Jelang Pencoblosan Pilkada, PGI Imbau Pemilih Tolak Pemimpin yang Pakai SARA

Henrek menilai, aspek yang paling mengkhawatirkan dalam Pilkada adalah makin maraknya politisasi SARA.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 21 Jun 2018, 16:37 WIB
Diterbitkan 21 Jun 2018, 16:37 WIB
Ilustrasi Pilkada Serentak
Ilustrasi Pilkada Serentak
Liputan6.com, Jakarta - Hari pencoblosan [Pilkada serentak ](https://www.liputan6.com/tag/pilkada-2018 "")pada 27 Juni 2018 tinggal menghitung hari. Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tak diinginkan pada hari H nanti, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) menyampaikan pesan kepada umatnya.
 
Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian PGI Pendeta Henrek Lokra, meminta kepada para pemilih agar menolak pemimpin yang menggunakan isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA).
 
"Gereja harus mengkritisi siapapun yang mempraktikkan politik identitas. Penyalahgunaan politik identitas dalam Pilkada akan mengakibatkan perpecahan internal dalam gereja dan perpecahan bangsa. Tolaklah calon pemimpin yang memanipulasi isu SARA," ujar Henrek di Kantor PGI, Jakarta Pusat, Kamis (21/6/2018).
 
Mengingat Pilkada merupakan proses dari demokrasi di Indonesia, Henrek mengimbau momen ini harus menjadi media yang mendorong upaya perwujudan kesejahteraan dan pencerdasan rakyat. 
 
"Kita harus berkomitmen mencegah dan melawan politisasi SARA, politik uang, dan ujaran kebencian," ucapnya.
 
Henrek menilai, aspek yang paling mengkhawatirkan dalam Pilkada adalah makin maraknya politisasi SARA.
 
"Instrumentalisasi SARA disalahgunakan untuk mendapatkan simpatik dan dukungan pemilih, dan pada saat sama menimbulkan kebencian dan mendiskreditkan kontestan lainnya," kata dia.
 

Masyarakat Bisa Terkotak-Kotak

 
Akibatnya, lanjut Henrek, masyarakat makin terkotak-kotak dalam sekat-sekat SARA, sehingga hajatan Pilkada meninggalkan luka sosial yang sulit disembuhkan. 
 
Jika semua ini diteruskan, kata dia, maka bangsa ini akan makin tersekat-sekat, terpecah-belah dan bisa mengakibatkan disintegrasi bangsa.
 
"Kesemrawutan Pilkada seperti ini telah menciptakan skeptisisme masyarakat terhadap mekanisme Pemilu langsung, dan karena itu ingin kembali ke sistem pemilihan di parlemen. Apalagi, praktek-praktek kotor, curang, dan manipulatif yang dilakukan untuk memenangkan Pilkada membuat rakyat makin muak," terang dia.
 
"Kekecewaan masyarakat makin meninggi mengingat tingginya angka Kepala Daerah yang terjerat korupsi. Rakyat merasa sangsi bahwa Pilkada model ini akan membawa kebaikan dan kesejahteraan bagi semua," jelas Henrek.
 
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya