Pakar Hukum Pidana: Fungsi Awal KPK untuk Menindak Koruptor

Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar berharap pemerintah mengembalikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke fungsi awalnya.

oleh Liputan6.com diperbarui 21 Des 2019, 18:02 WIB
Diterbitkan 21 Des 2019, 18:02 WIB
KPK Rilis Indeks Penilaian Integritas 2017
Pekerja membersihkan debu yang menempel pada tembok dan logo KPK di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (21/11). KPK merilis Indeks Penilaian Integritas 2017. (Merdeka.com/Dwi Narwoko)

Liputan6.com, Jakarta - Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar berharap pemerintah mengembalikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke fungsi awalnya. Yakni menjadi lembaga independen dan tetap mengutamakan penindakan, bukan sekadar pencegahan.

Dalam satu diskusi dengan tema Babak Baru KPK, Fickar menilai pernyataan agar KPK fokus di pencegahan merupakan kekeliruan. Sebab menurutnya, sejarah mencatat terbentuknya KPK karena minimnya penegakan hukum oleh dua insititusi penegak hukum, Polri dan Kejaksaan.

Dari sejarah itu, Fickar bersikukuh fungsi KPK tidak lain adalah penindakan, meski upaya pencegahan terus dijalankan.

"Dilihat historisnya, dia (KPK) untuk penindakan. Kalau mau kinerjanya bagus maka harus dikembalikan fitrahnya yang lama sebagai lembaga independen," kata Fickar, Sabtu (21/12/2019).

Ia sengaja menitikberatkan lembaga independen lantaran saat ini KPK berada di bawah eksekutif, sumber daya manusia di KPK akan menjadi aparatur sipil negara (ASN). Artinya, kata dia, posisi KPK sama dengan Kejaksaan dan Kepolisian.

Ia mengamini, lembaga independen perlu ada pengawasan dan kontrol terhadap kinerjanya, dan fungsi itu seharusnya dilakukan DPR. Bukan justru membentuk Dewan Pengawas KPK.

 

Inkonsisten

KPK Rilis Indeks Penilaian Integritas 2017
Pekerja membersihkan debu yang menempel pada tembok dan logo KPK di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (21/11). Pemerintahan Provinsi Papua mendapat skor terendah yaitu 52,91. (Merdeka.com/Dwi Narwoko)

Fungsi Dewas pun disebut Fickar dilematis. Sebab, lima anggota Dewas yang dipimpin Tumpak Panggabean tidak memiliki kekuasaan kehakiman dan tidak bisa masuk ke ranah pro justisia sementara mereka bertugas mengawasi aparat penegak hukum.

Hal-hal seperti itu dinilai sebagai inkonsistensi pemerintah dalam proses penegakan hukum.

"Sekarang ini ada inkonsistensi. Untuk (menggugat) kewenangan menangkap bisa dikontrol lewat praperadilan, dan semuanya dilakukan instumen hukum, sekarang Dewas bukan penegak hukum, bukan bagian kekuasaan kehakiman. Enggak bisa masuk ke ranah pro justisia," tandasnya.

 

Reporter: Yunita Amalia

Sumber: Merdeka

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya