Liputan6.com, Jakarta - Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Eko Budi Lelono mengatakan Gunung Anak Krakatau memiliki karakteristik yang identik dengan Gunung Hunga Tonga yang letusannya memicu tsunami di Tonga dan membanjiri ibu kota Nuku'alofa di Samudera Pasifik.
"Memang secara karakteristik kedua gunung api ini identik," kata Eko dalam konferensi pers, Rabu (9/2/2022).
Meskipun memiliki karakterisik yang identik, kata Eko, kecil kemungkinan Gunung Anak Krakatau bisa memicu tsunami. Sebab volume intrusi magma di Gunung Anak Krakatau saat ini belum besar. Ini terindikasi dari rekaman seismik, deformasi, dan juga dari gas SO2-nya.
Advertisement
Kedua, secara historis longsoran Gunung Anak Krakatau terjadi ketika ketinggian puncaknya melebihi 300 meter di atas permukaan air laut. Sementara saat ini, ketinggian Gunung Anak Krakatau kurang dari 100 meter.
"Kecil kemungkinan bisa menimbulkan hal yang sama dengan yang terjadi di Tonga," ujarnya.
Â
Eko Budi Lelono mengatakan sedang melakukan mengevaluasi kondisi Gunung Anak Krakatau. Untuk sementara, status Gunung Anak Krakatau belum perlu dinaikkan menjadi level III atau siaga.
"Saat ini kami mengevaluasi memang belum perlu ada kenaikan status. Ini tim masih melakukan evaluasi data secara menyeluruh untuk mengestimasi potensi ancaman bahaya ke depannya," katanya dalam konferensi pers, Rabu (9/2/2022).
Eko memastikan pemantauan terhadap kondisi Gunung Anak Krakatau terus dilakukan. Berdasarkan pemantauan secara visual dari gunung Pasuruan, Anyar, dan Kalianda, dan CCTV Gunung Anak Krakatau sendiri, terlihat embusan asap dari arah kawah berwarna putih tipis hingga tebal dengan tekanan lemah sampai sedang.
Mulai 3 Februari 2022, teramati embusan asap terus menerus yang berwarna kelabu di Gunung Anak Krakatau. Sementara pada 4 sampai 6 Februari 2022, teramati aktivitas letusan dengan kolom asap berwarna kelabu. Ketinggian berkisar antara 800 hingga 2.000 meter di atas puncak.
Eko menjelaskan, dari data pemantauan sejak Desember 2021, terpantau gempa-gempa vulkanik di Gunung Anak Krakatau. Ini menunjukkan terjadinya suplai magma dari bawah permukaan.
"Jadi kondisi ini mengindikasikan terjadinya over pressure pada gunung Gunung Anak Krakatau yang ini sudah kita deteksi sejak Desember 2021. Volume intrusinya belum besar, ini diindikasikan dari magnitudo gempanya dan pemantauan deformasi," paparnya.
Peningkatan Kegempaan
Peningkatan kegempaan di Gunung Anak Krakatau terpantau sejak 22 hingga 21 Januari 2022. Gempa yang terjadi didominasi frekuensi rendah.
"Ini menunjukkan gempa-gempa dangkal, sedangkan kegempaan ini sempat menurun selama dua hari ini dan pada 3 Februari muncul getaran tremor menerus yang diikuti aktivitas hembusan menerus," ucapnya.
Sementara berdasarkan pemantauan dari citra satelit, Gunung Anak Krakatau mengalami aktivitas magmatik yang ditandai dengan terdeteksinya gas SO2. Namun anomaly termal belum teramati satelit, artinya aktivitas yang terjadi didominasi oleh eksplosif atau lontaran material vulkanik daripada aliran lava.
"Selanjutnya, data deformasi dari satelit belum mengindikasikan adanya perubahan yang signifikan. Data di lapangan menunjukkan ada deformasi permukaan dari Gunung Anak Krakatau, namun belum menunjukkan hal yang signifikan," tutupnya.
Reporter: Supriatin/Merdeka
Advertisement