Liputan6.com, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menolak lima pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru yang dilantik Presiden Jokowi pada Jumat lalu, 20 Desember 2019. Peneliti ICW, Kurnia Ramadhan, mengatakan ada lima alasan pihaknya menolak pimpinan tersebut.
Pertama terkait dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh salah satu pimpinan KPK tersebut.
"Salah satu pimpinan KPK diduga sempat bertemu dengan seorang kepala daerah yang sedang berperkara di lembaga antirasuah itu. Indonesia Corruption Watch pada 2018 lalu melaporkan salah seorang Pimpinan KPK tersebut ke KPK atas dugaan pelanggaran kode etik," kata Kurnia melalui keterangan tertulisnya, Jakarta, Sabtu (21/12/2019).
Advertisement
ICW tidak menyebutkan pimpinan mana yang dimaksudkan. Tapi publik paham yang ICW maksud adalah pimpinan yang berlatarbelakang dari Korps Bhayangkara, Firli Bahuri.
Nama Firli sempat mencuat pada September 2018 karena foto-fotonya sedang bermain tenis dalam acara tenis Danrem 162/WB di lapangan tenis Wira Bhakti, Gebang pada Sabtu-Minggu 12-13 Mei 2018 tersebar.
Permainan tenis itu juga dihadiri Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) saat itu Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi yang pada bulan yang sama dimintai keterangan oleh tim penyelidik KPK mengenai dugaan korupsi divestasi dan penjualan saham pemerintah daerah NTB di Newmont. TGB diduga menampung dana di rekening pribadi dan istrinya pada periode 2009-2013.
Firli memang pernah menjadi Kapolda NTB pada Februari 2017 sampai April 2018. Padahal dalam pasal 66 UU 30 tahun 2002 tentang KPK, pegawai KPK yang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK tanpa alasan yang sah dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun.
Alasan kedua penolakan ICW ialah terkait kesetujuannya mengenai Undang-Undang KPK hasil revisi pada September lalu. Menurut Kurnia, saat uji kelayakan di DPR mayoritas pimpinan KPK terpilih sepakat untuk merevisi Undang-Undang KPK.
"Padahal di saat yang sama draft yang ditawarkan oleh DPR dan pemerintah tidak pernah sekalipun memperkuat KPK. Selain itu penolakan masyarakat juga sangat meluas perihal perubahan UU KPK tersebut," ungkap Kurnia.
Penyebab penolakan ketiga adalah ketidakpatuhan salah satu dari mereka untuk melaporkan harta kekayaan atau LHKPN. Padahal, kata Kurnia kewajiban untuk melaporkan LHKPN sudah diatur secara tegas dalam UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
"Dan Peraturan KPK Nomor 7 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. Tentu catatan ini akan berimplikasi buruk bagi citra KPK yang selama ini dikenal menjunjung tinggi nilai-nilai integritas," tegasnya.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Masih Terlalu Muda
Alasan ketiga menurut Kurnia ialah ihwal usia yang belum mumpuni untuk menjadi pimpinan KPK. Menurut dia, satu di antara lima Pimpinan KPK masih berusia 45 tahun. Hal ini dipastikan menjadi persoalan serius, sebab Pasal 29 huruf e UU KPK baru menyebutkan bahwa untuk dapat diangkat menjadi Pimpinan KPK harus berusia paling rendah 50 tahun.
"Untuk itu mestinya Presiden dapat menunda pelantikan yang bersangkutan karena diduga melanggar ketentuan dalam UU KPK," terang dia.
Pimpinan yang dimaksud Kurnia adalah Nurul Ghufron yang lahir pada 22 September 1974. Artinya, Ghofur baru berusia 45 tahun.
Alasan kelima yang membuat ICW menegaskan penolakannya terhadap kelima pimpinan tersebut adalah salah satu pimpinan tersebut pernah mendapatkan petisi oleh pegawai KPK.
Pada periode April lalu, kata Kurnia, pegawai KPK sempat mengirimkan petisi kepada Pimpinan KPK karena diduga ada hambatan penanganan kasus di Kedeputian Penindakan lembaga anti rasuah itu. Faktanya saat ini, pimpinan Kedeputian Penindakan tersebut saat ini terpilih menjadi Pimpinan KPK baru.
Petisi tersebut, kata Kurnia setidaknya ada lima persoalan, yakni pertama adanya dugaan penundaan gelar perkara di tingkat kedeputian; kedua, sering terjadi kebocoran informasi soal tangkap tangan; ketiga pegawai di Kedeputian Penindakan merasa kesulitan memanggil saksi dan adanya perlakuan khusus terhadap figur tertentu yang juga menjadi saksi.
"Keempat sering terjadi penolakan penggeledahan di lokasi tertentu dengan alasan yang tidak jelas; dan kelima adanya pembiaran terhadap pelanggaran yang dilakukan internal penindakan," ia menandaskan.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi menaruh harapan kepada Komjen Firli Cs yang baru saja dilantik sebagai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023. Jokowi berharap, Firli dan empat pimpinan KPK lainnya dapat memberi penguatan terhadap lembaga antirasuah."Saya berharap sekali lagi penguatan KPK itu betul-betul nyata, pemberantasan korupsi bisa sistematis sehingga betul-betul memberikan dampak yang baik bagi ekonomi, bagi negara kita," kata Jokowi di Istana Negara Jakarta, Jumat (20/12/2019).
Jokowi yakin, Firli dan pimpinan lainnya dapat membawa KPK lebih baik. Terlebih, saat ini jug didampingi dewan pengawas KPK yang mempunyai latar belakang mumpuni.
"Saya meyakini insyaallah beliau-beliau Ketua KPK dan Komisioner KPK bisa membawa KPK yang lebih baik dengan didampingi dewas KPK," ujarnya.Jokowi melantik pimpinan KPK yakni Firli Bahuri, Nawawi Pomolango, Lili Pintauli Siregar, Alexander Marwata, dan Nurul Ghufron.
Advertisement