Jangan Jadikan Papua Sebagai Komoditas Politik Rasisme

Hentikan eksploitasi rasisme di Papua.

oleh Liputan6.com diperbarui 13 Jun 2020, 20:58 WIB
Diterbitkan 13 Jun 2020, 18:28 WIB
Prajurit TNI berpatroli di perbatasan RI-PNG, di Papua. (Foto: Liputan6.com/Dok. Kostrad)
Prajurit TNI berpatroli di perbatasan RI-PNG, di Papua. (Foto: Liputan6.com/Dok. Kostrad)

Liputan6.com, Jakarta - Isu rasisme di Papua seolah dimunculkan dan sengaja dimainkan sekelompok orang dengan mencoba mengaitkan aksi kepedulian terhadap George Floyd di Amerika Serikat dengan proses hukum di Papua.

Padahal saat ini banyak pihak yang sedang mengupayakan pendekatan persuasif, humanis, dan strategis dalam menyelesaikan berbagai dugaan diskriminasi hukum yang terjadi di Papua.

"MPR terus terlibat membantu saudara kita yang menyuarakan keadilan sosial terhadap Papua agar tidak mendapat diskriminasi hukum," kata Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, dalam diskusi virtual tentang Papua yang berlangsung Sabtu (13/6/2020).

Ia mengakui bahwa SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) adalah isu yang sensitif, bahkan bagi negara yang sangat matang kehidupan demokrasinya seperti Amerika.

"Kita tetap harus waspada, karena tak menutup kemungkinan ada pihak-pihak yang berusaha menjadi provokator, memanfaatkan kejadian di Amerika untuk menyulut emosi publik yang dapat mengganggu kedamaian di Papua khususnya dan Indonesia umumnya," kata Bamsoet.

Sebagai contoh upaya konkret yang sedang dilakukan MPR, Bamsoet menyebut keberadaan Forum Komunikasi dan Aspirasi Anggota DPD-DPR RI Dapil Papua dan Papua Barat (For Papua) yang aktif menjembatani komunikasi dari berbagai pihak demi perdamaian di Papua.

"Alhamdulilah berkat kerja keras semua pihak, keenam saudara kita tersebut yakni Surya Anta Ginting, Anes Tabuni alias Dano Anes Tabuni, Charles Kossay, Ambrosius Mulait, dan Arina Elopere alias Wenebita Gwijangge, telah dibebaskan pada Mei 2020," ujar Bamsoet lagi.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Jangan Terprovokasi

Papua
Warga Kampung Enggros nikmati internet gratis

Yorrys Raweyai, anggota For Papua yang juga perwakilan DPD dari Papua mengungkapkan, ada penanganan hukum yang sudah coba mereka upayakan. Seperti kasus Mispo Gwijangge yang diduga membunuh pekerja Istaka Karya.

"Kami panggil mitra kerja dan pihak yang terkait Papua. Ini adalah upaya politik, bukan hanya hukum saja," kata Yorrys.

April lalu, pengadilan pun membebaskan Mispo dari berbagai tuduhan karena dianggap tidak terbukti.

"Kami masih akan upayakan untuk kasus lain. Kami tidak tinggal diam," Kata Yorrys.

Kendati mendapat pengawalan politik dan keberpihakan, Yorrys mengingatkan agar masyarakat tetap mewaspadai pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang ingin mengambil untung dari situasi konflik di Papua.

"Jangan kita terprovokasi dengan orang yang ingin mengait-ngaitkan masalah di Papua," katanya.

Filep Wamafma, anggota DPD yang ada di For Papua dan mengawal kasus Mispo Gwijangge, mengakui bahwa urusan Papua tidak dipandang sebagai masalah hukum juga, tapi juga politik.

Sehingga langkah-langkah yang ditempuh itu akan menjadi kebijakan politik yang terbaik bagi Papua di masa depan.

"Pemerintah juga harus membuka ruang yang luas, terbuka, melibatkan semua komponen. Sehingga masalah Papua juga bisa dibicarakan dengan martabat," kata Filep yang juga terlibat dalam diskusi itu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya