Liputan6.com, Semarang Kepulauan Karimunjawa di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah dikenal dengan keindahan pantai dan taman lautnya. Kondisi geografis yang luar biasa ini ternyata membawa cacat bawaan, ancaman industri pariwisata yang memungkinkan adanya penjajahan hotel atas sawah-sawah produktif.
Kegelisahan itu diungkapkan Djati Utomo, ketua Yayasan Pitulikur Pulo. Akumulasi kegelisahan warga Karrimunjawa yang berprofesi sebagai petani, secara produktif dimuarakan menjadi Festival Memeden Sawah, Minggu 30 April 2017. Sebuah festival yang digelar di dukuh Cikmas desa Karimunjawa ini berupaya menempatkan manusia-manusia jerami (orang-orangan pengusir burung di sawah) dalam strata lebih kontemplatif.
Advertisement
Menurut Djati Utomo, perkembangan industri pariwisata di sudah sangat menggelisahkan. Persawahan yang luas di 27 pulau itu kini berevolusi menjadi rimba hotel, meskipun belum menjajah secara total.
Advertisement
"Justru karena belum seperti destinasi wisata lainnya, kami menggelar festival ini untuk mengingatkan bahwa persawahan tetap penting dan harus ada. Tradisi dan kebudayaan sawah harus ada," kata Djati kepada Liputan6.com.
Menurutnya, terlalu utopis membayangkan masa depan dengan berpijak pada industri. Ketika semua menjadi buruh, yang terjadi adalah mengagungkan masa lalu. Perjalanan panjang sebuah kehidupan selalu berhadapan dengan getir, pahit dan kepedihan.
Dia melanjutkan, hidup memang tak selamanya tetang bahagia, senang, suka cita. Hidup selalu memiliki aturan bagi manusia; bahagia, susah, senang, derita, selalu ada dalam setiap kehidupan.
"Manusia tak bisa memilih bahagia seutuhnya atau menderita selamanya. Tapi hanya bisa mengupayakan hidup bahagia, tapi jika kesedihan menghampiri. Bahagia dan sedih punya porsi tersendiri untuk manusia.," kata Djati.
Dalam posisi itulah, manusia perlu meniru manusia jerami atau memedi sawah. Ya, manusia jerami yang jarang ada yang peduli. Ia hanya orang-orangan sawah yang dibuat petani untuk menakuti burung. Namun mereka memberi kenyamanan dan keamanan bagi petani agar tanamannya selamat dari serbuan burung.
"Lihatlah,memedi sawah, ia hadir dan diciptakan untuk memberi arti bagi manusia. Ia berdiri sendirian, diterpa angin, disengat terik matahari, diguyur hujan, diselimuti dinginnya malam, tetapi ia tetap berdiri, tegak dan tak beranjak sedikit pun. Tidak ada kata mundur dalam dirinya. Ia selalu tegak untuk memberikan kenyamanan bagi pembuatnya, petani," kata Djati.
Ketua panitia Festival Memeden Sawah 2017, Fitrah Mulyana menjelaskan meski memiliki persawahan subur dan produktif, ternyata suplai bahan pangan di kepulauan Karimunjawa berasal dari Jepara. Ketika gelombang laut cukup tinggi, warga Karimunjawa terancam kelaparan.
"Ini aneh. Petani kok disuplai pedagang. Tak ada simbiosis mutualisma sama sekali. Petani dijadikan konsumen, padahal mereka sejatinya produsen," kata Fitrah.
Bahasa Ungkap Visual
Menurut Fitrah, dipilihnya manusia jerami sebagai bahasa ungkap visual karena manusia-manusia jerami itu memang bisa berbicara tentang padi yang menguning, tentang kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan keluarga. Petani menyematkan harapan pada memedi sawah.
Lalu, bagaimana kita menyematkan harapan tentang kehidupan kita. Pada siapa kita akan menaruh kenyamanan hidup itu? Ketika hidup kita anggap terlalu pedih untuk dijalani, pada siapa kita akan menyematkan harapan.
"Sesekali manusia butuh hidup menyendiri, merenungkan semuanya, lalu berbicara pada angin, menumpahkan semua persoalan hidup. Manusia perlu ruang rehat, ruang senggang untuk merenungkan yang telah dilewati," kata Fitrah.
Manusia jerami menginspirasi bagaimana manusia menghadapi persoalan hidup. Celakanya, persoalan yang menghimpit mayoritas masalah ekonomi. Menurut Fitrah, kebenaran ekonomi dalam strata nilai kebenaran berada di tingkat bawah.
"Tekanan hidup dapat melatih orang untuk kuat dalam hidup, survive terhadap masalah," kata Fitrah.
Festival Memeden Sawah ini memang ditampilkan secara turistik. Selain karena berada di wilayah yang memiliki daya tarik turistik, juga sebagai kampanye perlunya kembali menghidupkan tradisi persawahan.
Dalam festival Memeden Sawah itu memang dikemas dengan acara yang berisi hiburan. Mulai dari konser perkusi jelang sunset, pentas seni kontemporer, pagelaran tari tradisional, hingga konser musik reggae. Tujuannya sederhana, menunjukkan bahwa tradisi persawahan dan petani juga bisa akomodatif terhadap kesenian modern sebagai salah satu cabang seni.
"Geguritan, teater, eksplorasi bebunyian malam hari, semua dikemas menghibur namun sarat kontemplasi," kata Fitrah.
Jika ada yang perlu dikritik atas penyelenggaraan Festival Memeden Sawah, adalah pemilihan waktu yang tidak tepat. Sehingga festival ini terkesan dipaksakan. Sebab biasanya manusia jerami dipasang di sawah ketika padi sudah menguning, namun dalam Festival Memeden Sawah ini justru dipasang di persawahan yang tanaman padinya masih sangat muda.
Lepas dari persoalan teknis waktu, barangkali perlu juga merenungkan dialog dengan manusia jerami mengenai kegembiraan yang ditulis penyair Lebanon Kahlil Gibran dalam Dunia Yang Sempurna.
Sekali waktu aku berkata kepada memedi sawah, "Kau tentu bosan berdiri di sawah sendirian." / Dan ia berkata, "Aku merasakan kegembiraan yang dalam dan kekal dengan menakut-nakuti, dan aku tidak pernah bosan karenanya."
Setelah merenung beberapa saat, aku berkata, "Benar, aku juga memahami kegembiraan itu." Katanya, "Hanya mereka yang berisi jerami yang bisa memahaminya."
Â
Advertisement