Liputan6.com, Semarang - Namanya Atik Setiowati. Panggilannya Tika. Berkulit gelap kusam, rambutnya agak keriting. Beberapa hari ini, pengamen belia yang masih berusia 15 tahun itu menjadi sorotan di Semarang.
Tika pengamen yang hidup dan ditempa jalanan. Ia menjadi sorotan karena melahirkan di usia yang sangat dini. Jangankan menikah, memiliki KTP saja belum cukup umur. Usai melahirkan, ia dan bayinya harus tinggal di sebuah kolong kios di lantai 3 pasar Bulu Semarang.
Tika awalnya tertutup. Pelan-pelan ia bersedia menceritakan kisah hidupnya. Tak bersedia menjelaskan asal usulnya secara detail, ia megisahkan setahun perjalanannya hidup menggelandang di jalanan Semarang.
"Saya awalnya tinggal di Gunung Brintik, di tengah pemakaman umum Bergota. Kedua orang tua saya sudah meninggal," kata Tika, Rabu (24/2/2016).
Bergaul dengan anak jalanan, Tika sempat mengalami gegar sosial. Ia yang terbiasa hidup dengan keluarganya, kini menemukan keluarga baru yang lebih bebas.
"Baru sebentar di jalan, saya sudah punya pacar. Namanya Yuda Setyawan. Anak Gayamsari," katanya.
Â
Baca Juga
Baca Juga
Yudha bukan anak rumahan. Ia yang masih berusia 15 tahun ini sehari-hari juga anak jalanan. Gaya berpacaran mereka juga lebih bebas dibanding anak-anak sekolah. Tak heran kalau kemudian Tika menjadi hamil.
Tika maupun Yudha yang masih dinbawah umur ini hanya mengenal kosa kata panik saat mengetahui Tika hamil. Keduanya belum boleh memiliki KTP sehingga sangat tidak mungkin untuk menikah resmi.
"Uang juga kami tak punya," kata Tika, sambil sesekali merapikan rambutnya.
Sejak mengetahui hamil, Tika dan Yudha bukan saling menjauh. Mereka justru makin dekat. Mereka berdua juga rajin mengamen dan mulai menabung.
Kabar kehamilan Tika ternyata menyebar ke komunitas anak-anak jalanan itu. Hasil mengamen tiap harinya tidak dihabiskan dalam sehari. Hingga akhirnya usia kandungan Tikasudah mencukupi untuk lahir.
"Saya melahirkan di Rumah Sakit Bersalin Mardi Rahayu, Kalibanteng, hari Jumat 12 Februari," kata Tika.
Advertisement
Mimpi Sederhana Tika
Beberapa hari kemudian, petugas dari Dinas Sosial Kota Semarang menengoknya di Pasar Bulu. Mereka memastikan keberadaan Tika atau Atik ini baik-baik saja.
Bahkan kepada salah satu stasiun TV lokal, petugas tersebut menyebutkan bahwa biaya persalinan di tanggung oleh pemkot sebagai manifestasi pasal 34 UUD 1945.
Namun kabar ini dibantah oleh Tika. Menurutnya semua biaya persalinannya ditanggung sendiri.
"Bohong itu. Di TV katanya mereka yang membiayai persalinan saya, bohong. Kita bayar sendiri kok," katanya.
Kepala Dinas Sosial, Pemuda, dan Olah Raga Pemerintah Kota Semarang, Gurun Risyadmoko, menyebutkan bahwa pihaknya sudah mengurus hal itu. Awalnya memang direncanakan akan dibayari Dinsospora.
Namun karena sudah membayar sendiri, maka Dinsospora kemudian mengurus ke rumah sakit.
"Setelah kami urus, uang mereka dikembalikan Rp 500 ribu. Itu karena mereka nggak mau diurus oleh Dinsos. Kalau mau diurus bisa gratis," kata Gurun melalui ponselnya.
Menelusuri pernyataan Gurun, Liputan6.com mencoba menggali informasi dari Rumah Bersalin Mardi Rahayu.
Seorang staf rumah sakit bernama Elsa menjelaskan bahwa Tika tidak sempat opname dan hanya melahirkan kemudian pulang.
"Seluruh biaya sudah dilunasi oleh keluarganya. Maaf kami kok tidak pernah menerima tamu dari Dinas Sosial ya," kata Elsa.
Elsa menegaskan, setelah Tika pulang, petugas dari Dinas Sosial juga tak ada yang datang untuk mengurus. Karena memang keuangan sudah diselesaikan.
Cita-cita sederhana
Setelah melahirkan, Tika atau Atik memiliki keinginan jangka pendek. Ingin menikah secara resmi, memiliki KTP dan KK untuk mengurus Akte kelahiran anak perempuannya. Sementara untuk dirinya sendiri, dia mengaku pasrah.
Harapan ini mendekati nyata, saat Tika ditemui Wakil Walikota Semarang Hevearita GR atau akrab disapa Mbak Ita.
Saat itu dia langsung memerintahkan Kepala Dinsospora untuk berkoordinasi dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk memfasilitasi pernikahan dan pembuatan dokumen keluarga.
"Di luar sana masih banyak atik-atik lain. Ketahanan keluarga mutlak dibutuhkan. Pemkot harus memfasilitasi keinginan Tika yang sederhana itu," kata Mbak Ita.
Benar kata Mbak Ita, ‎Kisah Tika atau Atik ini sekedar contoh yang bukan sekedar. Masih banyak ribuan anak jalanan yang tersebar di sudut-sudut kota di Indonesia, dengan kisah yang berwarna.
Advertisement