Liputan6.com, Jakarta Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengajak publik untuk melawan segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis perempuan, baik karena aktivitas kerja jurnalistik maupun femisida. AJI juga mendesak aparat kepolisian untuk bekerja secara profesional dalam mengungkap berbagai kasus kekerasan yang menimpa jurnalis perempuan.
"Kekerasan terhadap jurnalis perempuan semakin menguat di tengah situasi politik yang militeristik dan menjauhi supremasi sipil,” kata Ketua AJI Indonesia, Nany Afrida
Baca Juga
Salah satu kasus kekerasan terbaru menimpa jurnalis Tempo, Francisca Christy Rosana, yang dikenal sebagai Cica. Ia mengalami teror berupa pengiriman kepala babi dengan kuping yang dikerat. Tidak hanya itu, ia juga menjadi korban serangan digital melalui praktik doxing atau penyebaran identitas pribadi.
Advertisement
“Serangan itu menyasar identitas gender Cica sebagai perempuan. Bahkan ibunya juga menjadi sasaran teror,” jelas Nany.
Cica dikenal sebagai host siniar Bocor Alus Politik Tempo dan kerap menulis berita yang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Kasus ini menunjukkan bahwa jurnalis perempuan kerap menjadi target kekerasan, khususnya saat meliput isu-isu sensitif.
Selain Cica, sejumlah jurnalis perempuan lainnya juga menjadi korban kekerasan saat meliput demonstrasi menolak revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) di berbagai kota. Di Sukabumi, jurnalis dari Detik.com mendapat kekerasan, dan di Malang, jurnalis pers kampus mengalami pelecehan seksual secara verbal.
Ketua Bidang Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal AJI Indonesia, Shinta Maharani, menekankan bahwa akar dari kekerasan ini adalah budaya patriarki. “Jurnalis perempuan lebih rentan karena konstruksi budaya patriarki yang memandang perempuan lebih lemah dan rendah dibanding laki-laki,” ujar Shinta.
Menurutnya, impunitas atau ketidakseriusan aparat dalam menangani kasus kekerasan ikut memperburuk situasi. “Budaya impunitas membuat kekerasan terus berulang. Sebagian besar kasus macet di tengah jalan,” tegasnya.
Data dari AJI Indonesia menunjukkan bahwa sepanjang 2024 terdapat 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis, dengan tujuh di antaranya menimpa jurnalis perempuan. Sementara itu, dalam periode Januari hingga Maret 2025, terdapat lima kasus dari total 23 yang melibatkan korban jurnalis perempuan.
Mayoritas pelaku pada 2024 adalah aparat polisi (19 kasus), diikuti TNI (11 kasus), warga (11 kasus), dan orang tak dikenal (10 kasus). Dalam tiga bulan pertama 2025, pelaku kekerasan paling banyak adalah orang tak dikenal, disusul aparat kepolisian dan Satpol PP.
Harus Diusut Tuntas
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juga menyuarakan keprihatinannya. Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, menegaskan bahwa polisi wajib mengusut kasus-kasus kekerasan ini hingga tuntas. “Jika polisi membiarkan intimidasi berulang, maka akan semakin melemahkan kredibilitas institusi tersebut di mata publik,” kata Andy.
Komisioner Komnas Perempuan Theresia Sri Endras Iswarini menambahkan, “Setiap jurnalis berhak bebas dari ancaman, diskriminasi, dan kekerasan dalam menjalankan kerja jurnalistik.” Ia menyebut jurnalis termasuk dalam kategori perempuan pembela HAM.
AJI Indonesia menyerukan agar publik tidak menoleransi berbagai bentuk kekerasan terhadap jurnalis perempuan. “Teror, intimidasi, dan femisida adalah serangan terhadap kebebasan pers dan demokrasi,” ujar Nany Afrida. Ia juga mendesak Dewan Pers untuk segera menurunkan Satuan Tugas Anti-Kekerasan jika kasus menyangkut kerja jurnalistik.
Shinta Maharani menambahkan bahwa kantor media harus memiliki SOP dalam menangani kekerasan terhadap jurnalis. “Termasuk mitigasi kekerasan dan pemulihan psikologis,” katanya.
AJI menegaskan, solidaritas nasional dan global penting untuk melawan kekerasan terhadap jurnalis perempuan. “Dukungan bisa datang dari jurnalis, organisasi masyarakat sipil, akademisi, seniman, hingga pegiat HAM,” tutup Shinta.
Advertisement
