Mendagri Minta Pilkada Langsung Dievaluasi, MPR: Semua Harus Cari Solusi

Basarah mengatakan, semua pihak baiknya bisa memberikan pandangan soal pelaksanaan pilkada langsung.

oleh Liputan6.com diperbarui 08 Nov 2019, 16:34 WIB
Diterbitkan 08 Nov 2019, 16:34 WIB
Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah
Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian menilai, pelaksanaan pilkada secara langsung harus dievaluasi. Pasalnya, pilkada langsung memiliki banyak kekurangan.

Menanggapi itu, Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah berpendapat, pandangan itu perlu dikaji ulang oleh seluruh pemangku kebijakan, termasuk para anggota DPR. Sehingga, bisa mencari solusi soal pelaksanaan pilkada.

"Saya kira pandangan itu yang harus dikaji untuk sama-sama mencari solusi terbaik agar prinsip negara demokrasi tetap berjalan tetapi demokrasi itu bukan cuma sekedar proses tapi juga output," kata Basarah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (8/11/2019).

Basarah mengatakan, semua pihak baiknya bisa memberikan pandangan soal pelaksanaan pilkada, apakah melalui pilkada langsung atau tidak langsung.

"Ini saya kira perlu respons dan tanggapan serta diskursus oleh seluruh pihak bukan hanya dari Kemendagri maupun DPR, tapi juga seluruh masyarakat luas, perguruan tinggi, dan dunia pers," ungkapnya.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Pilkada Langsung Dievaluasi

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian (tengah). (Liputan6.com/Nanda Perdana Putra)

Sebelumnya, Mendagri Tito Karnavian meminta, sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung untuk dikaji ulang. Dia mempertanyakan, apakah sistem pemilihan langsung tersebut masih relevan hingga sekarang.

"Kalau saya sendiri justru pertanyaan saya adalah, apakah sistem politik pemilu Pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun," ujar Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu 6 November 2019.

Tito menilai, sistem pemilihan secara langsung banyak mudaratnya. Satu di antaranya biaya politik yang terlalu tinggi hingga memicu kepala daerah terpilih melakukan tindak pidana korupsi.

"Kita lihat mudaratnya juga ada, politik biaya tinggi. Kepala daerah, kalau enggak punya Rp 30 miliar, mau jadi bupati mana berani dia," ucapnya.

 

Reporter: Sania Mashabi

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya