Kementerian Pekerjaan Umum mempunyai cara yang dapat menekan harga tiket Mass Rapid Transit (MRT). Transit Oriented Development (TOD) dianggap sebagai salah satu solusi yang bisa membantu untuk meringankan beban tarif.
TOD merupakan pengembangan stasiun MRT dengan mendirikan properti yang menghasilkan laba seperti pembangunan unit usaha, tempat perbelanjaan, ataupun pertokoan.
"TOD itu bisa meringankan beban tarif. Pendapatannya kan lumayan di-compare dengan 1 kompleks, bisa mall atau aktivitas yang lainlah. Dari situ, bisa meringakan beban tarif karena ada pendapatan di sana," kata Wakil Menteri Pekerjaan Umum (PU) Hermanto Dardak di Balaikota, Jakarta, Rabu (20/2/2013).
Ia menuturkan, bila dalam skema pembangunan MRT terdapat beberapa jalur bawah tanah (subway), berarti anggaran yang harus dikeluarkan akan lebih besar bila dibading jalur layang (elevated).
"Kalau itu kan tinggal hitung-hitungannya. Justifikasi itulah yang harus dilihat. Makanya TOD itu menjadi penting, tapi itu pilihan," urai dia.
Ia pun berharap, proyek monorel ini dapat segera dilanjutkan. Kebutuhan masyarakat akan transportasi publik yang aman dan nyaman cukup mendesak. Mobilitas warga juga cukup tinggi, setara dengan kota-kota besar lainnya di dunia.
"Mengacu Tokyo dan Newyork yang sangat besar penduduknya seperti di Jabodetabek. Di Jakarta kepadatan jalannya 6,2%, di sana sekitar 18%. MRT dan angkutan umum di sana juga sangat intensif. Di kita sangat kurang," uap dia.
PT MRT Jakarta mematok harga tiket transportasi massal ini sebesar Rp 8.500 hingga Rp 15 ribu. Tarif tiket bisa mencapai Rp 8.500 jika jumlah penumpang mencapai minimal 174 ribu orang per hari.
"Itu tanpa pendapatan properti (TOD), subsidi yang harus dibayarkan Rp 8,5 triliun untuk 23 tahun atau Rp 371 miliar per tahun. Jika terdapat pengembangan properti, subsidi mencapai Rp 2,6 triliun dalam 10 tahun atau Rp 264 miliar per tahun bahkan bisa tidak subsidi," tutur Dirut MRT Jakarta Tri Budi Raharjo. (Ndy)
TOD merupakan pengembangan stasiun MRT dengan mendirikan properti yang menghasilkan laba seperti pembangunan unit usaha, tempat perbelanjaan, ataupun pertokoan.
"TOD itu bisa meringankan beban tarif. Pendapatannya kan lumayan di-compare dengan 1 kompleks, bisa mall atau aktivitas yang lainlah. Dari situ, bisa meringakan beban tarif karena ada pendapatan di sana," kata Wakil Menteri Pekerjaan Umum (PU) Hermanto Dardak di Balaikota, Jakarta, Rabu (20/2/2013).
Ia menuturkan, bila dalam skema pembangunan MRT terdapat beberapa jalur bawah tanah (subway), berarti anggaran yang harus dikeluarkan akan lebih besar bila dibading jalur layang (elevated).
"Kalau itu kan tinggal hitung-hitungannya. Justifikasi itulah yang harus dilihat. Makanya TOD itu menjadi penting, tapi itu pilihan," urai dia.
Ia pun berharap, proyek monorel ini dapat segera dilanjutkan. Kebutuhan masyarakat akan transportasi publik yang aman dan nyaman cukup mendesak. Mobilitas warga juga cukup tinggi, setara dengan kota-kota besar lainnya di dunia.
"Mengacu Tokyo dan Newyork yang sangat besar penduduknya seperti di Jabodetabek. Di Jakarta kepadatan jalannya 6,2%, di sana sekitar 18%. MRT dan angkutan umum di sana juga sangat intensif. Di kita sangat kurang," uap dia.
PT MRT Jakarta mematok harga tiket transportasi massal ini sebesar Rp 8.500 hingga Rp 15 ribu. Tarif tiket bisa mencapai Rp 8.500 jika jumlah penumpang mencapai minimal 174 ribu orang per hari.
"Itu tanpa pendapatan properti (TOD), subsidi yang harus dibayarkan Rp 8,5 triliun untuk 23 tahun atau Rp 371 miliar per tahun. Jika terdapat pengembangan properti, subsidi mencapai Rp 2,6 triliun dalam 10 tahun atau Rp 264 miliar per tahun bahkan bisa tidak subsidi," tutur Dirut MRT Jakarta Tri Budi Raharjo. (Ndy)