Harta Karun di Toyama Jepang, Kota Tenang dengan Sejuta Kesenian

Toyama bak harta karun, menyimpang segudang cerita dan decak kagum.

oleh Andrie Harianto diperbarui 17 Jan 2020, 07:07 WIB
Diterbitkan 17 Jan 2020, 07:07 WIB
Desa Ainokura
Desa Ainokura Gakoyama adalah salah satu Desa di Prefektur Toyama yang masuk dalam cagar budaya karena masih mempertahankan model bangunan Gasho. (Andry Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta Setelah Prefektur Nagano dan Gifu, saya berkesempatan untuk mengunjungi Prefektur Toyama. Bila dilihat dari peta, prefektur ini masih berada di tengah Pulau Hoshu. Topografi prefektur ini sangat indah, menghadap ke Teluk Toyama dan memiliki dataran tinggi yang menakjubkan serta ikan laut segar khas musim dingin. Toyama bak harta karun, menyimpang segudang cerita dan decak kagum.

Prefektur ini memiliki enam kota, yaitu Himi, Imizu, Kurobe, Namerikawa, Nanto, Oyabe, Takaoka, Tonami, Uozu, dan Toyama sebagai ibu kotanya. Saya hanya memiliki waktu dua hari untuk menjelajah Toyama setelah sebelumnya mengunjungi Shirakawa Go di Prefectur Gifu. Alhasil, saya memutuskan untuk mengunjungi kota Nanto dan Kurobe. Di dua kota ini terdapat beberapa destinasi sejarah dan wisata yang sangat layak dikunjungi.

Dari Shirakawa Go sepanjang perjalanan salju mulai turun deras karena sejak subuh hari hujan mengguyur kawasan Pegunungan Japan Alps Toyama. Jarak tempuh dari hotel saya menginap, yaitu Iimikan Yoshine, dengan Toyama sekitar 50an kilometer. Pemandangan cukup menakjubkan dimana gunung-gunung dan pepohonan tertutup kabut.

 

Workshop Membuat dan Mengolah Kertas

Gokayama Washi
pusat produksi dan kerajinan kertas Gokayama Washi di Higashi Nakae di Kota Nanto. Di sini anda akan diberikan pengetahuan sejarah masyarakat tradisional mengolah kertas dari pohon Kozo oleh masyarakat Taira. (Andry Haryanto/Liputan6.com)

Adapun tujuan pertama yang saya kunjungi adalah pusat produksi dan kerajinan kertas Gokayama Washi di Higashi Nakae di Kota Nanto. Di sini anda akan diberikan pengetahuan sejarah masyarakat tradisional mengolah kertas dari pohon Kozo oleh masyarakat Taira. Pohon ini di Indonesia disebut Mulberry. Untuk biaya workshop pembuatan kertas ditarif 700 yen.

Di tempat workshop juga menyediakan berbagai jenis kertas Washis olahan tradisional. Mulai dari lampion, kertas surat, cover buku, dompet kertas, dan beragam kerajinan kertas Washis lainnya. Anda dapat berkeliling di gudang penyimpanan dan pengeringan kayu Kozo. Beruntung, saya dapat melihat lebih dekat proses pengeringan dan pengelupasan kulit luar kayu untuk kemudian ditumbuk dan dijadikan serat dan dijadikan kertas.

 

Hening dan Suara Parau Gagak di Ainokura

Desa Ainokura
Desa Ainokura Gakoyama adalah salah satu Desa di Prefektur Toyama yang masuk dalam cagar budaya karena masih mempertahankan model bangunan Gasho. (Andry Liputan6.com)

Usai mengikuti workshop dan berkeliling lokasi kerajinan, saya melanjutkan perjalanan ke Desa Ainokura. Seperti desa tradisional di Shirakawa Go, Toyama juga memiliki desa tradisional khas dengan rumah dengan desain Gasho, yaitu Desa Ainokura. Desain ini adalah atap segitika lancip. Desain ini memiliki makna filosofis saat kita memberikan salam hormat dengan tangan dirapatkan membentuk segitiga atau saat berdoa.

"Artinya selalu menghormati dan doa kepada alam yang meberikan kehidupan," kata Yoshiko Tomiyama #tourguideyoshi, pemandu wisata saya selama menjelajah rute perjalanan "Three Star Road" atas undangan pemerintah Jepang dan Meitetsu World Travel, 9-20 Januari 2020.

Ada sekitar 30an rumah tradisional Jepang dengan desaian Gasho yang masih bertahan. Suasana saat tiba adalah pukul 11.00 waktu setempat. Suasana turun hujan yang membuat dingan sangat amat terasa. Justru, bila salju turun dingin tidak begitu menusuk.

Suasana pedesaan ini masih sangat sepi, berbeda jauh dengan Shirakawago yang begitu banyak dikunjungi wisatawan asing atau domestik.

"Seperti harta karun yang belum ditemukan, belum banyak orang tahu ke lokasi ini," kata Yoshi, sapaan Yoshiko, Rabu 16 Januari 2020.

Dinginnya udara setelah berkeliling akhirnya membawa kami ke toko di lokasi Ainokura. Anda bisa menghangatkan badan dengan kopi kaleng hangat, sake, peganan hangat, atau sekedar belanja suvenir khas Ainokura.

Perjalanan berlanjut karena saya harus mengejar tujuan selanjutnya sebelum matahari terbit, yaitu region Inami yang juga termasuk dalam kawasan Kota Nanto.

Namun, saat berjalan menuju kendaraan yang membawa kami pergi, dua orang perempuan Indonesia tengah asyik menikmati landscape rumah desain Gasho, meski gerimis mengguyur Ainokura. Mereka adalah Kiki dan Tya. Keduanya berasal dari Bandung dan menggunakan JR Pass, tiket terusan untuk transportasi umum segala moda, untuk menjangkau Ainokura.

"Mereka sungguh hebat berdua bisa sampai di sini, artinya Jepang aman untuk dikunjungi siapa saja," kata Yoshi usai kami berkenalan.

 

Desa Para Pemahat

Inami
Desa Inami ditempuh 20 menitan dari Gokayama. Suasana di sini begitu hening. Ditambah hujan yang baru saja selesai mengguyur region ini. Terkesan. (Andry Haryanto/Liputan6.com)
Inami
Desa Inami ditempuh 20 menitan dari Gokayama. Suasana di sini begitu hening. Ditambah hujan yang baru saja selesai mengguyur region ini. Terkesan.
Inami
Desa Inami ditempuh 20 menitan dari Gokayama. Suasana di sini begitu hening. Ditambah hujan yang baru saja selesai mengguyur region ini. Terkesan.

Desa Inami ditempuh 20 menitan dari Gokayama. Suasana di sini begitu hening. Ditambah hujan yang baru saja selesai mengguyur region ini. Terkesan. Kesan pertama ketika saya mulai memasuki kawasan Inami, kawasan yang dibalut pemandangan Gunung Yaotome.

Hiasan pahatan kayu ada di setiap rumah dan sudut jalan. "Seni pahat di sini adalah yang terbaik," kata Yoshi.

Tujuan saya adalah salah satu kuil tertua Budha di Jepang yang berdiri sejak 600 tahun lalu. Untuk menuju ke sana saya dan Yoshi harus melalui Jalan Yokamachi. Jalan sepanjang 500 meter dengan beragam pahatan di setiap rumah maupun pertokoan. 

"Semua orang yang mengerjakan pahatan tidak menggunakan mesin atau hampelas," kata Yoshi.

Semua pahatan di Jepang berasal dari region Kota Nanto dan dilakukan secara turun-temurun dalam keluarga. Bahkan, semua yang ingin belajar memahat mereka harus rela berbulan-bulan ditempa ilmu memahat di sini.

Lantas, bagaimana bisa memahat menjadi tradisi turun temurun di sini?

Yoshi dan seorang pemandu wisata lokal setempat membawa saya ke kuil Budha bernama Zuisenji. Rupaya, dari sinilah bermula mengapa kota ini penuh dengan para pemahat. Kuil Zuisenji ini dibangun sejak emperor Gotokumakutu berkuasa, era 1390an.

Singkat cerita kuil yang sudah dibangun dilahap si jago merah dan habis terbakar. Alhasil, didatangkanlah arsitek dari Kyoto untuk membangun dan mengkonsep ulang kul tersebut. Satu orang arsitek dari Kyoto dipanggil untuk memperbaiki kuil yang rusak dengan diperbantukan oleh warga sekitar Nanto.

Pada akhirnya kuil kembali tegak berdiri. Orang-orang yang semula diminta bantuan memahat oleh arsitek Kyoto justru malah terus memahat meski ornamen kebutuhan kuil telah selesai. Bahkan santer tersiar hasil pahatan mereka berkualitas baik. Alhasil, pemerintah Kyoto yang meminta mereka datang ke Kyoto untuk memahat kuil dan ornamen-ornamen lainnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya