Liputan6.com, Jakarta - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan PP Muhammadiyah menggelar pertemuan pada Rabu 4 Desember 2019. Pertemuan membahas isu kebijakan pemerintah di antaranya kebijakan majelis taklim terdaftar di Kementerian Agama (Kemenag).
Presiden PKS Sohibul Iman pun menilai, kebijakan pemerintah mewajibkan majelis taklim terdaftar, sangat berlebihan.
Baca Juga
"Tadi menjadi pembicaraan juga bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah hari ini, ada sebuah kebijakan yang terlalu berlebihan. Ini mengingatkan kita pada dulu zaman orde baru fenomenanya seperti itu," katanya dalam keterangan, Kamis (5/12/2019).
Advertisement
Sohibul menjelaskan, Muhammadiyah dan PKS ingin Indonesia tidak menjadi bangsa yang terus terjebak pada reinventing the wheel.
"Bolak-balik apa yang dulu pernah kita lakukan kesalahan, masa balik lagi ke situ. Apa yang diputuskan pemerintah hari ini, kami kritisi karena itu menjadi sesuatu yang tidak proporsional. Terlalu mengintervensi kepada aktivitas-aktivitas sosial keagamaan masyarakat. Kami berharap pemerintah melihat kembali ke masalah ini," terangnya.
Sementara itu, Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nashir juga mengatakan, kebijakan itu berlebihan.
"Tonggak sejarah ini kita deklarasikan dengan negara Pancasila sebagai hasil kesepakatan bersama majelis taklim untuk pendaftaran dan macem-macem tetapi kebijakan itu kalau dikaitkan dengan radikalisme itu memang berlebihan tidak nyambung juga," ucap Haedar di Kantornya, kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu 4 Desember 2019.
Menurut Haedar bila pendataan Majelis Taklim dikaitkan dengan isu radikalisme nantinya malah akan menimbulkam stigma atau membangun asumsi di masyarakat bahwa agama Islam menjadi sumber dari radikalisme.
"Problem radikalisasi yang punya potensi intoleran, kekerasan dan membenarkan kekerasan ekstrem maka muaranya jangan satu institusi," ujar Haedar.
Â
Â
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Bukan Kewajiban
Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid menjelaskan, Peraturan Menteri Agama (Permenag) Nomor 29 tahun 2019 tentang Majelis Taklim hanya sebatas keharusan, bukan kewajiban. Dia memastikan tidak ada sanksi terhadap majelis taklim yang tak mendaftar ke Kementerian Agama (Kemenag).
"Tidak wajib, makanya di situ bunyinya harus. Pilihannya kenapa diksinya harus bukan wajib, karena tidak punya sanksi," kata Zainut Tauhid di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa 3 Desember 2019.
Menurut dia, peraturan tersebut dibuat untuk memberikan pelayanan, pembinaan, dan dan perlindungan kepada masyarakat. Zainut mengatakan bahwa selama ini pihaknya telah melakukan pembinaan melalui 45 ribu penyuluh agama yang tersebar di seluruh Indonesia.
Melalui peraturan itu, maka Kementerian Agama akan lebih mudah melakukan pembinaan sebab majelis taklim sudah terdaftar. Selain itu, juga untuk memudahkan Kemenag berkoordinasi dengan majelis taklim apabila ada pembinaan.
"Tidak ada sanksi apa-apa (kalau tidak mendaftar). Jadi jangan terlalu berlebihan," tegasnya.
Zainut membantah bahwa Permenag ini dibuat lantaran pemerintah takut dengan keberadaan majelis taklim. Dia menegaskan bahwa pihaknya hanya ingin memberikan pelayanan kepada majelis taklim.
"Biar kami mempunyai data base. Kami kan juga perlu mempunyai data base. Misalnya, kalau misalnya ada tiba-tiba akan memberikan bantuan, kan kepada siapa, kan tidak tahu," jelas dia.
Dia menyatakan tidak ada modul khusus yang untuk majelis taklim di seluruh Indonesia. Zainut menuturkan bahwa Kemenag memberikan kebebasan kepada majelis taklim menyampaikan dakwah.
"Ndak ada, kita memberikan kebebasan majelis taklim untuk melakukan penyampaian dakwah, jadi itu merupakan ciri dari kemandirian majelis taklim itu sendiri," tutur Zainut
Advertisement
Isi Aturan Soal Majelis Taklim
Dalam draf PMA Majelis Taklim, aturan itu tertulis pada pasal 6 poin 1. Pasal tersebut menyebutkan setiap Majelis Taklim diharuskan terdaftar dalam Kementerian Agama.
Pada poin 2 disebutkan pengajuan pendaftaran harus dilakukan secara tertulis. Kemudian poin 3 tertulis jumlah anggota Majelis Taklim juga diatur paling tidak terdiri dari 15 orang. Serta memiliki daftar kepengurusan yang jelas.
Di Pasal 9 tertulis, setelah Majelis Taklim mendaftar dan melalui proses pemeriksaan dokumen dan dinyatakan lengkap Kepala Kementerian Agama Akan mengeluarkan Surat Keterangan Terdaftar atau SKT. Surat tersebut berlaku untuk lima tahun dan dapat diperpanjang.
Sedangkan pada Pasal 19 tertulis Majelis Taklim harus memberikan laporan kegiatan majelis pada Kantor Urusan Agama (KUA) paling lambat 10 Januari tahun berikutnya.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily menilai aturan itu berlebihan. Kata dia, Majelis Taklim adalah pranata sosial keagamaan.
"Majelis taklim itu kan tempat orang untuk mengaji. Jadi kalau misalnya itu diatur-atur oleh pemerintah misalnya harus daftar ke KUA, harus melaporkan kegiatan Majelis Taklim, menurut saya itu lebay," kata Ace di Hotel Merlynn Park, Jakarta Pusat, Sabtu, 30 November 2019.