TII Nilai RUU Omnibus Law Ciptaker Positif untuk Perekonomian Indonesia

Dia menyebut, Omnibus Law RUU Cipta Kerja, tidak hanya mengatur tentang ketentuan investasi dan kemudahan berusaha.

oleh Yusron Fahmi diperbarui 23 Apr 2020, 21:19 WIB
Diterbitkan 23 Apr 2020, 16:13 WIB
Pemerintah Serahkan Draft RUU Omnibus Law
Ketua DPR Puan Maharani (tengah) bersama Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kiri) dan Menkeu Sri Mulyani (kanan) memberikan keterangan usai penyerahan draft RUU Omnibus Law di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (12/2/2020). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Eksekutif The Indonesian Institute (TII) Adinda Tenriangke Muchtar menilai Omnibus Law Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) positif untuk perekonomian Indonesia. RUU ini dinilai sejalan dengan target pemerintah dalam meningkatkan investasi dan mendukung kemudahan berusaha di Indonesia.

"Salah satu permasalahan yang menghambat investasi dan kemudahan berusaha adalah regulasi yang gemuk dan tumpang tindih, sehingga menambah beban biaya dan waktu, serta lebih jauh mempersulit upaya pembukaan kesempatan lapangan kerja yang lebih luas,” kata Adinda Tenriangke Muchtar dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis (23/4/2020).

Dia menyebut, Omnibus Law RUU Cipta Kerja, tidak hanya mengatur tentang ketentuan investasi dan kemudahan berusaha. Namun juga mengatur hal-hal lain, termasuk ketenagerjaan, lingkungan, industri pertambangan, pengelolaan wilayah pesisir dan kepulauan, Badan Usaha Milik Desa, serta Usaha Mikro Kecil dan Menengah.

“RUU Cipta Kerja juga didorong untuk menciptakan perluasan kesempatan kerja dan pemberdayaan ekonomi, melalui kemudahan berusaha dan proses perijinan yang mudah, serta difasilitasi pemerintah," katanya.

Oleh karena itu, Adinda menilai RUU Ciptaker sebagai kebijakan berpotensi positif bagi kebebasan ekonomi, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, serta kesejahteraan di Indonesia.

Sementara itu, terkait bangunan dan logika hukum, RUU Omnibus Law Ciptaker berpotensi menghidupkan kembali pasal yang pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi, yaitu ketentuan presiden bisa membatalkan peraturan daerah melalui peraturan presiden.

Menurut dia, hal itu bertentangan dengan hierarki tata peraturan perundang-undangan yang berlaku. Belum lagi, potensi anomali dengan prinsip Omnibus Law, karena RUU Cipta Kerja nantinya akan mengamanatkan ratusan peraturan teknis untuk pelaksanaanya.

“Hal ini pulalah yang membuat pembahasan RUU ini masih harus mengkritisi banyaknya ketentuan yang bermasalah, mengingat potensi dampak negatif serius yang akan ditimbulkannya,” ujarnya.

 

Catatan Kritis

TII menegaskan pentingya mengkritisi RUU ini mengingat aspek ekonomi juga berdampak terhadap aspek lainnya.

Selain itu, pembangunan yang berkelanjutan dan mendukung kebebasan ekonomi tidak akan dapat berjalan baik dan berdampak positif, jika tidak memperhatikan pemangku kepentingan, konteks, serta dampak di aspek lainnya.

TII mendesak pemerintah agar semua catatan kritis dari beragam pihak harus dipertimbangkan dan dijadikan masukan dalam proses pembahasan RUU Cipta Kerja kedepan. Terlebih di tengah krisis pandemi COVID-19 DPR bersikukuh terus melanjutkan pembahasan RUU ini.

“Para pembuat kebijakan dituntut untuk membuktikan bahwa RUU Cipta Kerja tetap diproses sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik,” ucapnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya