Liputan6.com, Jakarta - Integritas, kapasitas, dan netralitas adalah tiga kata kunci dalam pemilihan pejabat publik pada lembaga-lembaga negara independen (state auxilliary agency atau state independent body). Tiga syarat tersebut terkait dengan raison d’etre lahirnya lembaga-lembaga negara independen, terutama di era reformasi ini.
Dalam pemilihan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tiga syarat itu saja tidaklah cukup. Bagi pimpinan KPK, satu syarat yang juga harus ada adalah 'berani'. Hal ini mengingat pekerjaan utama KPK adalah melakukan pemberantasan korupsi, memberantas bandit-bandit uang negara yang tidak jarang berlindung, bahkan memiliki kekuasaan besar di republik ini.
Tanpa nyali kuat, pimpinan KPK tak akan pernah bisa menyentuh wilayah-wilayah sensitif kekuasaan, termasuk juga tokoh-tokoh koruptif di luar kekuasaan yang punya hubungan atau akses atas kekuasaan.
Polisi dan jaksa masih sulit diharapkan untuk menyentuh wilayah-wilayah sensitif kekuasaan tersebut, paling tidak kondisi hingga hari ini.
Dalam diskusi di Indonesia Corruption Watch (ICW), 17 Agustus lalu, saya menambahkan dua syarat lain bagi pimpinan KPK, yaitu berwibawa dan memiliki kemampuan komunikasi yang baik dengan semua pemangku kepentingan (stakeholder), baik dalam ranah negara maupun masyarakat sipil.
Dua syarat ini penting ditambahkan, terkait perkembangan KPK terakhir setelah terjadi perseteruan dengan Polri yang berimbas pada pelemahan KPK.
Tidak sulit dilemahkan
Pada awalnya, sebagian besar kita yakin KPK adalah lembaga yang kuat dan ditakuti. Dalam berbagai kesempatan, saya kerap bercanda bahwa hanya dua panggilan yang ditakuti orang-orang Indonesia. Pertama, panggilan Tuhan Yang Maha Kuasa alias hilangnya nyawa dari raga. Kedua, panggilan KPK, terutama bagi mereka yang merasa bersalah melakukan korupsi.
Namun, begitu dihantam badai "awal", awal pemerintahan Presiden Jokowi dan awal 2015, berupa perseteruan dengan Polri sebagai buntut penetapan tersangka kepada calon Kapolri Komjen Budi Gunawan, KPK tidak lagi sakral.
Ternyata begitu mudahnya menumbangkan KPK. Tinggal dicari-cari kesalahan masa lalu pimpinan KPK, lalu ditetapkan sebagai tersangka. Berdasarkan ketentuan undang-undang mereka harus diberhentikan sementara (nonaktif).
Ketua KPK Abraham Samad (AS) berhenti karena kasus ‘ecek-ecek’ sebelum menjabat pimpinan KPK. Demikian pula salah seorang tulang punggung KPK, Bambang Widjojanto (BW), yang dijadikan tersangka dengan kasus lama yang dibuka kembali.
Hingga kini kasus mereka tidak jelas juntrungannya, meski sudah berbilang lebih dari setengah tahun sejak mereka ditetapkan sebagai tersangka. Bisa dimaklumi karena targetnya adalah mengakhiri masa jabatan mereka di KPK yang harusnya baru selesai Desember nanti.
Melihat pengalaman AS dan BW, pimpinan KPK ke depan tidak cukup sekadar memenuhi syarat standar (integritas, kapasitas, dan netralitas) plus berani, melainkan juga harus ditopang dengan wibawa dan kemampuan komunikasi dengan semua pemangku kepentingan.
Wibawa dibutuhkan agar pimpinan KPK tidak dilihat 'sebelah mata' oleh pimpinan-pimpinan lembaga yang sebenarnya lebih well established semacam Polri dan Kejaksaan Agung.
Bagaimana mungkin pimpinan KPK menjalankan peran sepervisi terhadap Polri dan Kejaksaan bila mereka tidak berwibawa. Bisa-bisa Kapolri dan Jaksa Agung tidak merasa sederajat berbicara dengan mereka.
Advertisement
Wibawa juga diperlukan untuk menangkal mantra kriminalisasi yang begitu mudah dialamatkan kepada mereka. Bila pimpinan KPK lebih berwibawa, bisa jadi ada rasa segan pihak kepolisian untuk 'mengerjai' mereka.
AS dan BW boleh saja hebat sepak terjang mereka dalam memberantas korupsi. Tetapi ternyata mereka juga mudah 'dikerjai'. Tinggal dicari kesalahan mereka, ditetapkan sebagai tersangka, habislah mereka.
Wibawa juga tentu harus ditunjang dengan kemampuan komunikasi dengan semua stakeholder. Seorang pimpinan KPK harus mampu berbicara dengan orang-orang penting di negara ini, mulai dari Presiden, Kapolri, Jaksa Agung, hingga pejabat-pejabat negara lain secara egaliter.
Ia juga harus mampu berbicara dengan kalangan non-negara, dengan masyarakat sipil yang selama ini sangat getol membela KPK dari pelemahan. Sesungguhnya tameng utama KPK selama ini adalah masyarakat sipil yang peduli dengan pemberantasan korupsi.
Belum memenuhi kriteria
Persoalannya, apakah delapan nama yang disetorkan pansel ke Presiden Jokowi memenuhi kriteria tersebut? Dengan sedih saya ingin mengatakan 'belum'.
Saya menaruh respek dengan Johan Budi yang pengabdiannya untuk KPK khususnya, dan pemberantasan korupsi umumnya tak perlu diragukan. Namun bagi saya, JB begitu ia kerap dipanggil, belum masuk kriteria sebagai the first class.
Sebagai salah seorang pimpinan KPK, JB tentu oke. Tapi kita membutuhkan lebih dari sekadar JB dari sisi wibawa. Awalnya, saya berharap orang seperti Jimly Asshiddqie bisa masuk. Sayangnya, seperti ada semacam konspirasi untuk menjegal Jimly.
Selain JB, tidak ada sosok yang cukup dikenal dalam ranah pemberantasan korupsi selama ini. Satu-dua sosok mungkin mutiara yang terpendam, yang sepak terjangnya belum kita tahu karena memang tidak terendus media. Tapi masalahnya jabatan ini hanya untuk empat tahun ke depan.
Kita membutuhkan sosok yang sudah mengkilap, yang sudah cemerlang, yang track record dalam pemberantasan korupsinya sudah paripurna. Menyedihkannya lagi, satu dua sosok ternyata masih dipersoalkan sisi integritas dan netralitasnya.
Pada titik ini, saya termasuk yang bersedih dengan hasil Panitia Seleksi (Pansel). Hampir seribu orang diseleksi, hanya delapan yang tersaring, tetapi itu pun masih menyisakan masalah.
Lagi-lagi kita harus gigit jari karena hasil Pansel tidak semuanya kelas satu. Padahal di DPR, berdasarkan pengalaman selama ini, yang dipilih bukanlah orang yang paling dan paling, yaitu paling berintegritas, paling berkapasitas, dan paling netral, termasuk paling berani.
Yang dipilih biasanya justru yang paling lemah dari calon yang ada. Mereka yang terpilih adalah yang paling mau diajak berkompromi sebelum pemilihan.
Pengalaman pemilihan tahun 2011 menunjukkan, hanya BW yang bisa dianggap lolos dengan nilai terbaik (peringkat satu) yang terpilih. Sisanya justru pemain-pemain level bawah.
Imam Prasodjo, salah seorang anggota Pansel saat itu, bahkan menyatakan dengan yakin empat besar yang mereka pilih (BW, Yunus Husein, Abdullah Hehamahua, dan Handojo), tetapi tidak begitu yakin dengan sisanya.
Kita tentu tidak boleh pesimistis dengan masa depan pemberantasan korupsi di negeri ini. Namun, dengan calon-calon pimpinan KPK yang ada, rasa pesimisme itu datang begitu saja. Saya selalu berharap, itu salah.
Pimpinan yang terpilih nanti akan dapat membalikkan pesimisme itu dengan kerja yang luar biasa pula – seperti halnya para pendahulu mereka, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang ada.
Syarat awalnya cukup satu, mereka mau berjuang fair dengan tidak menjalin lobi dengan kekuatan politik yang ada pada pemilihan di DPRD nanti. Ini akan akan menjadi cikal-bakal pimpinan yang tanpa kompromi.
Lagi-lagi saya pesimistis ini bakal terjadi, tetapi siapa tahu. Walaupun langit runtuh, hukum harus ditegakkan. Tak terkecuali hukum bagi mereka yang korup dan membangkrutkan negeri ini. Sebagai penghulu dalam pemberantasan korupsi, pimpinan KPK tak boleh layu sebelum berkembang. (Sun)