Liputan6.com, Jakarta - Calon jemaah umrah Indonesia kembali harus mengubur impiannya untuk pergi ke Tanah Suci. Kendati pemerintah Arab Saudi telah mengizinkan 50 ribu orang untuk menunaikan umrah selama Ramadan 2021.
Pasalnya, negara yang dipimpin Raja Salman itu menginginkan vaksin yang digunakan jemaah harus tersertifikasi oleh WHO seperti Pfizer, AstraZeneca, dan Moderna. Sedangkan vaksin Sinovac yang digunakan sebagian masyarakat Indonesia, belum mengantongi emergency use listing (EUL) dari Organisasi Kesehatan Dunia tersebut.
Kementerian Agama pun menampik kabar jemaah umrah terganjal oleh vaksin Sinovac. Informasi itu disebut belum resmi dikeluarkan Pemerintah Arab Saudi.
Advertisement
"Tidak ada bahasa yang mengatakan Sinovac ditolak, Saudi juga tidak mengatakan itu," kata Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama (Kemenag) Khoirizi saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Selasa (20/4/2021).
"Di Saudi memang gunakan tiga vaksin, Pfizer, AstraZeneca, dan Moderna, itu yang sudah mendapat lisensi WHO tapi bukan berarti Sinovac tidak diterima," dia menambahkan.
Khoirizi mengaku sempat mendengar kabar tersebut. Namun pernyataan yang dikeluarkan Saudi, menurutnya ditujukan kepada masyarakat dan warga setempat.
"Memang ada kemarin pernyataan awal ramadan (Saudi) membuka dua pintu masjid, Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, tetapi itu hanya sebatas masyarakat dan warga negara (setempat) juga dengan prokes ketat dan divaksin dan mereka juga harus mendaftar via aplikasi," jelas dia.
Saat ini, Khoirizi melanjutkan, Kemenkes dan BPOM tengah memproses vaksin Sinovac untuk mendapatkan lisensi dari WHO. Dalam waktu dekat, sertifikasi dari WHO untuk vaksin Sinovac sudah didapat.
"Paling telat Mei sudah dapat sertifikasi atau lisensi WHO," ucapnya.
Khoirizi mengungkapkan, pangkal persoalan Indonesia masih belum diizinkan mengirimkan jemaah ke Tanah Suci lantaran tren kasus positif Covid-19 yang masih tinggi. Ada 20 negara yang dilarang masuk Saudi, termasuk Indonesia.
"Tetapi pemerintah Indonesia terus melobi dan mendiplomasi untuk membuka suspend itu karena mengingat Indonesia angka konfirmasi positif kasusnya di bawah 5 ribu. Ini prestasi dan tentu Saudi seharusnya dapat mempertimbangkan ini," jelas dia.
Sementara Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengaku sudah mendapatkan informasi dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia Jeddah bahwa semua warga negara asing yang akan masuk Arab Saudi harus sudah divaksin COVID-19. Hal ini berarti berlaku pada masyarakat Indonesia yang umrah ke sana.
"Kemarin kita sudah dapat informasi bahwa KBRI (KJRI) Jeddah mendapatkan surat dari (pemerintah) Arab Saudi bahwa semua yang akan masuk ke Arab Saudi harus sudah divaksin," kata Nadia lewat pesan singkat kepada Liputan6.com, Selasa (20/4/2021).
Sempat beredar kabar Arab Saudi hanya mengizinkan masuk orang yang disuntik dengan vaksin yang sudah masuk Emergency Use Listing (EUL) dari World Health Organization (WHO). Sementara, vaksin yang paling banyak digunakan masyarakat Indonesia adalah Sinovac yang belum masuk EUL WHO.
Terkait hal ini, Nadia meluruskan bahwa vaksin COVID-19 yang disuntikkan tidak harus memiliki EUL. Asalkan jenis vaksin tersebut sudah resmi mendapat emergency use of authorization dari lembaga berwenang dalam hal ini di Indonesia adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
"Dan, ini jenis vaksin yang sudah resmi dari negara masing-masing. Jadi, tidak harus memiliki EUL," kata Nadia.
Vaksin CoronaVac dari Sinovac yang digunakan sebagian besar masyarakat Indonesia diprediksi baru mendapat EUL akhir Mei 2021.
"Vaksin Sinovac telah mengikuti prosedur pengurusan EUL dan prediksi pemberian EUL yaitu pada akhir bulan Mei 2021," kata Juru Bicara Satgas COVID-19, Wiku Adisasmito pada 16 April 2021 lalu.
Vaksin yang sudah mendapat EUL WHO sampai saat ini adalah Pfizer, AstraZeneca (produksi Korea dan Serum Institute India) serta Johnson & Johnson.
Sementara itu Ketua Majelis Tinggi Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri), Mahfudz Jaelani menilai masalah ini merupakan persoalan tingkat tinggi. Perlu ada pendekatan khusus yang dilakukan oleh antarkepala negara.
"Harus turun Presiden Jokowi, sebab kalau menteri, tidak akan dilayani. Harus ada pendekatan kepada Saudi. Bukan melalui formal, seperti kirim surat, itu akan dibalas lama. Tapi pendekatan nonformal," ucap dia saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Selasa (20/4/2021).
Dia mengungkapkan, berkaca dari Malaysia yang melakukan langkah diplomasi antarpimpinan kedua negara. Hasilnya, negara tetangga tersebut mendapatkan kuota haji pada tahun ini.
"Kita sepertinya tidak dapat tahun ini baik Haji atau umrah," kata dia.
Mahfudz kemudian mengungkapkan dampak kondisi ini yang dirasakan berat oleh calon jemaah haji atau umrah. Mereka diliputi rasa gundah bahkan hingga meninggal dunia. "Saat ini kondisi calon jemaah ada yang stres, bahkan meninggal," ujar dia.
Untuk itu, sekali lagi ia berharap agar Jokowi mengambil langkah 'diplomasi santai' dengan Pemerintahan Arab Saudi. Pendekatan unformal itu dianggapnya lebih ampuh ketimbang melalui surat menyurat.
"Lakukan pendekatan nonformal, saya yakin haqqul yaqin itu bakalan dibuka (jemaah umroh dan haji)," ujar Mahfudz.
Sedangkan Ketua Umum Sarikat Penyelenggara Haji Umrah Indonesia (Sapuhi) Syam Resfiadi menilai pada dasarnya vaksin Sinovac bukanlah menjadi syarat jemaah untuk bisa berumrah. Kebijakan ini dinilainya hanya cara lembut Saudi terhadap negara yang masih tinggi kasus positifnya.
"Itu penolakan halus dari pemerintah Arab Saudi kepada negara yang masih dilarang masuk ke sana, apa pun vaksin yang sudah disuntikkan ke jemaahnya, kemungkinan terbesarnya seperti itu (ditolak)," ucap dia kepada Liputan6.com, Selasa (20/4/2021).
Dia tidak menafikan adanya perang dagang dari vaksin itu sendiri. Untuk itu, WHO diminta untuk tidak membedakan merek tertentu selama vaksin tersebut memenuhi standar dari sertifikasi tersebut.
"Tapi yang pasti untuk saat ini, (soal Sinovac) itu bukan merupakan alasan utama tidak bolehnya orang umrah khususnya orang Indonesia," Syam kembali menegaskan.
Untuk nasib calon jemaah umrah, dia melanjutkan, memang masih tertunda. Mereka yang sudah mendaftar pada tahun 2020 awal lalu, harus bersabar untuk beribadah di Baitullah.
"Karena ketika mau diberangkatkan di November 2020 dan Januari 2021 masih terlihat adanya proses yang tidak bisa dihindari, terpapar antara jemaah itu sendiri walaupun belum sampai memaparkan keluar dari jemaah yang klaster ini," ujar Syam.
Dia mengungkapkan, kasus ketidakjujuran terkait hasil test covid-19 juga kerap terjadi. Perilakui buruk itu dilakukan tanpa mengindahkan dampak dari reputasi Indonesia di mata Internasional.
"Itu tidak disangka akan merusak nama negara kita, negara muslim yang dilarang masuk Arab Saudi ya Indonesia, ya kita memang tidak mendengar negara muslim lainnya seperti Pakistan, Mesir apakah dilarang atau tidak masuk Arab Saudi," terang Syam.
Saat ini, kata dia, semua negara masih terus bertarung melawan virus Covid-19 ini. Karena itu, ia meminta semua jemaah umrah atau haji untuk sabar menunggu hingga kondisi benar-benar kembali aman.
"Kita sebagai rakyat manut, jangan berlagak orang paling beriman, paling bertakwa untuk umrah ke Arab Saudi, banyak hal yang menjadi kewajiban kita selaku umat Islam untuk beribadah kepada Allah. Ini di luar kemampuan manusia, bencana global yang diturunkan Sang Pencipta Allah SWT," demikian Syam menandaskan.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Murni Faktor Sinovac?
Mantan Direktur WHO SEARO sekaligus Mantan Dirjen P2P & Ka Balitbangkes Profesor Tjandra Yoga Aditama mengaku belum mengetahui apakah betul sudah ada pengumuman resmi dari pemerintah Arab Saudi tentang harus atau tidaknya calon jemaah mendapatkan vaksin.
"Kalaupun ada aturan vaksin, saya kira mereka bukan mempersoalkan Sinovac atau bukan Sinovac. Mungkin, yang mereka maksud adalah vaksin yang sudah mendapatkan Emergency Use of Listing (EUL) dari WHO,” ujar Tjandra kepada Health Liputan6.com melalui sambungan telepon, Selasa (20/4/2021).
Jika memang patokan pemerintah Arab Saudi adalah vaksin yang telah mendapatkan EUL atau izin edar dari organisasi kesehatan dunia (WHO), maka sejauh ini yang sudah mendapatkan itu ada tiga, yakni Pfizer, AstraZeneca, dan Johnson & Johnson, kata Tjandra.
“WHO terus berproses untuk semua vaksin, mengumpulkan bukti-bukti ilmiahnya untuk mereka evaluasi apakah nantinya akan mendapatkan EUL atau tidak.”
"Untuk ibadah haji, perlu menunggu beberapa bulan ke depan apakah ada tambahan jenis vaksin yang mendapatkan EUL atau tidak," katanya.
Ia menambahkan, pada awal April, Strategic Advisory Group of Experts on Immunization (SAGE) sudah menerima informasi tentang vaksin dari China, yaitu Sinovac dan Sinopharm. Mereka mengatakan, hasil penelitian terhadap kedua vaksin tersebut cukup baik dan bisa diajukan ke WHO untuk mendapat persetujuan dan pemrosesan.
SAGE sendiri adalah kumpulan ahli yang memberikan masukan-masukan kepada WHO. SAGE juga memperkirakan bahwa mereka bisa mendapatkan izin tersebut di akhir April 2021.
“Tapi beberapa hari yang lalu keluar lagi statement lain, ternyata masih ada informasi-informasi yang dibutuhkan sebelum vaksin dari China itu mendapatkan izin edar dari WHO.”
“Jadi ini masih berproses, untuk calon jemaah ya kita tunggu. Kita harapkan beberapa bulan ke depan ada lagi vaksin-vaksin yang mendapatkan EUL dari WHO,” katanya.
Sementara itu Kementerian Kesehatan RI terus berupaya melobi pihak Arab Saudi terkait keberatannya atas vaksin Sinovac. Hal itu disampaikan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam forum diskusi, Minggu, 18 April 2021.
"Kami memang sudah lobi. Doain ya. Mudah-mudahan bisa tetep dapat. Apakah vaksinnya hanya yang sudah EUL WHO? Itu baru rumor. Mumpung masih rumor, kami agresif datang ke Pemerintah Arab Saudi," ujar Budi Gunadi Sadikin.
Budi Gunadi berharap Pemerintah Arab Saudi mempertimbangkan Indonesia sebagai negara muslim terbesar.
Untuk calon jemaah umrah, lanjut Budi, sudah disuntik vaksin Sinovac semua. Walaupun memang belum tahu, berapa jumlah kuota jemaah umrah yang dapat berangkat ke Tanah Suci Mekkah.
Upaya yang juga dilakukan Pemerintah Indonesia juga meminta pihak Sinovac dan WHO mempercepat penerbitan EUL untuk vaksin.
"Semua lansia calon jemaah kita sudah disuntik semua, ya calon jemaah di atas 60. Kita kan enggak tahu juga semuanya dikasih kuota atau enggak," jelas Budi Gunadi.
"Di satu sisi, kami minta ke Sinovac dan WHO, tolong dipercepat penerbitan EUL karena kita negara muslim terbesar. Artinya, kalau enggak terbit, terlambat, kasihan," demikian Menkes Budi Gunadi.
Advertisement
Pengawasan Ketat Saudi
Arab Saudi mengizinkan 50 ribu orang untuk menunaikan umrah selama Ramadan 2021. Izin itu diberikan tiap harinya, sehingga banyak orang berkesempatan untuk umrah meski ada pandemi COVID-19. Tentunya, Arab Saudi akan menerapkan protokol kesehatan yang optimal.
Pemerintah Saudi pun memberlakukan pengawasan ketat terkait kebijakan vaksin jemaah ini. Setiap calon jemaah yang akan berangkat ke Masjidil Haram, harus menuju pusat perawatan terlebih dahulu di Mekah pada enam jam sebelum Umrah. Demikian kabar itu dilansir dari Arab News, Sabtu 16 April 2021.
Di tempat perawatan ini, otoritas terkait akan mengecek terlebih dahulu jenis vaksin COVID-19 calon jemaah Umrah 2021. Mereka akan diperiksa status vaksinasinya berdasarkan tipe vaksin yang sudah lolos.
Saat ini, Arab Saudi telah meloloskan tiga jenis vaksin COVID-19, yaitu Pfizer, AstraZeneca, dan Moderna. Sementara Sinovac, yang digunakan sebagian besar masyarakat di Indonesia, belum mendapatkan izin dari WHO melalui proses Emergency Use Listing (EUL).
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pun mengungkapkan, bisa jadi ada proses yang sedang dilakukan agar vaksin asal China itu agar bisa teregister oleh WHO.
Sementara itu Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti yang juga Senator asal Jawa Timur ini, meminta pemerintah segera memberikan kepastian, agar tidak terjadi informasi simpang siur di masyarakat.
"Pemerintah melalui Kementerian Agama harus mengkonfirmasi informasi mengenai diperbolehkannya ibadah umrah asalkan sudah divaksin melalui aplikasi Tawakalna, aplikasi yang diluncurkan Otoritas Data dan Kecerdasan Buatan Saudi (SDAIA) pada tahun 2020. Kementrian Agama harus bergerak cepat. Jika tidak, informasi ini bisa menjadi polemik di masyarakat," katanya, Senin 12 April 2021 lalu.
Menurut LaNyalla, Kementerian Agama harus menjadi pusat informasi mengenai kegiatan keagamaan termasuk, di dalamnya kepastian haji dan umrah.
"Oleh karena itu, kita meminta informasi yang disampaikan kepada masyarakat adalah informasi yang sudah dapat dipertanggungjawabkan, agar masyarakat menjadi tenang," pintanya.
Ketua Dewan Kehormatan Kadin Jawa Timur ini mengatakan, hal lain yang perlu dijelaskan Kemenag adalah kepastian pemberian vaksin kepada calhaj yang ditetapkan WHO.
"Pasalnya, beredar kabar di masyarakat, vaksin Sinovac yang diberikan kepada masyarakat Indonesia belum direkomendasikan oleh WHO. Namun hal ini mendapat bantahan pula dari Kemenag. Hal-hal seperti ini yang bisa membingungkan masyarakat," katanya.
LaNyalla meminta Kemenag menyebarkan informasi yang sudah clear dan deal dengan pemerintah Arab Saudi.
"Insya Allah segera, saya akan fasilitasi pertemuan antara DPD RI melalui Komite III dengan Menteri Agama dan Dubes Kerajaan Saudi untuk membahas kepastian pintu umrah bagi Indonesia," kata alumnus Universitas Brawijaya Malang itu.