Liputan6.com, Jakarta - Mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, tengah menghadapi masalah hukum serius. Ia ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pencabulan anak di bawah umur dan penyalahgunaan narkoba. Penangkapannya di Kupang pada 20 Februari 2024 oleh Divisi Propam Polri telah memicu proses hukum yang kini memasuki babak baru: sidang etik dan kemungkinan hukuman pidana berat.
Sidang etik akan digelar pada Senin, 17 Maret 2025 di Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Polri. Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo telah menegaskan bahwa AKBP Fajar akan dijerat dengan sanksi tegas, baik dari sisi etik maupun pidana. Proses hukum ini bertujuan untuk memberikan keadilan bagi korban dan memberikan efek jera kepada pelaku, sekaligus mengembalikan kepercayaan publik pada institusi Polri.
Kasus ini telah menimbulkan kemarahan publik, termasuk dari anggota DPR RI Selly Andriany Gantina. Selly mendesak agar AKBP Fajar dihukum maksimal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Ia menekankan bahwa AKBP Fajar, sebagai seorang pejabat publik, seharusnya menjadi contoh teladan, bukan malah menjadi pelaku kejahatan.
Advertisement
Sidang Etik dan Ancaman Hukuman Berat
Sidang etik yang akan digelar pekan depan akan menentukan sanksi disiplin yang akan dijatuhkan kepada AKBP Fajar. Sanksi ini bisa berupa penundaan kenaikan pangkat, penurunan pangkat, hingga Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) dari kepolisian. Proses sidang etik akan melibatkan sejumlah saksi dan bukti untuk memastikan keadilan dan transparansi.
Selain sidang etik, AKBP Fajar juga akan menghadapi proses peradilan pidana. Dugaan pencabulan anak di bawah umur dapat dikenakan pasal berlapis dengan ancaman hukuman yang sangat berat. Sementara itu, dugaan penyalahgunaan narkoba juga akan diproses secara hukum sesuai dengan Undang-Undang Narkotika. Ancaman hukuman pidana untuk kedua kasus ini dapat mencapai puluhan tahun penjara.
Proses peradilan pidana akan melibatkan penyidikan, penuntutan, dan persidangan di pengadilan. AKBP Fajar berhak atas pembelaan hukum dan akan menghadapi proses hukum yang adil dan transparan. Namun, mengingat beratnya tuduhan yang dihadapinya, kemungkinan besar ia akan menerima hukuman penjara yang cukup lama.
Anggota DPR RI Selly Andriany Gantina secara spesifik menyebutkan pasal 13 UU TPKS yang dapat dikenakan kepada AKBP Fajar, dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp5 miliar. Karena statusnya sebagai pejabat publik, hukumannya bahkan bisa diperberat sepertiga atau ditambah 5 tahun lagi. Ditambah lagi ancaman hukuman dari pasal-pasal yang berkaitan dengan penyalahgunaan narkoba, total ancaman hukuman terhadap AKBP Fajar bisa mencapai lebih dari 20 tahun penjara.
Advertisement
Implikasi Hukum dan Dampaknya
Kasus ini memiliki implikasi hukum yang luas, tidak hanya bagi AKBP Fajar, tetapi juga bagi institusi Polri. Polri berkomitmen untuk menindak tegas setiap anggotanya yang melakukan pelanggaran hukum, tanpa pandang bulu. Langkah tegas ini bertujuan untuk mengembalikan kepercayaan publik dan menjaga integritas institusi.
Penunjukan AKBP Andrey sebagai Kapolres Ngada baru diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat di wilayah tersebut. Kepercayaan publik merupakan aset berharga bagi keberhasilan tugas kepolisian dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Proses hukum terhadap AKBP Fajar akan terus dipantau untuk memastikan keadilan ditegakkan.
