Demokrat: Jika Tak Ada Resistensi, Jabatan Presiden 3 Periode Sangat Mungkin Dijalankan

Dia mengungkapkan, jangan sampai hanya karena proyek pemindahan Ibu Kota Negara, wacana jabatan presiden 3 periode ini dipresentasikan.

oleh Liputan6.com diperbarui 23 Jun 2021, 04:36 WIB
Diterbitkan 23 Jun 2021, 04:36 WIB
Agus Harimurti Yudhoyono
Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menggelar konferensi pers di DPP Demokrat, Jakarta Pusat, Rabu (31/3/2021). AHY bersyukur karena pemerintah telah menolak pengajuan pengesahan kepengurusan Partai Demokrat hasil Kongres Luar Biasa Deli Serdang. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Partai Demokrat menyoroti isu yang bergulir mengenai wacana jabatan presiden tiga periode. Menurutnya, wacana tersebut bukanlah kebetulan semata tanpa tujuan.

"Dalam politik segala dinamika yang mewujud bukanlah suatu kebetulan semata, melainkan manifestasi dari tindakan bertujuan. Segala sesuatunya by design, tidak tiba-tiba," kata Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat Kamhar Lakumani, Selasa (22/6/2021).

"Termasuk wacana presiden tiga periode, apalagi wacana ini sudah berulang-ulang kali dipresentasikan oleh aktor-aktor yang sama yang terafiliasi dengan penguasa," sambungnya.

Menurut Kamhar, dalam menyikapi dan membaca wacana ini, ada beberapa kemungkinan yang menjadi dugaan motif. Pertama untuk testing the water mengukur respons publik.

"Jika tak ada resistensi maka sangat mungkin skenario ini dijalankan," ucapnya.

Kedua sebagai upaya membangun bargaining posisi. Kata dia, terkait skenario kedua ini, beredar informasi telah terjadi lobi-lobi untuk menambah periode masa jabatan Presiden dan Anggota DPR sampai 2027.

"Artinya ada penambahan masa jabatan selama 3 tahun, dari 5 tahun menjadi 8 tahun pada periode kedua. Jelas ini pengangkangan amanah reformasi dan inkonstitusional," ujarnya.

Dia mengatakan, pembatasan masa jabatan Presiden hanya dua periode dan per periodenya selama 5 tahun telah diatur dalam amandemen UUD ‘45 sebagai amanah reformasi untuk memastikan sirkulasi dan pergantian kepemimpinan nasional dapat berjalan tanpa sumbatan dan menghindarkan pada jebakan kekuasaan. Dia bilang, masa jabatan yang terlalu lama akan membawa pada kekuasaan absolut.

"Bahaya dari ini telah diingatkan Lord Acton “power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely” bahwa kekuasaan cenderung korup, kekuasaan mutlak benar-benar merusak," kata dia.

Kamhar menuturkan, Indonesia punya pengalaman sejarah yang tidak indah untuk dikenang akibat tak adanya batas masa jabatan Presiden ini. Amandemen pembatasan masa jabatan ini sebagai respon agar pengalaman Orla dan Orba tak kembali terulang dalam perjalanan sejarah bangsa ini.

"Keduanya terjebak pada jebakan kekuasaan yang ingin terus menerus berkuasa seumur hidup," jelasnya.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Karena Proyek Pemindahan Ibukota?

Oleh karena itu, kata dia, Demokrat berpandangan tak ada urgensi untuk melakukan amandemen UUD ‘45, apalagi jika hanya untuk mengubah batas masa jabatan presiden.

Lagi pula tak ada alasan objektif sebagai pertimbangan strategis yang menjadi capaian prestasi luar biasa pemerintah saat ini, baik itu di bidang ekonomi, politik maupun hukum sebagai dispensasi.

"Biasa saja, malah dibidang politik dan hukum ada beberapa indikator yang mengalami penurunan. Krisis ekonomi dan krisis kesehatan juga belum teratasi. Utang semakin menggunung. Jangan sampai hanya karena proyek pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur yang ingin dipaksakan, wacana tiga periode atau penambahan waktu masa jabatan sampai 2027 ini dipresentasikan," tuturnya.

Kamhar bilang, wacana seperti ini pernah mengemuka pada periode kedua masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun SBY mampu menghindarkan diri dari jebakan kekuasaan ini.

"Kekuasaan itu cenderung menggoda. Karenanya dibutuhkan kearifan dan kebijaksanaan dalam menjalankan dan memposisikan kekuasaan agar terhindar dari jebakan kekuasaan untuk terus menerus melanggengkan kekuasaan dan tanpa batas," pungkasnya.

Reporter: Genan Kasah

Sumber: Merdeka.com

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya