Komnas Perempuan Minta Pemerintah-DPR Pastikan Pemerkosaan dan Aborsi Diatur di RKUHP

Komnas Perempuan menyambut baik meminta agar DPR dan pemerintah memastikan aturan soal pemerkosaan dan pemaksaan aborsi diatur dalam KUHP.

oleh Lizsa Egeham diperbarui 12 Apr 2022, 16:49 WIB
Diterbitkan 12 Apr 2022, 16:49 WIB
FOTO: Hari Perempuan Internasional, Massa Tuntut Pengesahan RUU TPKS
Sejumlah massa aksi yang tergabung dalam berbagai elemen masyarakat menggelar aksi di Patung Kuda, Jakarta, Selasa (8/3/2022). Aksi ini untuk memperingati Hari Perempuan Internasional serta menuntut pengesahan RUU TPKS yang partisipatif dalam pembahasan dan pro korban. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Komnas Perempuan menyambut baik meminta agar DPR dan pemerintah memastikan aturan soal pemerkosaan dan pemaksaan aborsi diatur dalam KUHP. Pasalnya, pemerkosaan dan aborsi saat ini belum diatur secara rinci dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

"Komnas Perempuan merekomendasikan agar DPR RI dan Pemerintah kedepannya memastikan aturan pengaturan perkosaan dan pemaksaan aborsi yang komprehensif dalam RKUHP," kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dikutip dari siaran persnya, Selasa (12/4/2022).

"Beserta pasal jembatan yang akan memungkinkan korban perkosaan dan pemaksaan aborsi dapat mengakses hak-hak selama penanganan kasus dan pemulihan sebagaimana dimuat dalam UU TPKS," sambungnya.

Menurut dia, Komnas Perempuan akan terus mendukung upaya implementasi UU TPKS dalam mendorong perumusan peraturan turunan. Andy pun mengajak semua pihak mengawal pelaksanaan UU TPKS.

"Kita semua perlu mengawal pelaksanaan UU TPKS sehingga dapat mencapai tujuan pembentukannya, dan juga memastikan perubahan hukum dan kebijakan lain yang relevan dapat segera mengikuti, termasuk RKUHP," ujarnya.

Adapun UU TPKS memuat terobosan hukum yaitu dengan mengatur tindak pidana kekerasan seksual, pemidanaan (sanksi dan tindakan), hukum acara khusus yang hambatan keadilan bagi korban, pelaporan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan, termasuk pemastian restitusi dan dana bantuan korban.

Kemudian, penjabaran dan kepastian pemenuhan hak korban atas penanganan, perlindungan dan pemulihan melalui kerangka layanan terpadu; dengan memperhatikan kerentanan khusus termasuk dan tidak terbatas pada orang dengan disabilitas.

Lalu, pencegahan, peran serta masyarakat dan keluarga. Terakhir, pemantauan yang dilakukan oleh Menteri, Lembaga Nasional HAM dan masyarakat sipil.

Terkait pengaturan tindak pidana kekerasan seksual, UU TPKS mengatur sembilan tindak pidana kekerasan seksual yang sebelumnya bukan tindak pidana atau baru diatur secara parsial.

Mulai dari, tindak pidana pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, hingga perbudakan seksual dan kekerasan seksual berbasis elektronik.

"Selain pengaturan sembilan tindak pidana tersebut, UU TPKS mengakui tindak pidana kekerasan seksual yang diatur dalam undang-undang lainnya, yang karenanya maka kedepannya hukum acara dan pemenuhan hak korban mengacu pada UU TPKS," tutur Andy.

 

 

Pemerkosaan dan Aborsi Tidak Ada Dalam RUU TPKS

Pemerkosaan tidak masuk dalam Rancangan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Menurut Ketua Panja RUU TPKS, Willy Aditya, alasannya karena pemerkosaan dan aborsi tidak diatur dalam draf RUU TPKS.

Willy menyebut, pemerkosaan sudah diatur dalam undang-undang lain yakni dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

"Kenapa kita tidak masukan pemerkosaan. Satu, karena sudah ada di KUHP. RKUHP itu lebih komplet lagi," ujar Willy pada wartawan, Rabu (6/4/2022).

Meski demikian, menurutnya pemerkosaan masih dicantumkan sebagai salah satu jenis kekerasan seksual lainnya dalam RUU TPKS.

"Memang kita tidak memasukan pemerkosaan dan aborsi. Dari 9 jenis kekerasan seksual yang kita sebutkan di atasnya, pemerkosaan kita sebutkan jenis kekerasan seksual lainnya, itu di bawahnya ada," ujar Willy.

Sementara aborsi, menurut Willy juga sudah diatur dalam undang-undang lain yaitu UU Kesehatan. "Kenapa aborsi tidak kita masukan. Itu ada dalam UU Kesehatan. Jadi, itu sudah cukup," jelas Willy.

Karena alasan itulah, lanjut Willy, Panja memutuskan tidak memasukkan dua jenis kekerasan seksual tersebut. "Kita tidak ingin satu norma hukum diatur dalam dua UU, karena akan terjadi overlapping," ujar Willy.

Disahkannya UU TPKS

DPR RI telah mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dalam rapat paripurna yang dipimpin Ketua DPR Puan Maharani. 

Tak hanya dihadiri anggota Dewan, paripurna kali ini juga dihadiri berbagai komunitas dan aktivis perempuan pendukung RUU TPKS.

Usai mendengar laporan Baleg terkait pembahasan RUU TPKS. Puan menanyatakan kepada seluruh fraksi persetujuan fraksi terkait RUU TPKS.

“Apakah RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dapat disetujui untuk disahkan menjadi Undang-Undang,” tanya Puan, Selasa (12/4/2022).

“Setuju,” jawab peserta sidang disambut tepuk tangan peserta sidang.

Beberapa peserta sidang dari komunitas perempuan nampak meneteskan air mata usai Puan mengetuk palu pengesahan.

Sebelumnya, puan mengatakan, rapat paripurna kali ini akan menjadi tonggak bersejarah salah satu perjuangan masyarakat.

“Rapat paripurna hari ini merupakan momen bersejarah yang ditunggu-tunggu masyarakat. Hari ini RUU TPKS akan disahkan dan menjadi bukti perjuangan bagi korban-korban kekerasan seksual,” kata Puan,

RUU TPKS sendiri sudah diperjuangkan sejak tahun 2016 dan pembahasannya cukup mengalami dinamika, termasuk berbagai penolakan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya