Gelaran Wayang Wahyu dengan Lakon Yudas Makabe

Pergelaran Wayang Wahyu dengan lakon Yudas Makabe ditampilkan pada malam budaya, Jumat (27/5/2017)

oleh Gabriel Abdi Susanto diperbarui 27 Mei 2017, 11:15 WIB
Diterbitkan 27 Mei 2017, 11:15 WIB
Wayang Wahyu
Ki Dalang Romo Agustinus Handi Setyanto Pr sedang beraksi / Foto : Abdi Susanto

 

Liputan6.com, Jakarta Pergelaran Wayang Wahyu dengan lakon Yudas Makabe ditampilkan pada malam budaya, Jumat (27/5/2017) sekaligus memeriahkan Pekan Komunikasi Sosial Nasional di halaman Gedung Paschalis, Purwokerto, Jawa Tengah. Ratusan warga memenuhi halaman depan Gereja Katedral Purwokerto menyaksikan gelaran lakon yang diambil dari Kitab Suci Perjanjian Lama (1-2 Makabe).

Lakon atau kisah Yudas Makabe menceritakan perjuangan para pahlawan Palestina melawan raja kafir, Antiokus Epifanes. Ki Dalang yang juga Pastor Paroki St. Mikael Gombong, Romo Agustinus Handi Setyanto Pr menyajikan konflik dan pertempuran seru antara dua kelompok bangsa ini, Palestina dan Siria dengan iringan para sinden dan  penabuh gamelan dari Paguyuban Karawitan Sekar Setaman Kutoarjo, Jawa Tengah dengan wiranggono Nyi Rahmawati.

Sebagai selingan, Handi yang baru saja meraih gelar master Bidang Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa dari Universitas Gajah Mada mengajak warga menikmati sajian tari-tarian mulai dari Dayak, Banyumasan hingga tari modern. Para pengisi acara berasal dari kelompok orang muda katolik (OMK), Choice, Catholic Family Ministry, dan mahasiswa Akademi Maritim Nusantara Cilacap.

Revolusi Makabe

Sumber utama sejarah revolusi Makabe adalah kedua kitab Makabe sendiri. 1 Makabe menceritakan empat puluh tahun sejarah keluarga Makabe (175-134 SM), sedangkan masa lima belas tahun (176-161 SM) yang diliput oleh 2 Makabe memberi informasi yang melengkapi 1 Makabe.

Sejak tahun 200 SM Palestina ditaklukkan oleh kerajaan Siria. Yang memancing revolusi Makabe adalah raja Siria Antiokhus IV Epifanes yang naik takhta seperempat abad kemudian (175-163 SM). Pada tahun-tahun pertama pemerintahannya, kursi imam besar di Yerusalem menjadi buah rebutan. Imam besar yang sah, Onias III, digeser oleh saudaranya Yason (175-172 SM) yang telah menjanjikan upeti yang lebih besar kepada Raja Antiokhus. Raja memberikan dukungan kepada Yason untuk membangun di Yerusalem sebuah gelanggang olahraga, lambang kebudayaan Helenis. Raja memang berhasrat menyatukan seluruh kerajaannya di bawah satu kebudayaan Helenis.

Ia memanfaatkan pertentangan intern bangsa Yahudi. Sebagian dari mereka (kalangan atas) tertarik kepada kebudayaan asing itu. Sebagian lagi menolaknya dan berpegang teguh pada tradisi Yahudi sendiri. Mula-mula raja tampak berhasil mengubah Yerusalem menjadi kota Helenis berkat bantuan segolongan orang Yahudi yang menginginkan hal yang sama.Beberapa tahun kemudian, ketegangan dalam bangsa Yahudi meningkat ketika Imam Besar Yason disingkirkan oleh Menelaus yang bukan keturunan imam tetapi menawarkan upeti yang lebih tinggi lagi kepada raja. Menelaus memegang jabatan imam besar itu selama sembilan tahun (172-163 SM) didukung oleh raja, tetapi ditentang oleh kebanyakan orang Yahudi.

Pada tahun 169 SM, kembali dari peperangan mahal di Mesir, Raja Antiokhus masuk ke Yerusalem dan merampok perbendaharaan Bait Allah. Hal yang sama terulang pada tahun berikutnya, setelah raja gagal di Mesir. Lalu mulailah periode yang paling berat bagi bangsa Yahudi. Sebuah benteng (Akra) dengan pasukan Siria didirikan di Yerusalem, tidak jauh dari Bait Allah. Bait Allah sendiri dinajiskan dengan ibadat berhala, mirip dengan ibadat Siro-Kanaan untuk Baal-Syamin.

Pada saat yang sama, seluruh cara hidup Yahudi yang tradisional dilarang. Hukum Taurat yang sudah berabad-abad mengatur kehidupan bangsa Yahudi - bahkan ketika mereka di bawah kekuasaan bangsa asing - tiba-tiba diberangus oleh raja dengan dukungan partai Yahudi yang menyukai kebudayaan Helenis dan melihat hukum Taurat sebagai rintangan utama. Masyarakat Yahudi sendirilah yang terpecah. Berkobarlah penganiayaan terhadap orang Yahudi yang tetap setia kepada Taurat.

Pemberontakan

Penganiayaan ini pada tahun 165 SM menimbulkan pemberontakan yang dipimpin oleh Yudas Makabe. Pada awalnya Yudas dan pasukannya dengan cepat memperoleh hasil yang besar. Dalam tahun 164 SM Kota Yerusalem direbut, penganiayaan dihentikan; dan pada bulan Desember 164 SM Bait Allah ditahirkan dan mezbah ditahbiskan kembali. Dengan demikian revolusi Makabe telah mencapai tujuannya yang semula. Apalagi, pada waktu yang kurang lebih sama Raja Antiokhus meninggal dunia ketika sedang merampok suatu kuil di Persia.

Namun, revolusi Makabe ternyata tidak berhenti di situ. Muncullah seorang imam besar baru, Alkimus (162-159 SM) yang terus menghasut bangsa melawan Yudas Makabe. Siria mengadakan serangan-serangan baru terhadap Yudas dan Yerusalem. Setelah Yudas tewas dalam tahun 160 SM, revolusinya bisa kandas. Akan tetapi, setahun kemudian Imam Besar Alkimus juga mati. Lalu, jabatan imam besar dibiarkan tidak terisi selama tujuh tahun (159-152 SM).

Pada masa lowong itu tampillah Yonatan (160-142 SM), saudara Yudas, sebagai orang yang paling berwibawa di Yudea. Ia menjadi juru bicara bangsa Yahudi dalam perundingan dengan Siria. Cara kerja Yonatan agak berbeda dengan aksi-aksi militer Yudas. Ia memperjuangkan kepentingan bangsanya lewat kelihaian perundingan politis dengan raja-raja Siria. Wangsa yang sedang pecah dalam dua cabang yang saling berebut kekuasaan itu, masing-masing selalu mencari sekutu. Yonatan dengan pandai setiap kali memihak pada cabang yang sedang kuat, sambil memperoleh privilese-privilese khusus untuk bangsa dan dirinya.

Peranannya begitu penting dan menguntungkan bagi bangsa Yahudi sehingga pada tahun 152 SM kebanyakan orang Yahudi dapat menerima dia sebagai imam besar (meskipun ia bukan keturunan keluarga imam besar, melainkan dari keluarga imam biasa). Ia pun diangkat oleh raja Siria menjadi panglima untuk wilayah Yudea.

Ketika Yonatan dikhianati, ditangkap, dan kemudian dibunuh oleh Trifon, panglima Siria, kepemimpinan revolusi diambil alih oleh satu-satunya saudara yang masih tersisa, Simon (142-134 SM). Simon melanjutkan garis kebijaksanaan Yonatan. Ia tidak hanya menjadi imam besar dan panglima, tetapi juga diakui sebagai penguasa bangsa Yahudi. Ia menyelesaikan masa revolusi dalam tahun 141 SM dengan menaklukkan benteng Siria yang sejak 168 SM menjadi lambang kekuasaan Siria di kota Yerusalem. Tahun 134 SM Simon bersama dua putranya dibunuh oleh menantunya sendiri di Yerikho. Seorang putra yang luput dari pembantaian itu, Yohanes Hirkanus (143-104 SM), mengambil alih jabatan Simon.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya