Liputan6.com, Jakarta - Rencana pembentukan Satgas Nusantara oleh Polri untuk mencegah polarisasi pada Pemilu 2024, mendapat tanggapan pro dan kontra. Satgas itu dinilai tidak perlu lantaran momen pesta demokrasi tersebut memang wajar terjadinya polarisasi.
Menurut Peneliti Madya Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Sarah Nuraini Siregar, momen-momen pemilu sangat wajar terjadinya polarisasi. Dalam kontestasi politik ini, akan muncul pro dan kotra dan kelompok yang beda dukungan.
"Saya lihat dari konteks dibentuknya Satgas Nusantara ini, baru pertama kali dalam pemilu kita sejak era reformasi," ujar dia kepada Liputan6.com, Senin (20/6/2022).
Advertisement
Kandidat Doktor Ilmu Politik UI ini berpandangan, isu tentang polarisasi menjadi stigma yang tidak baik pada penyelenggaraan Pemilu 2024. Padahal aksi dukung mendukung dan pro kontra dalam pesta demokrasi adalah hal yang lumrah terjadi.
Baca Juga
"Kesannya pemilu kita itu seakan akan berujung pada suatu yang mengerikan dan menakutkan. Dan penekanannya adalah apakah polarisasi dalam kontestasi pemilu itu ujungnya akan selalu gangguan keamanan, konflik yang berdarah-darah atau pecah? Kan belum tentu juga," ujarnya.
Ia menyadari pengalaman Pemilu 2019 lalu memang membuat Polri mengambil langkah preventif dalam menanganinya. Namun kala itu potensi gangguan keamanan yang paling diantisipasi adalah tersebarnya berita hoaks secara masif.
"Kenapa itu menjadi concern polisi, karena tingkat penyebarannya sangat masif. Bisa melalui media sosial. Kalau seperti itu, silakan saja polisi bertugas mengantisipasi hoaks. Itu bagian dari tugas dan tanggung jawab kepolisian," ujarnya.
Namun dalam perangkat kerjanya, polisi juga memiliki SDM khusus yang menangani persoalan itu. Karena itu, dia menegaskan tak ada urgensinya pembentukan Satgas Nusantara tersebut.
"Seingat saya di 2019 itu mereka punya mekanisme cyber patrol, kenapa tidak memberdayakan saja. Saya kurang paham juga apa urgensi dari dibentuknya satgas Nusantara," terang dia.
Satgas Nusantara ini, lanjutnya, terkesan di-branding sedemikian rupa. Padahal, harusnya persoalan ini diselesaikan pada hulunya, yaitu Presidential Threshold 20 persen yang melahirkan dua kubu berhadapan secara langsung.
"Kalau kita mau fair, polarisasi itu terjadi karena persaingan dua capres secara head to head. Nah pada 2024, kita belum mengetahui kontestasi antarcapresnya seperti apa," jelas Sarah.
"Konteks-konteks seperti itu harus dipertimbangkan juga oleh polisi. Jangan langsung melihat 2024 brandingnya adalah polarisasi karena 2019 pernah terjadi seperti itu, ya nggak juga," dia mengimbuhkan.
Sebaiknya polisi mengkampanyekan kepada masyarakat tentang pemilu sehat dan aman. Sehingga pemilu 2024 bisa berjalan sesuai harapan.
"Kita ingin berada positif area, yang harus ditanamkan kepada kita semua adalah bahwa pemilu adalah pesta demokrasi, yang dinantikan masyarakat yang punya hak suara. Itu harusnya diedukasi bukan persoalan polarisasi, bentrokan, gangguan keamanan," jelasnya.
Dalam tugasnya, Polri harus tetap berada dalam area yang mencakup tiga hal. Yaitu sebagai penegak hukum, penjaga keamanan di dalam negeri, dan pelayanan masyarakat.
"Polisi punya tanggung jawab mencegah terjadinya potensi itu. Tapi jangan lupa, polisi kan punya intelijen, Binmas. Saya juga bingung, Satgas Nusantara itu di dalamnya siapa saja, intelijen kah, anggota Binmas kah. Lalu buat apa ada Satgas Nusantara," terang Sarah.
Ia pun mengkritisi tugas Satgas Nusantara Pemilu 2024 terkait dengan sosialisasi dan literasi pemilu. Menurutnya, dua hal tersebut bukanlah menjadi ranah dari kepolisian. "Ini memang tugas pokoknya polisi?" tanya Sarah.
Meski demikian, ia tetap mendukung tugas kepolisian secara umum. Yaitu tentang penegakan hukum di dalam negeri.
"Ini juga bisa berarti macam-macam, juga punya fungsi preventif. untuk mencegah itu polisi bisa mengoptimalkan intelijennya. Jadi konteks Satgas Nusantara ini menurut saya sampai detik ini belum melihat urgensinya, kenapa harus ada branding itu. Sementara di dalam kesatuan polisi sudah ada tugas-tugas melekat itu. Di luar tugas sosialisasi serta meningkatkan literasi, buat saya ini bukan tugas pokok polisi," jelas Sarah.
Karena itu, ia berharap semua stakeholder penyelenggaraan Pemilu terus memberikan edukasi kepada masyarakat. Agar dalam Pemilu 2024, dapat melahirkan pemilih yang cerdas dan jauh dari kejadian yang tidak diinginkan
"Dalam edukasi, ada peran parpol sebagai peserta pemilu, tim kampanye, terutama KPU punya tanggung jawab, tidak hanya pemilu lancar, tapi juga mendorong masyarakat melakukan edukasi yang mencerdaskan pemilih," ujar dia.
Sementara itu Peneliti ahli utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro menilai situasi politik sekarang jauh lebih cair dan terbuka sehingga isu dikotomis seperti radikal, non-radikal, dan semacamnya tak bakal lagi laku pada Pemilu 2024. Karenanya, hal-hal seperti itu tidak perlu dilakukan pada Pilpres 2024.
"Mereka (para elite politik) sudah sadar sampai keluar bahasa bahwa dirinya tidak mau didikte lembaga survei. Dibanding pemilu sebelumnya, nuansa membangun koalisi lebih kelihatan meskipun belum terlihat di PDIP," ujar dia kepada Liputan6.com, Senin (20/6/2022).
Polarisasi pada Pemilu 2024, menurut dia, sudah surut. Karena yang menyebabkan pasang tersebut tidak muncul. Partai melalui elite tokohnya sudah menyadari bahwa Indonesia butuh dikelola secara benar.
"Mereka melihat kompetisinya akan setara. Lebih cair maksud saya itu berusaha lakukan komunikasi, sinergi itu jauh lebih bagus ketimbang 2019 yang gerombol," kata dia.
Isu polarisasi yang muncul pada 2019 lalu, menurutnya, muncul seiring adanya calon yang bisa 'digoreng' ke dalam persoalan SARA. Karena memang kala itu, tidak ada yang dijual.
"Isu (SARA) itu muncul seiring memang ada calon yang bisa ditarik untuk menjual isu sara," katanya.
Semetara itu Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai, langkah Polri membentuk Satgas Nusantara tidak masalah. Sepanjang yang dilakukan masuk dalam kerangka tugas fungsi pokok Polri.
Fickar membeberkan tiga tugas Polri yang harus dipegang dengan tidak keluar dari kualifikasinya. Yaitu sebagai penegak hukum, penjaga keamanan dalam negeri, dan pelayan masyarakat.
"Sepanjang tiga itu masuk kualifikasi, itu tidak masalah. Memang itu tugasnya," kata dia.
Namun demikian, dia menilai Polri tak perlu membuat Satgas Nusantara Pemilu 2024. Karena memang tugas Polri adalah menjadi penegak hukum.
"Tugas Polri adalah menjadi penegak hukum di bidang pelanggaran Pemilu. Umpamanya ada pemalsuan surat suara, kampanye tidak pada waktunya, money politic, itu urusan polisi," ucap dia.
Juga pemberantasan hoaks dan ujaran kebencian. Dia menilai, jika polisi menemukan unsur pidananya, harus diproses secara hukum. "Hoaks dan ujaran kebencian bisa diproses," ujar Fickar.
Namun demikian, dia menilai Polri sebaiknya tidak perlu membentuk satgas. Karena pengamanan Pemilu memang bagian dari tugas kepolisian.
"Ya sebenarnya, polisi tidak usah buat satgas macam macam, karena memang itu sudah tugasnya (pengamanan)," tegas dia.
Polri Bisa Jadi Faktor Pemicu Konflik
Pandangan berbeda diutarakan Ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta NS Muzakir. Dia berpandangan Pemilu merupakan bagian dari kepolisian, termasuk organisasasinya yang melekat sebagai penyelenggara pemilu di bawah menajemen KPU.
"Jadi tidak perlu dibentuk Satgas Nusantara lagi yang dapat membengkakkan anggaran dan dapat merusak hak WNI untuk berdemokrasi melalui pemilu serentak perwakilan rakyat kepala daerah dan presiden lima tahun sekali," ujar dia kepada Liputan6.com, Senin (20/6/2022).
