Menyeimbangkan Bisnis dan Jurnalisme, Urgensi Inovasi Menghadapi Era Disrupsi Digital

Era pandemi membuat hampir semua sektor bisnis terdampak, tidak terkecuali media. Eddy Prastyo, Manajer Produksi Radio Suara Surabaya yang menjadi pembicara kedua mengatakan pada 2020 revenue bisnis medianya anjlok.

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 08 Feb 2022, 18:43 WIB
Diterbitkan 08 Feb 2022, 18:43 WIB
sesi kedua diskusi
Sejumlah Tokoh media dihadirkan dalam sesi kedua diskusi Konvensi Nasional Media Massa yang mengambil tema Menyeimbangkan Orientasi Bisnis dan Orientasi Jurnalistik, Pengalaman Nyata Media Massa. (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta Dewan Pers menggelar Diskusi Konvensi Nasional Media Massa yang mengambil tema 'Menyeimbangkan Orientasi Bisnis dan Orientasi Jurnalistik, Pengalaman Nyata Media Massa'. 

Dalam sesi kedua diskusi, Ketua Dewan Pers Muhammad Nuh membuka dialog dengan mengatakan bahwa pemikiran futurstik dan realistik diperlukan untuk menjawab tantangan soal keseimbangan tersebut.

"Menghadapi hal itu perlu kerjasama, kita semua tidak mungkin hanya ditangani satu orang saja dan salah satu topik mengemuka adalah publisher right, bagian dari menyeimbangkan dimensi bisnis dan jurnalistik ini," kata Nuh seperti dikutip dari siaran daring Channel Youtube Dewan Pers, Selasa (8/2/2022).

Sebagai keynote speaker, Menteri Komunikasi Johny Plate mengatakan sektor konsumsi media terjadi pergesaran yang dinikmati masyarakat dalam satu dekade terakhir (2011-2021). Terlebih, konsumsi media konvensional mengalami trend menurun.

"Itu terlihat dari konsumsi media cetak yang turun 50%, TV 24%, radio 19%. Namun di sisi lain, media berbasis desktop mengalami penongkatan konsumsi sebesar 25% dan bahkan media berbasis selular lebih dari 460%," urai Johny terkait data yang dimiliki.

Dengan data itu, jurnalisme menyampaikan kebutuhan invovasi yang tidak pernah lebih tinggi dari sebelumnya. Artinya, 86% pihak eksekutif percaya untuk bersaing di dunia digital butuh strategi yang memposisikan pelanggan sebagai mitra.

Era pandemi membuat hampir semua sektor bisnis terdampak, tidak terkecuali media. Eddy Prastyo, Manajer Produksi Radio Suara Surabaya yang menjadi pembicara kedua mengatakan pada 2020 revenue bisnis medianya anjlok.

"Pada sisi bisnis dan kami berpikir apa yang harus dilakukan? untuk bisnis medianya agar berikutnya Suara Surabaya ini lebih relevan," tutur dia.

Tak Sekedar Orientasi Bisnis

Eddy pun mengaku berupaya untuk membuat one stop service sebagai fitur medianya. Caranya, tidak hanya berpikir soal publishing tools tapi juga mengembangkan sosial/market research, manajemen krisis dan reputasi.

Diskusi kemudian dilanjutkan oleh Roberto Purba selaku CEO Ayo Media Network. Menyampaikan secara singkat, pada orientasi binsis dan jurnalistik medianya mencoba membantu sesama dengan spesial kontennya yang bernama ayonyumbang.

"Jadi kami bukan hanya memberi informasi yang baik, namun juga dalam rubrik kami ayonyumbang akan ada yang didonasikan kepada yang membutuhkan. Semakin banyak pembaca maka semakin banyak dana tersalurkan. Tujuan kami membangun ekosistem, ketika ekosismte sehat bisnis juga menjadi sehat dan ujungnya memperbesarkan kue yang kami kembangkan," beber Roberto.

 

Bersiap Hadapai Disrupsi Era Digital

Ilustrasi Sosial Media
Ilustrasi sosial media. (dok. Austin Distel/Unsplash/Adhita Diansyavira)

Terakhir, diskusi tema ini dibungkus oleh Dahlan Dahi selaku CEO Tribun Network. Dia bercerita, selama 20 tahun pengalamannya membangun Tribun kini telah muncul disrupsi yang tidak bisa membuatnya sebagai pemain tunggal.

"Kita sebagai publisher bukan pemain tunggal, ada yang kita kenal hari ini dengan sebagai influencer. Tapi kita sama-sama punya DNA yaitu konten," kata Dahlan dalam kesempatan yang sama.

Disrupsi semacam itu nantinya akan dirasakan tidak hanya untuk Tribun sebagau surat kabar tapi juga akan kepad TV karena saat ini alternatif dalam mengonsumsi video menjadi lebih banyak melalui platform digital.

"Lima tahun lalu, tribun masih menikmati pertumbuhan 500%, 600%, bahkan 1000%.  Dan itu normal, hari ini pertumbuhan yang kita nikmati 10 - 15 % dan kita tengah menyiapkan diri menerima kenyataan tumbuh di bawah 10%," kata Dahlan mengacu pada disrupsi digital.

Dahlan percaya, tidak ada jurnalisme yang baik tanpa bisnis yang baik. Berbicara bisnis sebagai wartawan bukan karena bisnis itu punya uang, tapi karena hanya dengan bisnis yang sehat baru lahir wartawan yang profesional.

Namun bagaimana pun, dia ingin antara bisnis dan jurnalisme memiliki tujuan atas keberadaan keduanya.

"Bisnis media mulai kehilangan kontrol, kurva stagnan dan turun dan kita berebut kue hanya 24% apa sudah selesai? ternyata belum, disrupsinya belum selesai tapi pada akhirnya kita di media mesti punya tujuan, alasan keberadaan yang kita gunakan untuk melayani jurnalisme yang baik," dia menutup.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya