Liputan6.com, Jakarta - Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menggenapkan usianya yang ke-100 hari pertama pada 28 Januari 2025. Diketahui, pada poin ke tujuh dari Asta Cita yang dicanangkan oleh presiden dan wakil presiden adalah memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi, serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi dan narkoba.
Dalam laporan tahunan Badan Narkotika Nasional (BNN) yang dirilis pada 23 Desember 2024, tercatat ada 620 kasus peredaran narkotika sepanjang 2024. Dari jumlah tersebut, 985 orang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Advertisement
Baca Juga
Menanggapi hal itu, Pakar Hukum Narkotika, Slamet Pribadi menilai pemerintahan Prabowo-Gibran sudah cukup progresif melalui political will melalui Asta Cita.
Advertisement
"Kalau dari sudut ilmu hukum, kejahatan narkotika itu adalah kejahatan yang bersifat khusus, kejahatan yang bersifat luar biasa, kejahatan yang bersifat transnational crime, artinya sudah menyambung dengan Asta Cita," kata Slamet saat dihubungi Liputan6.com melalui sambungan telepon, Kamis 23 Januari 2025.
Namun menurut Slamet, apresiasi tersebut bukan tanpa catatan. Menurut dia, setelah adanya political will maka langkah selanjutnya adalah soal implementasi.
Karena fakta di lapangan, dinamika terkait pemberantasan narkotika justru tercoreng dengan kasus yang dilakukan oleh anggota kepolisian saat acara music Djakarta Warehouse Project (DWP) dan menimpa warga negara asing.
"Sekarang pertanyaannya, apakah aparatur negara memahami kebijakan yang bersifat implementatif dari Presiden ini? Kalau tidak memahami, kalau tidak mematuhi kebijakan ini, berarti aparatur ini adalah, menurut saya, itu berkhianat kepada bangsa dan negara," tegas Slamet.
"Jangan sampai kebijakannya sudah seperti itu, di bawah main-main. Contoh, aparat yang memperjual-beli, aparat yang mencuri sedikit-sedikit narkotika, dan kemudian ketika melakukan penegakan hukum, disertai dengan permintaan sejumlah anggaran contoh kasus kemarin (DWP)," imbuh dia.
Â
Hukuman Berat bagi Aparat Pelanggar Pemberantasan Narkoba
Slamet menyatakan, mereka aparat pelanggar aturan pemberantasan narkoba sudah seharusnya mendapat hukuman berat.
"Harus dihukum berat, sudah melanggar undang-undang, melanggar cita-cita negara, cita-cita pemerintah," ungkap Slamet.
Maka dari itu, Slamet berpendapat terkait yang terjadi dalam kasus DWP, unsur pelanggaran pidana sudah terpenuhi mulai dari pemerasaan, penyalahgunaan wewenang dan penyalahgunaan jabatan. Jika hanya ditindak pelanggaran etik, patut dipertanyakan dan dijelaskan mengapa demikian.
"Semua orang berpendapat itu adalah pidana. Termasuk saya ini menyakut pidana. Kalau misalnya dia tidak melanggar pidana, apa penjelasannya? Cukup etika itu harus dijelaskan. Kalau tidak melanggar pidana harus dijelaskan," urai Slamet.
Sebagai masukan, Slamet mendorong adanya penguatan di bidang pencegahan. Hal tersebut cukup krusial, mengingat hukum ekonomi antara tingginya permintaan yang berbanding lurus dengan penawaran.
"Jadi ketika permintaan meningkat, karena memang orang yang berkebutuhan atau pencegahan yang tidak berhasil, maka permintaan meningkat. Namun bilamana pencegahan berhasil, pengobatan berhasil, maka permintaan berkurang. Ketika permintaan berkurang, bandarnya bangkrut. Jadi, saya berharap bandar-bandar itu bangkrut!," kata Slamet.
Advertisement
Pengawasan Terus Menerus, Bukan Hanya 100 Hari
Sementara itu, Aktivis Antinarkoba Asri Hadi juga ikut bersuara menyoroti 100 hari pertama dari kinerja Prabowo-Gibran soal komitmen pemberantasan narkoba. Dia mendorong, hal itu tidak sebatas di 100 hari pertama saja, melainkan hingga menuntaskan masa baktinya.
"Jangan sampai kerja prioritas pemerintah untuk memberantas narkoba hanya pada 100 hari pertama pemerintahan presiden Prabowo-Gibran tapi harus terus menerus dilakukan pengawasan dan pengendalian agar para pejabat yang diberi amanah untuk memberantas narkoba melaksanakan tugasnya dengan baik sampai masalah narkoba di Indonesia bisa diatasi," kata Asri melalui pesan singkat kepada Liputan6.com, Kamis (23/1/2025).
Asri mengakui, 100 hari pertama Prabowo-Gibran dalam hal pemberantasan narkoba tercoreng dengan insiden DWP di Kemayoran. Menurut dia, hal itu sangat memalukan karena dilakukan secara terstruktur dari mulai tingkat polsek, polres hingga polda terlibat dugaan pemerasan terhadap warga asing.
"Ini sangat memalukan karena pemerasan yang dilakukan satuan narkoba. Jadi perlu dilakukan evaluasi kembali aparat kepolisian yang bertugas di bidang pemberantasan narkoba harus lah mereka yang punya integritas dan amanah, hendak kasus ini menjadi perhatian pimpinan lembaga Kepolisian,"Â ujar pria yang juga menjabat sebagai Dewan Pengurus DPP Badan Kerjasama Sosial Usaha Pembinaan Warga Tama (BERSAMA) ini.
Senada dengan Slamet, Asri dalam masukannya kepada pemerintahan Prabowo-Gibran dalam hal pemberantasan narkotika adalah dengan pencegahan. Secara teknis, hal itu tidak bisa sendiri melainkan dengan menggandeng banyak elemen publik. Termasuk media sebagai medium publikasi.
"Perlu kerja sama dengan berbagai kelompok yang ada di masyarakat Indonesia, mulai libatkan pengurus RT-RW, organisasi pemuda, organisasi profesi, seluruh komponen masyarakat bekerja sama dengan aparat pemerintah untuk memberantas narkoba termasuk melibatkan media," tandas Asri.