Muzakir menilai, alasan Polri membentuk satga Nusantara untuk mencegah polarisasi tidak tepat. Karena ajang pemilu dari dulu memang tidak lepas dari adanya polarisasi.
"Pemilu di bawah bayang-bayang Satgas Nusantara dalam rangka cegah polarisasi menjadi tidak perlu, karena pemilu sendiri memang diikuti partai politik dan calon kepala daerah dan calon presiden, bukan kah itu membentuk polarisasi?" jelas Mudzakir
Dalam implementasinya, dia melanjutkan, Polri bertugas untuk menjamin rasa aman pemilih dalam menggunakan hak pilih. Itu adalah tugas utama.
"Maka itu Polri wajib netral dalam pemilu dan jika terbukti tidak netral bisa diberhentikan tidak dengan hormat. Faktor polisi dan tentara yang tidak netral biasanya menjadi faktor pemicu konflik, maka zaman Pak Harto, polisi dan tentara bisa netral karena sudah diberi jatah perwakilan di DPR dan DPRD," ujar dia.
Dalam pendekatan aturan, Polri harus melakukannya secara persuasif, baik jelang pemilu dan saat pemilu. Karena acapkali proses pidana terjadi tidak relevan.
"Saling memperlemah potensi lawan secara objektif tidak menjadi masalah karena pemilu itu kompetitif. Kalau calon yang suka fitnah akan ditinggal pemilih karena pemilih sudah semakin cerdas," kata Mudzakir.
Menurut dia, yang tak kalah penting dalam Pemilu adalah terkait dengan penghitungan cepat oleh lembaga survei yang acap kali membuat angka fiktif, sesat dan menyesatkan. Sehingga calon terpilih dimenangkan oleh lembaga survei yang mempengaruhi suara pada perhitungan pemilu.
"Sebaiknya lembaga survei yang hasil survei selisih terlalu banyak sebaiknya dilikuidasi atau dibubarkan dan orangnya tidakboleh buat survei dalam waktu tertentu. Dan survei yang buat angka tdk akurat dan fiktif memenangkan seorang calon dengan membangun opini publik, sebaiknya dipidanakan, karena melanggar pilar utama pemilu yang luber dan jurdil," dia menandaskan.
Sementara itu Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mempertanyakan dari maksud dan tujuan satgas nusantara tersebut. Karena pada intinya, bahwa sudah jadi tugas kepolisian untuk turut aktif mengamankan proses pemilu 2024.
"Karena 2024 kita tahu ada potensi kompleksitas pemilu, tahapan pemilu. Memang menjadi tugas bersama kementerian, lembaga, kepolisian untuk mensukseskan pemilu 2024. Pertama satgas Nusantara ini mau dimaksudnya seperti apa. Karena memang sudah jadi tugas polisi menjalankan penyelenggaran pemilu," kata dia kepada Liputan6.com, Senin (20/6/2022).
Khoirunnisa membeberkan tantangan tahapan 2024 pemilu dan pilkada. Dia menilai ada potensi irisan tahapan antara pemilu dan pilkada menambah kompleksitas pemilu lalu misalnya potensi masalah lainnya disinformasi, penyebaran berita hoaks yang 2019 sudah cukup masif.
"2024 bisa jadi terulang kembali. Itu salah satu tantangannya termasuk juga potensi konflik di daerah. Biasanya kalau pemilu ada potensi konflik di daerah yang punya tingkat kerawanan, saya rasa bawaslu punya datanya. Indeks kerawanan pemilu," ujar dia.
"Itu yang perlu diantisipasi daerah-daerah yang selama ini tiap kali pemilu ramai, apalagi pilkada itu menjadi salah satu antisipasinya," Khoirunnisa menambahkan.
Dia mengungkapkan, agar polarisasi tidak terjadi pada pemilu 2024. Menurutnya, salah satu penyebab polarisasi dipengaruhi media sosial dengan kampanye di media sosial.
"Kita belum punya regulasi yang menyasar pada permasalahannya. Jadi kalau di medsos pendekatanya membatasi jumlah akun yang didaftarkan tapi padahal masalahnya bukan pada jumlah akun, tapi pada kontennya. Nah memang kita belum punya regulasinya dari segi undang undang juga belum ada," ujar dia.
Karena itu, hal tersebut memang tidak bisa diserahkan kepada KPU. Metode seperti cek fakta dan peran yang sehat dari media sosial harus digalakkan.
"Jadi kolarborasi itu menurut saya harus dilakukan juga buka dialog, karena terkadang ini dimanfaatkan peserta pemilu untuk dapat suara sebanyak-banyaknya pakai itu. Politik identitas misalnya itu disebarkan di medsos," ujarnya.
"Harus ada pengawasan di medsos antisipasi terjadi polarisasi. Pengawasan ditingkatkan. Perlu ada metode yang progresif ya memang tidak diatur di UU. Misalnya Bawaslu metodenya seperti apa di media sosial," dia menandaskan.
Advertisement
Pengawas Utama Pemilu Bawaslu, Bukan Aparat
Sementara itu Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS Nasir Djamil menyatakan, pembentukan satgas Nusantara itu adalah langkah tepat. Karena menurutnya, potensi gangguan keaman bisa terjadi pada pesta demokrasi tersebut.
“Keren itu. Polisi itu penjaga keamanan dan ketertiban di tengah masyarakat (karena) Pesta politik lima tahunan berpotensi terjadinya keributan dan gangguan keamanan,” kata Nasir saat dikonfirmasi, Senin (20/6/2022).
Nasir menyebut adanya Satgas bisa menjaga jalannya Pemilu menjadi aman dan lancar.
“Karena itu satgas tersebut diharapkan bisa memastikan bahwa penyelenggara pemilu, baik legislatif dan eksekutif berjalan jujur dan adil sehingga menghasilkan pemerintahan yang demokratis,” katanya.
Terkait adanya ketakutan Satgas akan menjadi bekerja tanpa batasan, Nasir menyebut hal itu tidak akan terjadi mengingat pengawas utama pemilu adalah Bawaslu bukan aparat.
“Kan ada Bawaslu yang menjadi pemain utama mengawasi jalannya pemilu. Polisi dengan satgasnya tentu menjadi supporting system agar warga yang memiliki hak pilihnya bisa menggunakannya di TPS tanpa ketakutan dan kendala yang bisa membuat haknya terhalang atau tidak bisa digunakan. Sebelum ini juga ada Gakkum pemilu yang melibatkan polisi dan jaksa,” pungkas dia.
Polri sebelumnya menegaskan, polarisasi akibat politik identitas saat pesta demokrasi tidak boleh terulang lagi. Karena itu, Polri membentuk Satuan Tugas (Satgas) Nusantara untuk mencegah hal tersebut terulang pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Kadiv Humas) Polri Irjen Dedi Prasetyo menjelaskan, Satgas Nusantara dibentuk untuk menghalau pelbagai ancaman yang mengganggu jalannya Pemilu 2024.
“Berangkat dari pengalaman Pemilu 2019, tentunya kita tidak bisa menghindari polarisasi, politik identitas, hoaks, ujaran kebencian, itu tidak bisa kita hindari. Oleh karena itu Polri sudah menyiapkan Satgas Nusantara,” kata Dedi di Mabes Polri Jakarta, Minggu (19/6/2022).
Dedi menjelaskan, tugas dari Satgas Nusantara adalah cooling system. Artinya, mereka akan memberikan pemahaman melalui sosialisasi dan peringatan terhadap masyarakat yang terindikasi melakukan polarisasi.
“Satgas kemudian berkolaborasi juga melakukan kegiatan literasi, sosialisasi, dan pengingat apabila ada masyarakat atau kelompok tertentu yang menyebarkan, memviralkan konten-konten yang bersifat polarisasi, politik identitas, hoaks, akan kita ingatkan,” ungkap Dedi.
Dedi menjelaskan, jika mereka yang sudah diingatkan masih membandel dan kembali mengulangi perbuatan senada, maka Polri akan memberikan peringatan kedua sebelum dilakukan upaya penegakan hukum.
“Penegakan hukum harus dilakukan. agar tidak terjadi lagi kegiatan seperti itu. Pak Kapolri selalu mengingatkan mari kita menjaga persatuan dan kesatuan, merawat Kebhinekaan dalam bingkai NKRI,” ucap mantan Kapolda Kalimantan Tengah ini menjelaskan.
Sebagai informasi, Dedi memastikan Satgas Nusantara akan diberlakukan ketika Pemilu 2024 sudah mulai berjalan. Polri akan senantiasa menyampaikan kepada seluruh jajaran untuk memberlakukan Operasi Mantap Brata.
“Jadi kapannya, ini masih kita godok terus, berapa kekuatan, kemudian ancaman apa saja yang dimungkinkan akan terjadi, berapa sarpras (sarana prasarana) yang digunakan, ini semua masih digodok,” urai Dedi.
“Insya Allah dalam waktu dekat akan disampaikan bahwa operasi Mantap Brata di seluruh Indonesia,” ucap Dedi menutup.