Bawaslu: Politik Uang Pilkada Bisa Barang, Umrah, hingga Asuransi

Politik uang dari temuan pelanggaran Pilkada tidak berbentuk uang, melainkan barang, hadiah umrah, dan asuransi.

oleh Devira PrastiwiLiputan6.com diperbarui 06 Mar 2020, 10:16 WIB
Diterbitkan 06 Mar 2020, 10:16 WIB
Ilustrasi Politik Uang
Ilustrasi Politik Uang (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia (Bawaslu RI) menyatakan, modus politik uang dari tahun ke tahun berkembang.

Hal itu disampaikan oleh Komisioner Bawaslu RI Ratna Dewi Pettalolo aat meresmikan Sentra Gakkumdu dan Balai Pengawasan di Kantor Bawaslu Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.

Mengingat berkembangnya politik uang, Ratna Dewi pun meminta agar seluruh jajaran pengawas Pilkada harus mewaspadainya.

"Tren pelanggaran dari tahun ke tahun, bukan mengalami penurunan, melainkan bertambah," ujar Ratna, seperti dikutip dari Antara, Kamis (5/3/2020).

Dia pun menjelaskan, politik uang dari temuan pelanggaran Pemilu tidak berbentuk uang, melainkan barang, hadiah umrah, dan asuransi.

Menurut Nana, dalam Pilkada Serentak 2020, sangat potensial berkembang model politik uang terbaru. Ia pun meminta Bawaslu provinsi, kabupaten, dan kota beserta jajarannya harus mewaspadai.

"Bawaslu harus memperkuat pengawasan untuk mencegah politik uang. Varian politik uang berkembang dan pelaku lebih kreatif. Yang cukup mengkhawatirkan, sebagian masyarakat cukup terbuka menerima politik uang," kata Nana.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Ada yang Terbuka dengan Politik Uang

Hati-Hati Serangan Fajar, Aturan Untuk Penerima Politik Uang
Hati-Hati Serangan Fajar, Aturan Untuk Penerima Politik Uang

Ratna yang juga Koordinator Penindakan Bawaslu RI mengemukakan, di berbagai daerah saat Pemilu berlangsung, ada sebagian masyarakat menerima politik uang.

Bahkan, di gerbang masuk kampung, ada spanduk bertuliskan kami menerima politik uang.

"Politik uang merusak nilai-nilai keadilan dalam demokrasi kepemiluan sehingga harus ditolak, dilawan untuk melahirkan pemimpin daerah dari proses yang benar," ucap Ratna.

Dia menjelaskan, dalam berbagai kasus, terungkap uang yang diberikan kandidat Pilkada maupun Pemilu rata-rata Rp 100.000 untuk satu pemilih.

"Kalau dibagi selama lima tahun, pemilih yang menerima uang tersebut hanya Rp 5,5. Ini tidak ada nilainya," tegas Ratna.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya