Analis Politik Cermati Sistem Pemilu Tertutup Bisa Berdampak ke Elektabilitas Capres

Arifki Chaniago berpendapat, merubah sistem Pemilu yang saat ini sedang tidak hanya berdampak ke para calon anggota legislatif (Caleg) tetapi juga elektabilitas calon presiden (Capres).

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 06 Jun 2023, 10:41 WIB
Diterbitkan 06 Jun 2023, 10:41 WIB
Ilustrasi Gedung KPU
Ilustrasi Gedung KPU (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Keputusan sistem pemilu yang tengah diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) menuai polemik. Hal itu dipicu dari pernyataan Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana yang mengaku sudah mengetahui, MK akan memutuskan sistem pemilu kembali menjadi tertutup. 

Mencermati hal itu, Analis Politik dan Direktur Eksekutif Aljabar Strategic, Arifki Chaniago berpendapat, merubah sistem Pemilu yang saat ini sedang tidak hanya berdampak ke para calon anggota legislatif (Caleg) tetapi juga elektabilitas calon presiden (Capres).

Sebab, para caleg diyakini tidak akan bekerja penuh mengkampanyekan capresnya di masyarakat karena belum tentu diberi tiket partai untuk melanggeng ke Senayan. 

"Mereka akan berpikir dampaknya tidak signifikan saat mengampanyekan capres dari partai, efek ekor jas tidak dirasakan secara langsung, ini bakal memperlemah mesin partai dalam mendukung capres,” kata Arifki dalam keterangan tertulis diterima, Selasa (6/6/2023).

Arifki melanjutkan, kerugian berikutnya dengan sistem tertutup maka juga akan menyebabkan caleg harus kehilangan kepastian dipilih rakyat.

"Karena yang menentukan terpilih atau tidak sebagai legislator bukan rakyat, tetapi lebih kepada keputusan partai politik,” jelas dia.

Celakanya, yakin Arifki, nantinya Caleg malah berebut nomor urut di partai dan bukan hati rakyat atau meningkatkan kedikenalan meraka di tengah masyarakat.

"Pertarungan caleg ditarik dari percakapan rakyat menjadi percakapan elite partai. Dia mengibaratkan, rakyat seperti dipaksa membeli kucing di dalam karung, karena caleg yang dinginkan rakyat nyatanya tidak terpilih dan dikalahkan oleh caleg pilihan partai,” jelas dia.

 

Tak Ada Jaminan Proporsional Tertutup Tutup Keran Korupsi

pemilu-ilustrasi-131024c.jpg
Ilustrasi pemilih surat suara.

Arifki percaya, perdebatan sistem proporsional tertutup atau terbuka tidak bisa diartikan sebagai upaya memperkuat partai politik jika dibandingkan rendahnya kualitas caleg produktif dalam sistem pemilihan terbuka. 

Selain itu, sambung dia, perubahan sistem pemilu yang disinyalir sebagai alasan untuk mengantisipasi politik uang tidak juga ada jaminan sistem tertutup menihilkan hal tersebut. 

"Sistem tertutup tidak menjamin politik uang ada di level elite dalam memperebutkan nomor urut dan penentuan legislator terpilih. Justru keadilan terhadap caleg bakal rendah jika sistem proporsional tertutup dipaksakan begitu saja," yakin dia.

Artinya, jika tidak ada mekanisme penentuan yang benar dalam pembagian nomor urut kepada caleg, maka partai politik yang tidak memiliki “brand party” kuat bakal berhadapan dengan caleg pemalas.

"Hal ini karena lemahnya keterkaitan caleg dengan kelembagaan partai," dia menutup. 

Infografis Heboh Klaim Bocoran Putusan MK Ubah Sistem Pemilu 2024. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Heboh Klaim Bocoran Putusan MK Ubah Sistem Pemilu 2024. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya