buka detail anggaran Pemprov selalu mengelak," sambung dia.

"Apa yang perlu disembunyikan? Saya mau tahu yang mengusulkan siapa dan alasannya apa nilai-nilai yang diajukan fantastis sekali. Jangan sampai DPRD hanya jadi tukang stempel gubernur," dia menandaskan.

William menilai anggaran janggal tersebut sebagai bentuk ketidakberesan Pemprov DKI Jakarta dalam merancang anggaran. Dia pun meminta Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memberi penjelasan secara langsung.

UPS dan Marahnya Ahok

Tim Ahli Dirtipikor Bareskrim Bedah UPS di SMAN 57
Dirtipikor Bareskrim Polri bersama tim ahli lakukan pemeriksaan UPS di SMAN 57, Jakarta, Sabtu (13/6/2015). Pemeriksaan bertujuan sebagai untuk melengkapi berkas penyelidikan kasus pengadaan UPS yang terjadi di DKI Jakarta. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Akhir Februari 2015, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama terlihat gusar saat berada di kantornya. Berbicara kepada awak media di Balaikota Jakarta, Ahok dengan nada tinggi mengungkapkan kegusarannya atas langkah DPRD DKI Jakarta yang menyusupkan anggaran ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2015 DKI Jakarta.

"Saya kasih lihat kalian contoh yang namanya susupan di Dinas Pendidikan itu ditolak kepala dinas. Tapi di dalam versi tanda tangan mereka (DPRD) keluar angka-angka seperti ini. Pantas nggak beli barang-barang kayak itu, sementara sekolah begitu jelek. Itu kan nggak pantas," tegas Ahok ketika itu.

Ahok kemudian memperlihatkan lembaran kertas yang berisi kolom-kolom dengan keterangan serta angka-angka yang diklaim sebagai kutipan dari Rancangan APBD 2015 versi DPRD DKI Jakarta. Dalam data yang diperlihatkan Ahok, tertulis adanya pengadaan Uninterruptible Power Supply (UPS) atau alat catu daya untuk belasan SMPN di Jakarta Selatan.

Penelusuran Liputan6.com dari data soft copy RAPBD 2015 DKI Jakarta versi DPRD memang memperlihatkan sejumlah kejanggalan. Data yang diperlihatkan Ahok merupakan RAPBD 2015 yang menjadi bahasan Komisi E DPRD DKI Jakarta untuk Belanja Langsung (BL). Anggaran untuk sejumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) DKI Jakarta berada di bawah pembahasan komisi ini.

Khusus untuk pengadaan UPS, tertera dengan jelas di halaman 118 dan 119 dokumen tersebut. Ada 17 SMPN di Jaksel yang disebutkan dianggarkan untuk menerima alat tersebut dengan besaran dana untuk masing-masing sekolah Rp 6 miliar.

Dengan melihat pada penulisan anggaran untuk pengadaan UPS tersebut, menjadi mudah untuk menelusuri kejanggalan lainnya dalam RAPBD 2015 versi DPRD DKI. Hampir di semua anggaran untuk SKPD, terdapat pengadaan barang atau kegiatan yang tanpa kode kegiatan dan pagu anggaran.

Ini sesuai dengan keterangan Ahok tentang sejumlah item yang menurut dia disusupkan serta tidak berasal dari SKPD atau Pemprov DKI. Seperti soal pengadaan alat fitnes untuk sejumlah SMAN dan SMKN di Jakarta.

"Masa sekolah beli alat fitness Rp 2 sampai Rp 3 miliar, (siswa) suruh push up aja. Gua aja nggak pakai alat fitness," ujar Ahok di Balaikota Jakarta, Jumat pekan lalu.

Ahok juga memastikan bahwa selain pengadaan UPS masih banyak pengadaan lainnya yang anggaran serta keperluannya tidak logis. "Ini barangnya banyak. Nggak cuma UPS aja, ada scanner sama alat fitness di sekolah tadi itu," ujar Ahok.

Dari penelusuran Liputan6.com, anggaran susupan ini tidak hanya ada di Dinas Pendidikan. Hampir di seluruh SKPD ada anggaran yang tanpa pagu ini. Ini bisa dilihat dari pembahasan anggaran di seluruh komisi, meskipun yang menyolok ada Komisi A, Komisi D dan Komisi E.

Diakui, susupan anggaran terbesar ada di Komisi E, yang sebagian besar meliputi anggaran untuk Dinas pendidikan. Komisi ini pula yang menganggarkan kebutuhan untuk SKPD lain seperti Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah serta Dinas Olah Raga dan Pemuda.

Kasus ini pun akhirnya dibawa ke ranah hukum melaui Bareskrim Polri. Dari pemeriksaan saksi-saksi dan barang bukti, calon kuat tersangka dari kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan proyek UPS adalah anggota DPRD, pegawai Pemprov DKI, dan pihak swasta.

"Potensial suspect (berpotensi tersangka) adalah yang berkaitan dengan penggagas (UPS) tadi eksekutif, legislatif dan distributor," kata Kabag Penum Mabes Polri, Kombes Pol Rikwanto, Jakarta, Rabu (25/3/2015).

Kesimpulan itu didapat setelah penyidik memeriksa 73 orang dari 85 saksi kasus pengadaan UPS, di mana ada dugaan telah terjadi penggelembungan anggaran sebesar 5,8 miliar per unit. Sedangkan jumlah total saksi yang akan diperiksa sebanyak 130 orang.

Dari sekian tersangka, salah satu yang akhirnya dibui adalah Alex Usman. Majelis hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan hukuman penjara selama enam tahun penjara serta denda sebesar Rp 500 juta kepada Alex.

Ia dituntut karena diduga telah berperan dalam korupsi pengadaan UPS. Saat pengadaan UPS dilakukan, Alex menjabat sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) pengadaan UPS di Suku Dinas Pendidikan Menengah Jakarta Barat.

Dalam dakwaan jaksa, Alex Usman disebut telah memperkaya diri dan orang lain serta korporasi dalam proyek pengadaan UPS untuk 25 sekolah SMA/SMKN di Suku Dinas Pendidikan Menengah Kota Administrasi Jakarta Barat pada APBD Perubahan Tahun 2014. Perbuatannya diduga telah menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 81,4 miliar.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya