Ketut Sumedana: Cita-Cita Saya Sebenarnya Ingin Jadi Guru, Bukan Jadi Jaksa

Dengan posisi yang sekarang, wajah Ketut kerap terlihat di pemberitaan media, baik itu televisi, media online hingga media cetak.

oleh Rinaldo diperbarui 12 Des 2023, 09:37 WIB
Diterbitkan 08 Des 2023, 21:03 WIB
kapus
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Sebagai seorang jaksa, Ketut Sumedana boleh dikatakan sebagai sosok yang lengkap. Sejumlah posisi dan jabatan pernah dia rasakan hingga sekarang mengemban tugas sebagai Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung.

Lahir di Buleleng, Bali, 25 Agustus 1974, Ketut menamatkan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Mataram (lulus 1997) dan di kampus ini pula dia menempuh pendidikan S2.

Kariernya di Kejaksaan dimulai sejak tahun 1998 atau setahun setelah lulus kuliah dengan menjadi staf tata usaha di Kejaksanaan Negeri Praya, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Selanjutnya Ketut mengemban tugas sebagai Kasi Sospol di Kejaksaan NTB, Kasi Penuntutan Kejati NTB, dan Koordinator di Kejati Jawa Timur.

Kariernya terus menanjak di mana Ketut menjadi Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Mataram, Kepala Kejari Bantul (Yogyakarta), Kepala Kejari Gianyar (Bali), hingga Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Bali di tahun 2021.

Tak hanya itu, selama 5 tahun Ketut juga pernah bertugas di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai penyelidik, penyidik, dan penuntut hingga pernah menjadi Kepala Satuan Tugas (Satgas) Penuntutan di KPK.

Selama berkarier, ia menangani banyak kasus besar, seperti penyelewengan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) senilai Rp 100 miliar pada 2003 yang menyeret Aulia Pohan, besan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono.

Ketut juga pernah menangani kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran yang menyeret mantan Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno.

Sejak 31 Desember 2021, suami dari Luh Kadek Sustinigrum ini resmi menjabat sebagai Kapuspenkum Kejagung menggantikan Leonard Ebenezer yang menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Banten.

Dengan posisi yang sekarang, wajah Ketut menjadi kerap terlihat di pemberitaan media, baik itu televisi, media online hingga media cetak. Ada kalanya Ketut tampil seorang diri memberikan keterangan pers, atau mendampingi Jaksa Agung ST Burhanuddin dan para pejabat di lingkungan Kejaksaan RI saat di gelarnya temu pers.

Ketut memang diberi tanggung jawab besar dalam menciptakan, menjaga, mengawal dan merawat marwah Kejaksaan. Sebagai Kepala Pusat Penerangan Hukum, Ketut Sumedana tampil sebagai penyangga atas berbagai serangan kritik dari berbagai personal maupun elemen masyarakat atas kinerja Kejaksaan.

Lantas, apa saja tanggung jawab seorang Kapuspenkum Kejagung dan apa tantangan Kejaksaan di masa depan?

Berikut petikan wawancara Ketut Sumedana dengan Ratu Annisa Suryasumirat dalam program Bincang Liputan6.

Jadi Jaksa karena Dorongan Teman-teman

kapus
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Selain memberikan informasi perkembangan sebuah kasus yang tengah ditangani Kejagung, apalagi nih tugas Bapak sebagai Kapuspenkum Kejagung?

Jadi begini, secara umum ya tugasnya Puspenkum itu adalah mem-branding Kejaksaan, berita-berita positif kita buat menjadi lebih bagus lagi, lebih dipahami oleh masyarakat ya. Dan yang paling penting adalah apa yang dilakukan oleh Kejaksaan cepat sampai ke media dan masyarakat.

Adaptasi itu yang harus kita lakukan di Puspenkum. Dengan melakukan digitalisasi serta komunikasi yang efektif, efisien, cepat, mudah disampaikan ke masyarakat dan kepada media, itu yang paling penting.

Jadi informasi yang kita berikan adalah informasi yang sudah valid, yang sudah terverifikasi dari bidang-bidang yang akan kita up, enggak boleh informasi yang katanya di masa akan datang, apa yang akan harus dilakukan? Itu enggak boleh. Harus semua terverifikasi dengan baik dan valid, faktual, riil.

Apa tantangannya kalau harus cepat-cepat memberikan informasi kepada masyarakat?

Tantangannya adalah informasi yang diberikan kepada kita lambat dari bidang-bidang, sementara sekarang kan zamannya media sosial, zamannya transformasi digital. Nah, informasi yang kita berikan belum tentu sama mindset-nya dengan masyarakat.

Karena apa? Karena informasi yang diterima oleh masyarakat bukan hanya dari kami, bisa juga dari pihak lawan, dari juga pihak-pihak luar ya. Tantangan yang paling signifikan yang dihadapi oleh para juru bicara kayak saya ada empat.

Pertama, kita harus berhadapan dengan media sosial yang begitu masif, yang tidak terkendali. Kedua, kita berhadapan dengan para buzzer yang kerjanya menyerang kita terus, tentu para buzzer ini yang berhadapan dengan kita.

Yang ketiga, kita berhadapan dengan influencer. Ini kerjanya cari keuntungan terus, termasuk juga berhadapan dengan kita. Nah yang keempat, berhadapan dengan netizen, ini bisa menguntungkan kita atau bisa juga yang kerjanya nyinyirin terus sama kita.

Nah, ini kan tidak bisa kita kendalikan, enggak bisa kita lakukan penataan orang-orang yang komponen empat tadi itu. Sehingga inilah tantangan kita, bagaimana kita selalu eksis, selalu diterima, dan real time yang kita berikan sama mereka.

Kemudian bagaimana memberitahu kepada bidang-bidang tersebut untuk segera memberikan informasi, jangan sampai keduluan yang lain?

Kita sudah membuat Instruksi Jaksa Agung ya. Ada yang mengkoordinir satu sama lain terkait dengan informasi yang diberikan oleh masing-masing bidang. Misalnya JAM Datun ya, KTU-nya harus memberikan informasi sama kita paling minimal satu minggu sekali.

Dan misalnya JAM Pidum atau JAM Pidsus, dia harus juga memberikan informasi real time, apalagi di Pidsus banyak pemeriksaan setiap hari, itu enggak boleh kita lewatkan sampai misalnya oh besok pagi, enggak boleh.

Nanti kalau informasi diberikan besok pagi jadi basi, bahkan lebih dulu wartawan yang lebih tahu dengan informasi itu, enggak boleh. Harus kita yang pertama, tangan pertama dan menyampaikan informasi itu kepada mereka, pada media.

Kita sekarang beralih sedikit, Pak. Apakah menjadi jaksa itu memang cita-cita Bapak sejak kecil?

Dulu saya tidak bercita-cita jadi jaksa. Cita-cita saya sederhana, jadi guru gitu, jadi dosen. Dan itu memang seiring dengan apa yang saya lakukan selama ini ya, saya juga jadi dosen atau mengajar seperti itu.

Jadi dulunya kepengen jadi guru?

Guru, yang saya lihat guru di desa itu sangat sederhana kan ya, sama istrinya boncengan gitu kan sama anaknya ke pasar, itu yang ada dalam bayangan dan pikiran saya, kalau ini kayaknya enak ya sederhana hidupnya kan, di desa kan?

Tapi lambat laun ya perkembangan zaman, karena memang pergaulan saya juga banyak dengan teman-teman yang anaknya jaksa itu memberikan informasi, sehingga saya tertarik. Jaksa itu pakai pangkat, menegakkan hukum, kan itu dulu pikiran sederhana. Yah kalau masuk sini kayaknya enak, ternyata enak juga gitu lho.

Kapan itu mulai kepikiran jadi jaksa?

Jadi ketika saya masuk di perguruan tinggi ya, jadi teman-teman menyampaikan, eh jadi jaksa saja, jadi jaksa tuh enak ini gini-gini, nanti kalau jadi pejabat saya lihat satu-satunya pegawai vertikal, pimpinan vertikal yang masuk dalam Forkopimda itulah jaksa salah satunya.

Wah, saya tertarik juga kalau nanti duduk dengan bupati, duduk dengan gubenur gitu kan? Kapan ya kira-kira ini bisa terealisasi? Oh yah, akhirnya ya sudah semangat menjadi jaksa, seperti itu.

Jadi momentumnya itu saat teman-teman memengaruhi Bapak?

Iya, kalau enggak ada teman-teman mungkin saya enggak ngerti jaksa itu seperti apa kan? Makanya saya begitu lulus jadi jaksa saya pulang kampung dengan pakaian jaksa, orangtua saya bilang apa tahu nggak? Kamu kerja di mana nih? Kerja di Pegadaian katanya, karena ada timbangan kan di jaksa itu. Saya masih ingat betul itu. Itu yang saya alami.

Orangtua kaget dan bingung?

Kaget. Saya kan nggak pernah menyampaikan kalau saya waktu itu masih kuliah karena dapat beasiswa di perguruan tinggi ternama lah, dapat beasiswa untuk S2. Tapi saya juga ikut S2 tetap sambil ngelamar di Kejaksaan. Nah, itu orangtua nggak tahu.

Surprise gitu lho, bahkan saya diajak keliling-keliling pakai pakaian dinas itu kan, masih tata usaha waktu itu kan.

Pasti bangga sekali orangtua Bapak ya?

Ya jelaslah kan, apalagi sekarang kan lebih bangga lagi karena sering masuk TV, ha...ha...ha...

Jadi kalau kangen sama anak tinggal nyalain TV saja ya?

Nah, itu yang saya lakukan di rumah. Pak, kenapa enggak pulang? Kan, sudah dilihat di TV ngapain pulang lagi kan?

Kemudian, tantangan terbesar sebagai seorang jaksa itu apa?

Jaksa itu kewenangannya sangat luas, pekerjaannya juga tidak mudah. Mereka harus menghadapi perkara yang notabene penjahat setiap hari. Tentu efek daripada itu adalah kan mereka harus berhadapan dengan organisasi, kejahatan terorganisasi gitu.

Yang kedua, kasus-kasus kejahatan ini berkembang pesat, sangat modern seperti sekarang ya, artinya jaksa ini harus update terus, baik pengetahuannya, kemampuannya dan pengalaman harus update terus. Enggak bisa hanya belajar habis itu selesai.

Makanya minimal standar jaksa itu minimal S2, S3, enggak bisa cuma S1. Walaupun ilmu itu bukan faktor yang sangat penting ya, karena pengalaman yang paling penting.

 

Saat Baru Jadi Kapuspenkum Asam Urat Kambuh

kapus
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Bapak juga pernah bertugas selama 5 tahun di KPK, sampai mendapat posisi sebagai Kepala Satgas Penuntutan. Ada nggak pengalaman menarik selama di KPK?

Begini, tugas di tempat kita yang biasa dilahirkan dengan tempat yang baru tentu sangat berbeda ya. Saya waktu itu kenapa memilih untuk berkarya di tempat lain ya saya kepingin belajar dengan budaya kerjanya mereka, satu itu.

Kemudian kita juga punya pengalaman lain, kalau kita cuma di sini saja, hebat kayaknya kayak katak dalam tempurung. Hebat enggak pernah dilihat sama orang gitu. Sehingga kita mencoba challenge baru di tempat lain ya, dan tantangannya cukup beragam karena di sana dulu perkaranya gede-gede kan?

Saya pernah menangani perkara besannya Pak SBY, termasuk juga Pak Hari Sabarno waktu itu jadi Mendagri dan gubernur seluruh Indonesia juga pernah kami tangani. Ya, itu merupakan suatu pengalaman yang paling berharga buat saya kan gitu.

Sehingga ketika kita balik dari sana ini bisa menjadi trigger di tempat kita yang lama di Kejaksaan. Jadi cukup bagus sebenarnya kita keluar asalkan kita bisa memanfaatkan dengan baik, saya kira semua akan bermanfaat bagi institusi ini.

Ada tidak rasa takut saat harus menghadapi para tersangka korupsi yang notabene adalah orang-orang yang hebat dan memiliki kekuasaan?

Kalau ada rasa takut lebih baik enggak usah jadi jaksa deh ya. Karena saya pikir begini, semua pekerjaan itu mengandung risiko. Dokter mengandung risiko berhadapan dengan penyakit. Enggak usah dokter, tukang becak saja kadang-kadang tidur bisa mati kelelahan.

Ya kalau jaksa sudah tentu tantangannya adalah terdakwa, terpidana ya kan, belum tekanan dari penguasa, pasti banyak tantangan. Belum godaan untuk disuap, bisa saja itu kita mau baik, tapi kalau lingkungannya enggak bagus juga bisa jadi tantangan buat kita.

Jadi kalau takut jangan jadi jaksa, begitu ya, Pak?

Kalau takut jangan jadi jaksa, jangan jadi penegak hukum. Sudah barang tentu setiap hari Anda harus berhadapan dengan penjahat, sudah barang tentu Anda akan berhadapan bukan hanya penjahat ya, kejahatan yang terorganisir itu sudah pasti.

Dan itu akan menular, kalau kita takut akan menular kepada keluarga. Maka dari itu, keluarga tuh nggak usah tahulah apa pekerjaan bapaknya setiap hari ya, tahunya nonton di TV aja kalau saya.

Jadi Bapak nggak pernah cerita-cerita pekerjaan ke keluarga?

Enggak, yang jelas kita selalu sempatkan untuk pulang dalam rangka komunikasi dengan keluarga, segitu saja.

Karier Bapak boleh dikatakan lengkap. Sejak dari staf Kejaksaan Negeri Praya, menjadi Kepala Kejari Mataram, Bantul dan Gianyar hingga bertugas di KPK dan menjadi Wakil Kajati Bali. Nah, sepanjang masa itu kasus apa saja yang paling berkesan yang pernah Bapak tangani?

Yang paling berkesan, pertama itu ada kasus namanya Baiq Nuril, dulu di Kejaksaan Negeri Mataram yang begitu terkenal sampai ke luar negeri itu kasusnya. Karena itu adalah kasus pertama yang mendapatkan amnesti dari Presiden Jokowi. Satu-satunya kasus Undang-Undang ITE yang pertama mendapatkan amnesti, cuma kasus itu ya kan?

Kenapa itu terkenal, karena di samping dia menjadi pelaku tindak pidana yaitu Undang-Undang ITE dan sudah diputus sampai Mahkamah Agung, dia juga sebagai korban pada saat itu. Korban dalam artian ya si korban, gurunya pada saat itu, juga sering berkomunikasi dengan kata-kata yang tidak senonoh dalam tanda kutip.

Itu tidak diatur dalam Undang-Undang ITE, yang namanya pelecehan verbal itu belum diatur. Nah di sanalah ada istilahnya ada terobosan hukum ya yang harus dilakukan ke depan, bagaimana kalau pelecehan verbal ini bisa diatur dalam Undang-Undang ITE ke depannya.

Itu yang menjadi menarik buat saya, karena itu sampai duta besar sampai beberapa menteri datang mengunjungi Baiq Nuril ini pada saat mereka di penjara. Dan pada saat itu saya kekeh menyatakan agar dieksekusi Baiq Nuril untuk demi kepastian hukum dan kemanfaatan hukum.

Kalau tidak dieksekusi dia tidak akan bisa mengajukan upaya PK, enggak bisa mengajukan upaya-upaya hukum lain karena statusnya harus narapidana, tetapi mereka enggak mau.

Apa yang terjadi? Akhirnya dia minta amnesti kepada Presiden dan Presiden sampai DPR mengetok palunya menyetujui perkara itu. Itu luar biasa. Sampai akhirnya saya masuk ILC juga gara-gara itu, jadi terkenal gitu lho.

Pengalaman lainnya?

Yang kedua pada saat saya jadi Kepala Kejaksaan Negeri Mataram juga ya, pada saat itu ada gempa tahun 2018. Ada salah seorang anggota Dewan yang meminta uang kepada tersangka saya, yang tersangka pada saat itu kami periksa di Kejaksaan.

Tersangka ini kapasitasnya sebagai kepala dinas pada saat itu. Kepala dinas mendapatkan bantuan perbaikan gedung sekolah, bantuan sekolahlah gitu. Ini ada seorang angota Dewan meminta sesuatu yang akhirnya kita dengar. Lho ini nggak benar nih, masa bantuan gempa, bantuan kemanusiaan mau diperes.

Nah ini yang saya lakukan, bagaimana caranya menangkap orang seperti ini? Ya karena kita sudah biasa nangkap di KPK, di mana-mana ya akhirnya tangkap juga gitu loh. Ini menjadi booming ya yang membuat saya juga jadi terkenal itu seperti sekarang. Agak sombong sedikit ya?

Bolehlah Pak, memang ada prestasinya kan?

Karena jadi Kapuspenkum itu kalau tidak mau terkenal enggak usah jadi Kapus. Memang harus performance dijaga, gaya komunikasi dijaga dan apa yang harus dijual. Karena kita ini marketing di sini ya kan, sesuatu yang jelek menjadi bagus kita jual gitu. Padahal, yang saya sampaikan belum tentu benar kan, tapi benar semualah.

Karena Bapak kan juga harus memberitahu ke masyarakat apa sebenarnya yang dikerjakan?

Oh iya, maka saya bilang selalu ngomong sama media, ketika Anda menanyakan sesuatu yang belum terjadi, itu enggak boleh saya jawab. Kamu harus menanyakan sesuatu yang sudah ada real, fakta riilnya, realitanya harus ada.

Jangan berandai-andai gitu?

Jangan, Pak nanti ke depannya mau diapakan ini? Enggak boleh, kita nggak boleh jawab yang begitu ya kan? Karena kita bukan ahli nujum, bukan dukun pula kan? Jadi harus memberikan suatu informasi yang real time sesuai dan faktual.

Itu juga pasti tantangan buat Bapak, di mana banyak sekali hoaks yang berseliweran, bagaimana Bapak bisa memerangi hoaks tersebut?

Begini, di kita ada penilaian suatu pemberitaan ya. Kita setiap hari ada patroli media, kita juga punya alatnya ya, itu untuk menilai bahwa berita ini mengandung kebenaran, mengandung fakta apa tidak. Maka dari itu apa yang harus kita lakukan untuk mengantisipasi hoaks, harus diverifikasi dan diklarifikasi.

Klarifikasi harus kita tanyakan kepada sumber yang terpercaya terkait dengan apa yang terjadi dalam hoaks yang diberitakan, peristiwa yang diberitakan itu.

Pernah atau adakah hoaks yang sangat merugikan Kejaksaan:

Banyak dong, ya kan? Kadang-kadang yang kita hadapi ini kan koruptor fight back, benar enggak? Begitu kita gencar melakukan suatu upaya penindakan terhadap suatu kasus yang besar, tentu seperti tadi saya bilang ya, ini pasti risikonya banyak.

Semakin kita gencar, musuh kita semakin banyak, ya kan? Maka dari itu siap-siap untuk menghadapi koruptor fight back. Apa yang mereka lakukan? Menyebar hoaks, pimpinan kami pernah diberitakan dengan tanda kutip, ya kan? Kita akan diberitakan nanti ada pemerasan, upaya-upaya pemerasan, upaya-upaya rekayasa kasus itu sudah biasa.

Kriminalisasi, politisasi itu sudah biasa, itu makanan saya sehari-hari. Bagaimana cara melakukan ini? Strateginya harus bagus, harus elegan, tidak boleh emosi, dengan kepala dingin, enggak boleh baperan.

Tapi awal-awal Bapak pasti merasakan anxious juga kan?

Oh iya dong, saya baru pertama jadi Kapuspenkum itu wah stres, asam urat saya kambuh. Sampai saya jalan-jalan kan, ini kenapa nih asam uratnya kambuh? Ya stres. Karena saya nggak menyangka kalau tugas Kapus itu tidak sekadar ngomong di media, enggak nyangka.

Harus menyelesaikan masalah yang ada di pusat sampai di daerah. Isu-isu tentang daerah harus kita tahu. Mitigasi, risiko setiap kegiatan yang ada di Kejaksaan harus kita tahu. Sampai Pak Jaksa Agung ngomong serahkan semua kasusnya, serahkan sama Kapus, lama-lama kan pusing juga kepala kita. Namanya Kapus itu kepala pusing singkatannya.

Lantas bagaimana cara mengatasi rasa cemas itu?

Jangankan menghadapi masalah, saya menghadapi media saja kadang-kadang pusing, kadang-kadang grogi gitu lho. Tetapi resep yang paling manjur itu adalah kita menguasai materi yang akan kita sampaikan. Kita harus banyak belajar, banyak membaca ya, banyak berkomunikasi dengan sumber informasi, paling penting itu.

Dan paling penting selalu tersenyum di depan media, sehingga kalau ada wartawan atau media yang marah kalau kita senyum kan lunak hatinya kan, seperti itu.Jadi itu resep yang utama, selalu tersenyum, bersabar ya.

Karena media itu tidak semua menanyakan kebutuhan pemberitaan masyarakat, enggak semua. Jadi ada media punya kepentingan, ada media yang nyari-nyari masalah, dalam tanda kutip, ada juga media-media yang bermanuver seperti itu kan, saya dalam tanda kutip ya.

 

Sekarang Tajam ke Atas, Humanis ke Bawah

kapus
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Saat mulai menjabat Kapuspenkum Kejagung dua tahun lalu, apa yang prioritas Bapak ketika itu?

Saya kan orang baru ya, tentu saja jaksa itu disuruh ngomong dengan bahasa media, dengan bahasanya hukum itu berbeda, itu satu harus kita pahami. Karena saya kebetulan juga jadi dosen di mana-mana berbeda dengan bahasanya mahasiswa. Karena yang kita hadapi adalah strata sosial yang dari tinggi sampai tingkat rendah.

Kalau kita berbicara tentang nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenalli, nah itu mungkin yang ngerti orang hukum ya kan? Kalau kita bicara tentang staycation mungkin yang ngerti itu anak-anak muda ya kan? Kalau kita bicara mengenai apa saja ya harus bagaimana yang kita sampaikan itu semua ngerti.

Bahasa kita harus yang lugas, bahasa yang kekinian, bahasa yang mudah dicerna. Itu yang harus dipilih, narasi-narasi itu yang harus dipilih. Karena apa? Karena Puspenkum ini adalah pusatnya berstrategi, pusatnya bernarasi, pusatnya membangun opini publik, pusatnya membangun kepercayaan publik, terakhir itu.

Sehingga narasinya harus betul-betul dibangun bagaimana mengangkat institusi ini menjadi dipercaya masyarakat, trennya positif, enggak boleh salah, blunder enggak boleh. Nah ini yang harus terus yang kita pelajari, karena sudah setiap hari kita berhubungan dengan media ya lama-lama harus ada kata-kata, clue-clue yang harus kita punya. Kita nggak boleh bicara no comment, nggak boleh.

Iya, karena pasti orang juga frustrasi mendengar jawaban seperti itu?

Akhirnya besok jadi Kapus no comment kan, bahaya itu kan? Itu nggak boleh, tetap ada jawaban. Clue-nya cuma dua, 'sedang didalami', 'nanti kita pelajari', cuma dua itu saja clue-nya. Coba kamu nanya apa saja, saya jawab dua itu saja, coba?

Oke Bapak, bagaimana dengan penetapan tersangka kasus korupsi kemarin?

Oh itu sedang didalami. Nanti kita sampaikan kalau sudah ada faktanya, apa lagi?

Kemudian Bapak, untuk kasus yang kemarin baru saja terjadi perkembangannya seperti apa?

Saya belum dapat informasi, saya pelajari nanti dulu ya. Cuma itu saja jawabannya. Nanti di medianya akan muncul, Kapuspenkum masih mempelajari kasus ini, masih mendalami kasus ini, Kejagung masih mendalami kasus ini. Yang penting ada informasi yang kita sampaikan media itu sudah senang, jangan sampai tidak menjawab.

Saya itu hampir setiap hari 300 WA kita terima. Nelpon kadang-kadang, akhirnya gara-gara capek mengangkat telepon teman media saya silent. Marah sama saya, kenapa Pak gini-gini. Ya kadang-kadang saya juga ngeblok karena tadi, mereka ini berarti ada kepentingan lain, kok ngotot banget sih gitu lho.

Dalam membangun kepercayaan masyarakat itu ada nggak sih yang perlu Bapak rombak dari yang sebelumnya?

Oh harus dong, banyak hal. Jadi saya baru bertemu Pak Jaksa Agung ya. Pak Jaksa Agung ini orangnya sangat terbuka ya. Di era Beliau inilah yang membuka semua keran informasi.

Saya bercerita sama Pak Jaksa Agung, Pak saya ini bukan orang media, bukan orang komunikasi, saya ini mungkin bisa dibilang saya seorang dosen iya karena saya di mana-mana juga jadi pengajar dan penguji kan begitu. Tolong kasih petunjuk saya, saya diskusi sama Beliau apa yang harus dilakukan.

Yang pertama yang kita lakukan adalah membuat brand, brand itu adalah merek. Ini diriset selama dua bulan saya di sini saya menemukan adagium yang sangat lazim di masyarakat yaitu tumpul ke atas tajam ke bawah, benar nggak?

Semua ngomongnya sekarang hukumnya bobrok. Ini harus kita labrak, ini gerbang yang cukup kuat. Saya ngomong sekarang nggak ada lagi yang namanya tajam ke bawah tumpul ke atas, tapi kita balik tajam ke atas humanis ke bawah.

Ini kita riset kenapa bisa humanis, kenapa bisa tajam? Kenapa tajam? Ternyata perkara-perkara gede yang ditangani oleh Kejaksaan yang triliunan di Pidsus itu menjadi tajam ke atas karena banyak pejabat yang kita periksa, dijadikan tersangka dan kerugiannya begitu triliunan, ini bisa menjadi tajam ke atas.

Bagaimana humanisnya, kan itu sekarang? Riset saya membuktikan bahwa yang humanis ini adalah persoalan RJ, penanganan perkara dihentikan di tingkat penuntutan yang berpihak kepada masyarakat, membangun rumah RJ, ini humanis sehingga muncullah yang namanya istilah penegakan hukum humanis.

Ini baru pertama ada di kita ini. Pak Jaksa Agung bilang bagus, ini yang saya mau. Akhirnya kita bikin bukunya, bikin majalahnya, branding di mana-mana, akhirnya bisa terkenal lah, bahkan dapat penghargaan di mana-mana.

Artinya Kejaksaan punya beragam media atau platform untuk memberitakan kegiatan masyarakat?

Iya, kita punya majalah e-Magazine yang baru pertama kali mungkin di Kejaksaan. Kami yang merancang di sini bekerja sama dengan teman-teman media. Kalau hard copy itu kan terbatas, sehingga kita bikin majalah yang memang bisa diakses oleh semua orang. Dengan apa? Ya dengan e-Magazine.

Jadi hanya dengan klik, hanya dengan HP-nya bisa dibaca melalui HP, jadi enggak mahal gitu lho. Nah itu saya bangun di sini, kemudian kami bikin bukunya, website-nya kita redesain dulu karena itu adalah bagian daripada pelayanan publik, pelayan publik dan pelayanan media. Kita bikin sedemikian rupa sehingga wartawan enggak perlu datang ke sini.

Dengan mengklik website kita, mereka sudah bisa membuat berita. Karena semua pemberitaan yang ada di Kejaksaan satu hari itu bisa 10 sampai 20 masuk semua di website. Keren enggak? Terus membangun jaringan media sosial yang begitu masif, media massa yang begitu masif.

Anda tahu sekarang di zaman saya ini kita punya grup media hampir 15. Itu yang resmi, yang tidak resmi ada dua sampai lima. Jadi kita punya jaringan media online saja bisa 2.500 media sampai seluruh daerah, sehingga Kapus-nya batuk saja, pakai jaket saja sudah langsung viral. Itu media online.

Belum lagi jaringan media TV, itu kita bangun jaringan itu dengan mempermudah dan mempercepat dan masif informasi sampai ke daerah. Sehingga kita di 2022 menjadi institusi yang paling terpopuler.

Itu ada penghargaannya, kalau saya berani ngomong itu karena orang memberikan penghargaan, bukan kata saya lho.

Perintah Jaksa Agung: Sikat Habis

kapus
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sejumlah jaksa di posisi penting dipecat karena terlibat dalam korupsi, di mana yang terakhir adalah Kepala Kejari Bondowoso. Apakah ini bisa diartikan pengawasan terhadap para jaksa itu lemah?

Oh begini, saya harus bercerita ya. Di instansi mana pun, di negara mana pun, tidak ada yang clear satu persen dia bersih, negara mana pun saya bicara. Bahkan yang IPK-nya 90 sekian itu juga enggak clear.

Kita mengawasi oknum yang sekian ribu itu tidak gampang, ya kan? Masing-masing orang ini punya pikiran ya, lingkungan juga mempengaruhi, mindset juga mempengaruhi ya kan? Saya pikir dengan program Jaksa Agung bersih-bersih internal itu sangat luar biasa.

Apa yang dilakukan Pak Jaksa Agung? Pertama Beliau membuat Satgas 53. Satgas 53 gunanya untuk menegakkan integritas dan profesional jaksa. Begitu ada laporan tentang jaksa melakukan suatu tindakan tercela, melakukan penyalahgunaan kewenangan, melakukan pemerasan di lapangan, mereka turun langsung ditindak.

Bahkan di tahun 2023 ini, sudah tujuh oknum jaksa ditindak sampai di pengadilan. Saya cerita, 2019 itu hampir 300 pelanggaran jaksa berat, sedang dan ringan. 2020 menurun menjadi 250, kenapa saya tahu? Karena saya tiap hari meng-update itu, saya mengawasi parameter ini kira-kira berhasil enggak apa yang dilakukan oleh Pak Jaksa Agung.

Kemudian 2021 menurun menjadi 200, 2022 menurun menjadi 150, pelanggaran ringan berat dan sedang, di tahun 2023 sekarang sampai terakhir itu cuma ada pelanggaran kurang lebih 80, jadi kurang dari 100 pelanggaran. Artinya apa yang dilakukan oleh Pak Jaksa Agung dalam rangka bersih-bersih internal itu menurut saya sudah sangat berhasil.

Walaupun masih ada jaksa yang ditangkap oleh teman sebelah, maka saya bilang pada saat ada penangkapan saya pertama ngomong, saya setuju mendukung dilakukan bersih-bersih internal Kejaksaan, dalam rangka bersih-bersih internal, bukan saja yang membersihkan adalah internal Kejaksaan, Satgas 53 tadi, tetapi kalau internal masyarakat mengetahui, media mengetahui terjadi pelanggaran, tolong sampaikan ke kami, kabarin kepada kami, pasti kami tindak kalau itu ada mengandung kebenaran.

Tanggapan Jaksa Agung dengan pengungkapan perilaku sejumlah jaksa itu bagaimana?

Pak Jaksa Agung sangat senang, kalau dalam bahasa Beliau, sikat habis jangan biarkan mereka bercokol di Kejaksaan, orang-orang yang tidak bermoral, sampai seperti itu Beliau itu dan sangat kesal Beliau itu.

Dari sisi kepercayaan publik, saat Beliau baru masuk Kejaksaan itu adalah 50,2 persen, beranjak menjadi 60, 70, 77 sampai 81,2 persen bukan hal yang mudah. Prosesnya sangat panjang ya, tidak saja dengan melakukan pembenahan internal, penangan kasus-kasus besar juga menjadi bagian yang memberi kontribusi untuk membangun kepercayaan publik.

Program-program ke masyarakat juga berkontribusi seperti Jaksa Masuk Desa, seperti Om Jack, Jaksa Menjawab, semua program kita lakukan, membangun rumah rehabilitasi, membangun Rumah RJ di setiap desa, ini bukan hal yang mudah. Nah, tiba-tiba ada yang mencoreng, tidak menjaga marwah Kejaksaan, mencoreng nama baik Kejaksaan, ini bagaimana tidak geregetan kita.

Maka dari itu menurut saya ini oknum seperti ini pasti ada terus, ya kan? Kalau kita punya pohon pisang atau pohon semangka pasti ada yang busuk, pasti ada yang tidak matang 100 persen, pasti ada yang jelek, pasti ada ulatnya. Itu hal yang biasa sehingga itulah yang kita bersihkan di Kejaksaan, itulah yang perlu diperbaiki.

Cara membersihkannya bagaimana?

Jadi kita membuka keran pengaduan seluas-luasnya kepada masyarakat dan media, termasuk juga kepada korban. Siapa pun korbannya tetap tolong diadukan. Karena kami menyadari tidak semuanya baik, tidak semua baik-baik saja di kita, belum clear and clear, pasti ada orang-orang seperti itu. Sehingga keran informasi dan pengaduannya harus sampai kepada masyarakat.

Yang kedua, harus ada pengawasan secara efektif dan intensif, berkelanjutan pengawasannya baik dari Kejaksaan Agung, kepada kepala daerah dan satker terdekatnya. Dan ada pengawasan melekat yang paling terdekat yaitu kita lakukan.

Yang ketiga, harus ada reward dan punishment, yang berprestasi cepat kita lakukan promosi, yang melakukan suatu tindakan dan cepat kita tindak, segera kita tindak biar masyarakat tahu, masyarakat menjadi puas ketika kita melakuan suatu tindakan terhadap internal, jangan sampai ada nyinyiran di luar, itu banyak masih jaksa baju cokelat melakukan hal-hal seperti ini. Banyak mana? Itu dulu, sekarang tidak, maunya kita seperti itu ke depan terus.

Bagaimana caranya bisa membuat masyarakat percaya lagi?

Nah, tindakan-tindakan tadi itu bagian daripada yang kita lakukan dalam rangka pembenahan SDM. Terlepas dari itu kita harus melakukan program-program kemasyarakatan yang menyentuh langsung ke masyarakat. Tidak saja program, penindakan hukum juga harus menyentuh ke masyarakat.

Salah satu contoh kita melakukan penindakan terhadap minyak goreng yang begitu langka, ngantre sampai satu orang meninggal, di seluruh Indonesia langka, padahal kita adalah produsen terbesar minyak goreng di dunia, 80 persen hasil produksi minyak goreng ada di Indonesia itu diekspor ke luar negeri, bayangin kita mati di lumbung padi.

Pak Jaksa Agung sangat tegas, tindak yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Ketika kita melakukan penindakan terkait minyak goreng, harga minyak goreng menjadi turun, pasokan minyak goreng di Indonesia menjadi seperti sekarang kita nikmati. Nah, kalau ini tidak ditindak bahaya, kartelnya banyak ini.

Ada yang menimbun, ada yang ekspornya diperbesar, yang seharusnya 80 persen menjadi 90, bayangin tuh kalau cuma 10 persen di Indonesia. Kita ekspor kita mati di lumbung padi. Kerugian dalam rangkaian waktu dua tahun saja yang kita tangani itu sudah mencapai Rp 6,47 triliun. Bayangkan kalau kita diam ini bukannya negara yang rugi tapi masyarakat luas yang rugi.

Miris sebenarnya kita melihat ini ya, Pak?

Ya banyak kasus yang terkait dengan khalayak hidup orang banyak yang kita tangani cukup sukses, termasuk ekspor-impor garam, termasuk baja, termasuk yang lagi kita tangani ini ya BTS. Bayangin saja kalau BTS ini nggak ada di seluruh Indonesia ya, informasi di daerah dengan informasi di pusat ada kesenjangan, itu yang namanya Tol Langit itu tidak akan terwujud, benar nggak?

Jadi yang pintar, yang cepat mendapat informasi hanya orang-orang teman-teman kita di daerah Jawa. Bayangin yang ada di Papua, yang ada di NTT, mohon maaf ini, yang ada di Maluku, keterbatasan informasi internet sangat terbatas banget.

Nah, ketika kita sidik itu kita menemukan sampai 80 persen kerugian, bayangin itu. Ini yang menyangkut hajat hidup orang banyak menjadi perhatian kita, sehingga di sanalah kita bisa meraih kebutuhan publik, di samping program yang lain.

 

Pengakuan Dunia terhadap Restorative Justice

kapus
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Kejaksaan dinilai sukses menerapkan restorative justice dalam ribuan kasus yang sudah ditangani. Dari catatan Kejaksaan, kasus apa umumnya yang diselesaikan melalui mekanisme restorative justice?

Begini, restorative justice ini merupakan terobosan baru dalam penegakan hukum. Jadi Pak Jaksa Agung membuat paradigma baru dalam penegakan hukum, bagaimana kasus-kasus yang tidak mempunyai kelayakan tetapi sudah di P21 dan sudah diserahkan tersangka, berkas perkaranya dan barang buktinya di Kejaksaan.

Tapi menurut kacamata Pasal 139 dan 140 KUHAP ini tidak layak untuk disidangkan, karena tidak berdampak luas ya kan? Nah inilah dibuatkan yang namanya Perja Nomor 15 Tahun 2020 yang sampai saat ini kita sudah hampir 3.500 perkara diselesaikan secara RJ.

Baik itu perkara-perkara narkotika juga termasuk yang sebagai pengguna kita rehab ya kan? Atau perkara-perkara yang tidak berdampak luas yang ancaman hukumannya tidak lebih dari lima tahun. Kalau perkosaan bisa nggak? Nggak boleh. Kita tidak bicara kerugian tapi dampaknya kepada masyarakat.

Sampai paradigma yang dibangun oleh Pak Jaksa Agung ini tidak saja memperoleh penghargaan di dalam tapi juga memperoleh penghargaan di luar negeri. Sampai Jaksa Agung RI mendapatkan award dari IAP, International Association of Prosecutors, dari 180 Jaksa Agung di seluruh dunia, hanya Jaksa Agung Indonesia yaitu ST Burhanuddin yang mendapatkan penghargaan ini di tahun 2022.

Artinya, dunia pun mengakui?

Mengakui, karena itu adalah solusi, ADR atau Alternative Dispute Resolution. Jadi penyelesaian penegakan hukum di luar daripada pengadilan yang dinilai efektif, cepat dan efisien dan tidak merugikan masyarakat. Maka dari itu diberikan penghargaan itu dan dunia mengakui itu. Sekarang kita lagi menggodok ini agar masuk ke dalam undang-undang, baik Undang-Undang Kejaksaan maupun KUHP ke depan.

Tidak hanya Jaksa Agung, kami dengar Kapuspenkum Kejagung juga mendapatkan penghargaan?

Kemarin saya mendapatkan penghargaan PR Terbaik dalam kategori pemerintahan atau government ya. Saya nggak sebutkan yang ngasih penghargaan di sini ya, takutnya nanti Liputan6 juga mau ngasih saya penghargaan.

Jadi secara khusus saya diberikan penghargaan dianggap sebagai corong yang bisa memberikan informasi cepat, tepat, akurat dan masif kepada media dan masyarakat gitu. Dan cukup bangga jugalah gitu, tapi ini bukan suatu yang harus membuat jemawa gitu ya.

Bapak pastinya familiar dengan media sosial, bagaimana cara Bapak memanfaatkan media sosial tersebut agar bisa memberikan masyarakat informasi yang lebih masif lagi?

Jadi hasil penelitian di dunia, dunia lho sekarang, Indonesia termasuk yang paling besar ya menggunakan media sosial. Informasi yang diterima oleh masyarakat ini lebih banyak dari media sosial itu 70 persen daripada media mainstream. Bayangin media sosial ini yang mempengaruhi mindset masyarakat, pendapat masyarakat terhadap realita yang kita hadapi sehari-hari.

Kenapa? Karena begitu mudahnya sekarang mendapatkan informasi, kapan dan dimanapun, anywhere and anytime. Sekarang orang duduk-duduk saja sudah dapat informasi, kalau dulu kita harus beli TV dulu, datang ke mana saja dulu baru bisa dapat informasi, beli koran dulu. Sekarang begitu mudahnya informasi didapat dan di-share ke mana-mana, ya kan?

Saya sebagai Kapus juga punya media sosial. Rata-rata orang Indonesia ya berdasarkan hasil penelitian, rata-rata pengguna media sosial orang Indonesia di kalangan Gen Z dan Millennial itu satu orang memiliki minimal tiga media sosial.

Dan saya nggak sebutkan media sosialnya, pasti Anda tahu. Artinya apa? Ada yang sampai enam media sosial, ada yang sampai tujuh media sosial, bayangin lho. Karena begitu masifnya media sosial memberikan informasi yang begitu cepat pada kita. Bayangin, artinya apa?

Kita harus beradaptasi dengan itu. Nggak bisa kita nggak beradaptasi. Di Puspenkum kita juga menyediakan media sosial mulai dari website, Tik-Tok, Instagram, semua kita sediakan untuk apa? Untuk mengimbangi berita-berita yang negatif kepada kita di luar, gunanya seperti itu.

Terus kontennya media sosial Kejaksaan apa saja?

Ya konten apa saja. Begitu saya masuk di Kejaksaan pertama kali kita podcast dulu terkenal banget, di dua tahun belakangan ini podcast terkenal banget ya. Saya datangkan artis-artis pada bingung itu semua. Semua artis ternama Indonesia saya datangkan. Mulai yang tua, yang muda, yang lagi populer kita datangkan, semua pernah datang di ruangan Puspenkum.

Gunanya apa? Kejaksaan sudah terkenal, tapi harus lebih terkenal lagi di kalangan mereka, di kalangan ibu-ibu ya, ini harus terkenal Kejaksaan. Sehingga saya datangkan satu tahun itu mungkin sekitar 50 artis mungkin iya kita datangkan ya untuk di podcast dan itu berhasil.

Satu orang artis ini bisa mempunyai follower sampai 5 juta, ada yang sampai 6 juta, ada yang bahkan 10 juta. Gila itu kalau kita tidak memanfaatkan mereka sebagai influencer kita, benar nggak?

Kita undang di sini, mereka juga merasa bangga ada di tengah-tengah Kejaksaan. Bahkan saya juga diundang beberapa podcast-nya artis ternama juga, saya nggak sebut di sini ya. Jadi saya juga ikut terkenal nebeng nama dia gitu lho. Dia juga nebeng sama nama besarnya Kejaksaan, saya juga ikut nebeng dengan nama besarnya mereka. Itu namanya simbiosis mutualisma.

Itu saya bangun dan akhirnya menjadi seperti sekarang lah. Kemudian di tahun kedua saya di sini, saya mau bikin bagaimana mem-branding Kejaksaan itu tidak serem banget ya. Pakai pangkat ke mana-mana. Kapusnya sekarang pakai jaket dan jaket saya ini apa namanya, rompi saya ini sangat terkenal dan dipakai oleh beberapa instansi, mohon maaf ya, mohon maaf ya, saya nggak ngomongin ya.

Boleh Anda lihat di media sosial sekarang banyak yang pakai rompi. Kenapa? Karena rompi ini menunjukkan bahwa kita kerja. Kenapa harus tangan pendek? Kalau tangan panjang mereka pasti nggak kerja, takut kotor, ya kan? Ini filosofi yang saya bangun di fesyen saya hari ini.

Saya nggak mau pakai pangkat kenapa? Kadang kalau saya pakai pangkat takut salah saya ngomong. Bintang dua takut salah ngomong kan? Kedua, Anda pun juga menjadi ragu-ragu untuk bertanya sama saya. Ini sisi-sisi humanis yang kita bangun di Puspenkum sehingga komunikasi bisa lancar seperti ini.

 

Memilih Netral di Pemilu 2024

kapus
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Jaksa Agung menegaskan Kejaksaan akan menunda pemeriksaan terhadap peserta Pemilu 2024 dalam kasus-kasus dugaan tindak pidana korupsi, apa alasannya?

Ini menarik. Jadi begitu Pak Jaksa Agung membuat satu memorandum terkait dengan penundaan netralitas pemilu, mohon maaf ini, itu sebenarnya bukan hal yang baru. Pada 2019 di pemilu dan pilkada kita sudah buat itu, sekarang kita lakukan itu untuk menjaga netralitas penegak hukum, Insan Adhyaksa ini biar dia netral karena kita tahu kalau di pusat mungkin kita bisa mengawasi, tapi kalau di daerah mereka punya temannya Muspida, Forkominda ya kan, dia bisa bisik-bisik menggunakan tangannya, kewenangan penegak hukum untuk memeriksa orang kan berbahaya. Itu yang kita hindari.

Awalnya saya ngomong ini di media, wah semua nentang, ini gini-gini. Tapi apa yang terjadi sekarang, ternyata benar apa yang yang disampaikan oleh Pak Jaksa Agung dan melalui Kapuspenkum. Netralitas ini dijaga, penegakan hukum ini dijaga. Bisa saja dipinjam tangan kita untuk nabok orang, kenapa? Karena kalau calon saja kita panggil, stempelnya orang sudah negatif nih, ini ada apa ini?

Baik sebagai saksi maupun sebagai tersangka, apalagi sebagai tersangka, sebagai pelaku tindak pidana. Saksi saja kalau dia berkali-kali dipanggil nggak jadi dia kepala daerah. Sebenarnya dia adalah orang baik. Ini yang kita hindari, jangan sampai gara-gara penegakan hukum yang keliru, penegakan hukum yang salah, yang menyebabkan kita tidak mendapatkan pimpinan yang baik, pimpinan daerah, pimpinan pusat yang baik. Ini yang kita hindari.

Dan ini kan tidak lama, waktunya cuma enam bulan. Bagaimana Pak kalau besok memang dia terbukti? Kalau dia kepilih dan terbukti nanti kita angkat, gitu lho. Jangan sampai kita upaya-upaya yang baik ini, pesta demokrasi yang memakan triliunan uang rakyat, kita dijadikan alat, Nggak boleh itu terjadi. Ngerti kan?

Kita jaga marwahnya demokratisasi Indonesia ini, kita bagian daripada penegak hukum yang netral. Sehingga apa, teman sebelah juga banyak yang ikuti sekarang. Saya nggak nyebut ya namanya, tetangga sebelahlah.

Bapak kalau menghabiskan waktu senggang atau beraktivitas di hari libur ngapain aja?

Nah, ini yang kadang-kadang menjadi tantangan di keluarga saya. Saya selama dua tahun ya, dua tahun ini jadi seorang jaksa 24 jam, apalagi seorang Kapuspenkum 24 jam kerjanya. Pak Jaksa Agung itu kalau yang ada kasus mereka enggak tidur, Beliau saja enggak tidur.

Kadang-kadang jam 1 telepon saya, jam 2 sekalipun telepon saya. Bagaimana kasusnya cepat selesai sampai jam 6 sudah ada laporan, saya harus menelepon Kajatinya, harus nelepon Kajarinnya. Bayangin tuh kerja yang berat.

Bahkan hari libur pun, Beliau bilang kalau bisa kamu standby di Jakarta. Sementara keluarga saya kan jauh, di Lombok ada, di Jogja ada ya, karena anak-anak sekolah di sana. Ya saya harus bisa bagi waktu walaupun tidak intensif dan efektif menurut keluarga saya, paling tidak waktu untuk keluarga itu harus ada, ya kan?

Sekarang kan pola komunikasi itu banyak, kalau mau lihat Bapak lihat saja di TV, kayak gitu misalnya kan? Mungkin pakai video call ya mungkin itu yang seperti itu harus sering kita lakukan, sehingga mereka tidak kehilangan induknya.

Kalau kerja terus kapan menjalankan hobi?

Hobi saya membaca, jadi relate dengan apa yang saya lakukan sekarang. Satu itu ya. Tapi kalau hari Minggu saya bersepeda santai cari keringat gitu. Pagi-pagi saya wajib jam 5 sudah bangun pagi keliling-keliling komplek ya, jalan satu kilo dua kilo, habis itu ya kadang-kadang ibadah kadang-kadang nggak juga sih kalau lupa kan. Itu kegiatan sehari-hari saya seperti itu.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya