Liputan6.com, Jakarta - Gempa tektonik berkekuatan 7,2 skala richter (SR) melanda Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat pada 25 Oktober 2010, katau tepat 11 tahun silam. Gempa bumi yang memicu gelombang tsunami ini terjadi pada Kamis malam pukul 21.42 WIB.
Pusat gempa berada di 78 kilometer sebelah barat kecamatan Pagai Selatan, Kepulauan Mentawai dengan kedalaman 10 kilometer.
Sesaat setelah guncangan gempa, terjadi tsunami setinggi 3 meter lebih menyapu lebih dari 15 dusun di pantai barat Pulau Pagai Selatan, Pagai Utara, dan Pulau Sipora, Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Advertisement
Baca Juga
Ratusan orang tewas karena tidak sempat menyelamatkan diri. Saat kejadian, mayoritas warga tengah beritirahat dan tidur setelah seharian beraktivitas.
Dalam buku berjudul Tsunami Mentawai yang disusun oleh Pusat Data dan Analisis Tempo, warga yang tinggal di Kota Padang, Kabupaten Solok, Bukittinggi, dan Payakumbuh turut merasakan gempa. Bahkan getaran sampai ke Bengkulu meski skalanya lemah.
Saat gempa terjadi, seorang warga bernama Candra sedang bercengkerama dengan bayinya, Girson Irfraek, di tempat tidur. Sang suami, Kresianus, terlelap di samping mereka. Kala itu, jarum jam menunjuk pukul 21.42.
Namun, bagi Candra, gempa malam itu tak terlalu mengkhawatirkan. Itu sebabnya, ia balik lagi ke rumah, yang jaraknya 50 meter dari tepi pantai, setelah gempa berakhir.
Mereka berniat tidur. Tapi, 10 menit masuk rumah, Candra mendengar suara mirip ledakan dari laut. Menurut Candra, suaminya membuka pintu dan melongok ke arah laut.
Tapi ia tak melihat apa-apa. Malam terlalu gelap dan hujan masih mengguyur. Tapi mereka mulai panik. Kresianus menggendong Girson dan mengajak istrinya kembali ke luar rumah. Mereka berlari menuju jalur evakuasi yang telah dibangun sepanjang dua kilometer ke arah bukit.
Dari laut gemuruh ombak besar terasa semakin dekat. Orang-orang ternyata sudah memadati satu-satunya jalan evakuasi itu. Tapi gelombang tinggi dari kanan Muntei mengejar lebih cepat. Lalu gelombang kedua lebih besar menyapu dari kiri. Dua gelombang itu bertemu, seperti bertepuk menghancurkan kampung.
Kresianus berteriak meminta istrinya jangan berhenti berlari. Candra melihat banyak warga tergulung air laut. Teriakan minta tolong terdengar di mana-mana.
Tak lama setelah itu, gelombang kembali datang, menghantam pasangan ini. Candra terpisah dengan suami dan anaknya. la merasakan sebatang pohon kelapa yang terbawa air menabraknya. Candra jatuh telentang dan terkubur pasir.
Candra masih mengingat, malam itu hujan masih terus mengguyur. Namun gelombang air laut susulan tidak datang lagi. Satu jam kemudian dia ditemukan Rulisman, tetangganya. Bersama warga lainnya, Rulisman mengangkat pohon kelapa yang menindih tubuh Candra.
Malam itu menjadi malam yang panjang bagi warga Muntei. Perempuan dan lelaki sibuk mencari sanak keluarganya. Tak mudah melakukannya pada malam yang gelap-gulita itu. Satu-satunya tanda hanyalah suara rintihan. Orang-orang akan datang ke arah suara lalu memberikan pertolongan.
Candra pun berusaha mencari sang suami dan bayinya. Dia tertegun. Air matanya mengucur deras ketika mendapati sang suami tak lagi bernyawa. Tubuhnya tertimpa puing bangunan yang roboh.
Fenomena Smong Masyarakat Simeulue
Dalam buku, Kearifan Lokal Smong dalam Konteks Pendidikan (Revitalisasi Nilai Sosial-Budaya Simeulue) yang dikarang oleh Mirza Desfandi dipaparkan, bahwa tsunami di Kepulauan Mentawai merenggut 272 orang korban jiwa, 412 hilang dan sekitar 4.000 keluarga tinggal di pengusian.
Berita yang berkembang menyebutkan bahwa besarnya angka kehancuran ini terindikasi disebabkan oleh tidak bekerjanya alat sistem peringatan dini tsunami.
Buoy atau pelampung yang terpasang di lepas pantai untuk mendeteksi dan menkonfirmasi data kemunculan tsunami tidak berfungsi karena dirusak.
Terlepas dari itu, tidak adanya pemahaman masyarakat tentang tsunami seperti apa yang dimiliki oleh masyarakat Simeulue, Aceh melalui kearifan lokalnya yaitu smong, juga mendukung mengapa kemudian masyarakat tak mampu menyelamatkan diri mereka sesaat setelah terjadinya gempa.
Fenomena smong yang telah menyelamatkan puluhan ribu masyarakat Simeulue seakan menjadi antitesis dari teknologi sistem peringatan dini yang telah dikembangkan.
Smong merupakan kata sandi yang dipahami bersama oleh seluruh penduduk di Pulau Simeulue untuk menggambarkan terjadinya gelombang pasang setelah terjadinya gempa besar.
Mereka bukan hanya memahami kata tersebut saja, tetapi juga mereka memahami tindakan apa yang harus dilakukan apabila peristiwa tersebut terjadi.
Di tengah tidak adanya sistem peringatan dini tsunami yang memadai, budaya smong yang merupakan salah satu bentuk kearifan lokal (local wisdom) masyarakat Kabupaten Simeulue telah mengambil alih fungsi teknologi Tsunami Early Warning System (TEWS) yang sangat mahal dan perlu kemampuan tinggi untuk menggunakannya.
Dan terbukti pula budaya ini telah menyelamatkan masyarakat Kabupaten Simeulue dari bencana yang lebih besar.
Advertisement